"Apa-apaan kalian?!" Bu Wati yang pertama kali berteriak heboh diantara mereka semua yang membeku. Membuat mereka semua ikut-ikutan heboh.
Naraya buru-buru menutupi tubuhnya yang telanjang itu dengan handuk dan segera bangkit dari posisi ambigu ini. Gadis itu tampak kelabakan dan dengan panik dia berusaha meyakinkan mereka semua kalau ini hanya salah paham.
"Ini salah paham, Bu. Saya nggak kenal sama dia." Katanya sambil menunjuk pria yang masih berada di atas lantai itu. "Saya--"
"Salah paham bagaimana?" Potong salah seorang di antara ke enam wanita berumur itu, Naraya tidak tahu namanya siapa. Lagian kenapa Bu Wati membawa ibu-ibu lain dan membuat semuanya menjadi seramai ini?
Naraya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk dapat meyakinkan semua orang yang berada di sini kalau ini benar-benar hanya sebuah salah paham belaka. Dan kalau dipikir-pikir dia adalah korban sesungguhnya di sini sebab tiba-tiba saja rumahnya didatangi seorang pria yang datang ntah darimana!
"Kamu telanjang dan ada di posisi seperti itu! Kamu bilang salah paham?"
"Jangan bikin malu daerah sini ya!
"Kamu harus tanggung jawab!"
"Bikin malu aja, deh."
"Kirain perempuan baik-baik, ternyata..."
Kepala Naraya mendadak pusing. Dia tidak tahu lagi siapa-siapa saja yang sedang berbicara karena mereka semua berbicara secara bersamaan dan membuat kepala Naraya mendadak menjadi penuh. Jantung gadis itu berdegup dengan kencang, dia tidak suka menghadapi situasi seperti ini, mungkin kata benci lebih tepat untuk menggambarkan situasi yang dia hadapi sekarang. Dia mual, perutnya terasa seperti dikocok-kocok dari dalam. Nafasnya juga mendadak sesak, rasanya situasi ini pernah terjadi dan dia alami di masa lalu.
Tiba-tiba terlintas sebuah kenangan yang sama sekali yang tidak ingin dia ingat. Masih jelas dibenaknya saat itu dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam dan masa-masa yang paling dia benci seumur hidupnya.
"Bikin malu aja lo!" Maki seorang gadis padanya, "Ih nggak banget! Jijik gue!" Bahkan yang lain pun ikut-ikutan memakinya saat itu. Dia ingat dengan begitu jelasnya dimana saat itu mereka semua bergumul dan menatapnya dengan tatapan jijik. Situasi sekarang... Persis seperti saat itu.
Naraya ingin diberi ruang... Tolong siapapun itu berikan dia waktu untuk bernafas.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara berat khas laki-laki terdengar diantara riuhnya keadaan pagi itu. Naraya langsung kembali memusatkan pikirannya pada saat ini ketika suara bariton itu yang membuat suara lainnya menjadi tenang. Membuat dia dapat bernafas.
"Ini lho, Pak RT. Kami melihat Naraya berduaan dengan seorang laki-laki. Mana mereka tiduran di atas lantai begitu. Naraya juga cuma memakai handuk, gimana nggak kaget? Malahan tadi dia telanjang!" Jelas Bu Ina pada Pak RT yang sekarang sudah berdiri diantara mereka semua.
"Betul!" Tambah Bu Wati, "Bapak tolong ambil tindakan daripada dia membuat daerah sini malu!"
Pria asing yang tiba-tiba memasuki rumah Naraya tanpa izin itu berdiri di samping Naraya. "Ini salah paham, Pak. Saya sama sekali nggak mengenal mbak ini."
Astaga! Naraya benar-benar ingin memukul kepala pria bodoh ini. Bagaimana mereka akan percaya setelah apa yang mereka lihat barusan. Tidakkah dia mendengar kalau tadi Naraya juga sudah berusaha menjelaskan yang malah berujung disalahkan?
"Kalau tidak kenal, kenapa bisa ada di dalam dan membuat orang lain salah paham?" Pak RT memang bertanya dengan nada kalem, tapi... Sungguh, dia malah membuat Naraya semakin takut.
Rumornya pak RT ini adalah mantan ketua geng yang cukup disegani dari kampung sebelah. Rumor itu diperkuat dengan tato yang ada di lengan kirinya, belum lagi wajah yang dihiasi beberapa bekas luka. Seperti bekas luka yang disebabkan oleh sayatan pisau. Tentu image-nya sebagai mantan ketua geng yang menyeramkan dipercayai orang-orang kan? Naraya sendiri percaya pada rumor itu.
Lihat, pria asing ini saja dibuat tidak berkutik oleh pak RT.
Pak RT menghela nafas panjang. Dia menoleh ke para ibu-ibu yang tampak berwajah tak senang. "Ibu-ibu, biar saya yang akan berbicara pada mereka berdua. Tolong beri kami waktu. Saya akan membuat mereka bertanggung jawab."
Lalu kemudian menoleh pada Naraya dan si pria asing. Mereka berdua langsung terkesiap kaget.
"Naraya, lebih baik kamu memakai pakaian yang lebih pantas. Baru kita berbicara."
Pakaian? Naraya menunduk untuk melihat pakaiannya. Dan... Tolong Naraya, rasanya dia ingin tenggelam ke dasar lautan saja sekarang. Dia lupa kalau hanya menutupi tubuhnya dengan handuk kecil yang mana tetap memperlihatkan pahanya serta bahunya yang telanjang.
Tanpa berkata apapun lagi, Naraya memasuki kamarnya dengan langkah cepat. Mengambil sembarang baju yang dirasa sopan. Peduli setan dengan mode, yang penting dia menutupi tubuhnya dulu. Tidak akan ada yang peduli dengan pakaian berwarna norak tidak nyambung yang dia kenakan sekarang. Yang penting sopan!
Saat tangannya meraih ganggang pintu kamar, jantung Naraya dipompa dengan begitu cepat akibat rasa takut, gugup, dan cemas yang menyatu secara bersamaan. Gadis itu menggigit bibirnya dengan kuat, kenapa bisa sampai seperti ini? Apa konsekuensi dari hal yang sebenarnya tidak dia perbuat ini? Diusir? Naraya mohon jangan.
Bunyi decitan pintu kamar Naraya membuat kedua pria yang sudah duduk di sofa itu sama-sama menoleh padanya. Gadis itu duduk di samping pria asing dengan jarak yang semaksimal mungkin, karena sofa khusus untuk diduduki satu orang itu sudah lebih dulu ditempati pak RT.
Naraya juga yakin kalau ibu-ibu itu tetap berada di luar rumahnya. Mungkin duduk di kursi panjang yang memang disediakan untuk bersantai di luar. Sepertinya mereka sangat penasaran tentang bagaimana nasibnya akan berakhir.
"Jadi, bagaimana bisa seperti ini Naraya?"
Yang dipanggil pun menatap pak RT takut-takut, "Jujur pak, saya nggak kenal sama laki-laki ini."
Pria asing itu mengangguk, "Benar pak. Kami sama sekali tidak mengenal satu sama lain. Saya masuk ke dalam rumah ini karena ada alasannya."
"Apapun alasan kalian, kalian sudah membuat semua orang menjadi salah paham." Pak RT berdehem kecil sebelum melanjutkan, "Saya tidak bisa mengusir Naraya dari sini karena janji yang saya buat dengan Bu Tias."
Bu Tias, ulang Naraya dalam hati. Ketika nama itu pak RT sebut, rasa bersalah sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia... Memiliki utang budi yang sangat besar pada wanita itu.
"Siapa nama kamu?" Tanya pak RT pada si pria asing.
"Sakha, pak. Sakha Abimanyu."
"Nak Sakha dan nak Naraya, kalian berdua hanya ada dua pilihan. Diarak-arak keliling RT atau menikah. Kalau kalian memilih untuk menikah, maka masalah yang ini hanya kita-kita saja yang tahu."
Kepala Naraya langsung mendongak menatap pak RT dengan wajah yang super kaget. Menikah dengan pria asing? Gadis itu langsung menoleh menatap ke pria yang duduk di sampingnya itu. Matanya meneliti Sakha dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Tampan? Sangat tampan! Malah mirip seperti aktor-aktor Korea yang sedang naik daun alias ketampanan Sakha tidak tertandingi oleh pria muda manapun yang pernah ia temui di kehidupan nyata. Tubuhnya juga bagus, atletis, tapi tidak berlebihan dan secukupnya saja. Dia juga tinggi, sepertinya tinggi pria ini 180 cm lebih? Karena tadi saat Naraya berdiri di sampingnya, dia yang notabenenya tinggi 160 cm tampak kecil. Belum lagi rambut hitam legamnya yang lebat, serta kulit yang putih bersih itu. Minus di pakaian yang tampak lusuh saja, tapi tertolong wajah tampannya. Oke, kalau soal fisik nilai pria ini 1000 dari 100. Tapi... Menghabiskan sisa hidup dengan pria asing? Big no!
Naraya selalu menganggap serius tentang pernikahan. Dia tidak ingin sembarang menikah dengan orang lain. Pernikahan itu sesuatu yang sakral, tidak boleh asal-asalan.
"Saya... Menganggap pernikahan itu suci, pak. Kalau tiba-tiba seperti ini--"
"Kalau begitu pilihan kalian diarak-arak keliling RT saja. Dan semuanya akan tahu tentang pelanggaran asusila yang kalian perbuat." Potong pria yang sudah cukup berumur itu dengan cepat membuat Naraya serta Sakha mematung. "Kamu akan malu seumur hidup kamu Naraya. Mungkin harus meninggalkan daerah ini agar dapat menyelamatkan wajah kamu dari rasa malu!"
Naraya juga tidak bisa membiarkan dirinya dipermalukan seperti itu. Dia tidak mau... Tidak mau sampai orang-orang akan menatapnya jijik lagi, seperti dulu. Dia takut sampai-sampai tubuhnya bergetar.
Sakha menyadari kalau Naraya menjadi pucat. Dia juga tidak mau dipermalukan. Tapi dia juga sepemikiran dengan wanita bernama Naraya ini. Pernikahan itu adalah sesuatu yang suci. Tapi mereka berdua tidak ada pilihan lain selain menikah dan menutupi kejadian ini.
"Silahkan dijawab dengan cepat. Ibu-ibu itu juga pasti tidak akan tahan untuk tidak menyebarkan gosip ini. Pasti akan menjadi berita panas yang dibicarakan selama berbulan-bulan."
Naraya mengerutkan keningnya tidak suka. Apa benar ini hanya jalan keluar satu-satunya? Gadis itu menoleh menatap ke arah Sakha yang juga membalas tatapannya. Pria itu tampak seperti ingin menangis.
Apa yang bisa Naraya gunakan dari pria ini untuk meyakinkan hatinya agar mau menikah secara tiba-tiba seperti ini? Wajahnya? Itu tidak cukup... Bagaimana kalau dia ternyata kasar dan punya banyak hutang? Meskipun tampangnya seperti orang yang sangat kaya raya, bisa saja kan dia benar-benar memiliki hutang yang bejibun? Naraya juga tidak suka dikasari...
"Ayo kita menikah." Sakha berkata yakin pada Naraya. Tentu saja Naraya kaget dengan perkataan tiba-tiba yang keluar dari bibir Sakha. Tapi dia yakin akan satu hal, "Saya akan memperlakukan kamu dengan baik. Saya janji."
Sepertinya pria itu tahu apa yang sedang Naraya khawatirkan di dalam pikirannya. Gadis itu menatap pak RT yang mengangguk dengan sebuah senyuman kecil.
Dia menggigit bibirnya, ragu dan juga takut. Ini adalah situasi yang tak pernah dia bayangkan akan terjadi di dalam hidupnya. Tapi dia juga tidak memiliki pilihan lain, dia tidak mau diusir ataupun dipermalukan dengan diarak-arak keliling RT. Jadi mau tak mau, dia menganggukkan kepalanya patah-patah.
"Iya, ayo kita menikah."