Malam yang penuh dengan kegelisahan, ketakutan, dan kebingungan itu sudah berlalu dan berganti hari menjadi pagi. Meski begitu, rasa takut dan gelisah masih Naraya rasakan walau tak sekental tadi malam.
Tubuh Naraya memang sedang meringkuk di atas kasur dan dibungkus oleh selimut, tapi sedetikpun dia tidak memejamkan matanya untuk tertidur. Isi kepalanya penuh oleh pikiran-pikiran buruk dan kejadian demi kejadian yang tidak menyenangkan untuk diingat.
Perasaan bersalah pada Sakha juga menggerogoti hati dan pikirannya. Bersalah karena terus-menerus mendorong pria itu untuk menjauh, padahal Naraya sendiri tahu niat Sakha baik–ingin menolongnya.
"Naraya...?"
Naraya terduduk lemas. Suara ketukan dan panggilan itu sudah dari sejam yang lalu dia dengar.
Naraya malas, dia tidak ingin bergerak sedikitpun.
"Aku bikin bubur,"
Dan sontak saja Naraya langsung duduk mendengar Sakha yang berbicara seperti itu. Masak? Seorang Sakha? Entah kemana perginya rasa malas Naraya tadi, yang pasti sekarang dia langsung membuka pintu dan tampaklah wajah sedih Sakha beserta nampan yang ia pegang.
Perempuan itu merasa iba pada Sakha yang tampaknya bingung dengan situasi ini.
"Kamu masak?" Tanyanya dengan nada tidak tega.
Sakha mengangguk cepat, wajahnya yang tadi suram kini langsung berganti dengan senyum. "Jangan khawatir, aku emang nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi aku jago kok masak bubur."
Tiba-tiba Naraya teringat sesuatu, dengan panik dia melihat ke arah dapur. Dan seperti yang dia bayangkan, dapurnya tampak berserakan.
Sakha yang menyadari kemana arah tatapan Naraya pun langsung berbicara dengan panik, "Aku bakalan beresin kekacauan itu! Yang kamu perlu cuma makan ini."
Helaan nafas pendek Naraya hembuskan. Kemudian dia mengambil nampan yang diatasnya ada semangkuk bubur yang tampaknya sudah tidak hangat lagi, kemudian duduk di meja makan.
"Enak?" Sakha bertanya dengan cahaya harapan yang ada di matanya saat Naraya menyuapkan satu sendok bubur ke dalam mulutnya.
Kalau boleh jujur, rasanya biasa saja. Tapi entah mengapa, hati Naraya menjadi hangat setelah memakannya. Perempuan itu kemudian tersenyum tipis dan mengangguk, "Hm."
Sakha sangat senang sampai tak dapat menyembunyikan senyum lebarnya. Naraya yang melihat itu pun terdiam cukup lama.
"Senang, deh. Maaf ya aku cuma bisa bikin ini." Kata Sakha pada Naraya yang masih terdiam melihat wajahnya.
Kenapa dia yang minta maaf? Seharusnya Naraya lah yang meminta maaf, karena sudah membuat Sakha khawatir dan repot. Ingin bilang maaf, tapi lidah Naraya terlalu kelu untuk digerakkan. Alhasil dia diam saja.
Sakha menatap Naraya lama. Benar seperti dugaan Naraya, dia cemas, takut, dan juga bingung. Dia bertanya-tanya apakah ini salahnya yang meminta makan disaat yang tidak tepat, atau salah ibu-ibu yang mengungkit-ungkit kejadian yang membuat mereka menikah? Sakha tidak pernah melihat seseorang yang sehancur ini sebelumnya, jadi dia tidak tahu harus berbuat apa. Yang dia lakukan hanya duduk di depan pintu kamar Naraya semalaman. Sesekali tertidur, tapi bangun lagi karena takut Naraya akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak. Dia takut, takut akan ditinggalkan Naraya. Entah sejak kapan tapi kini Sakha menggantungkan seluruh hidupnya pada Naraya.
"Naraya," panggil Sakha lembut. Pria itu menipiskan bibirnya, dia ragu ingin bertanya. Tapi tatapan penuh tanya yang Naraya lempar membuatnya membuka mulut, "Kamu nggak apa-apa?"
Ada jeda cukup lama sebelum Naraya menjawab. Sampai akhirnya keluarlah kalimat dengan nada penuh keraguan, "Aku nggak tahu."
"Boleh... Boleh aku pegang tangan kamu?"
Pertanyaan itu dipenuhi oleh kesedihan, Naraya dapat merasakannya. Perempuan itu menggigit bibirnya kuat-kuat, dia berusaha untuk tidak menjatuhkan air mata. Tapi usaha itu sia-sia karena setetes air mata sudah jatuh ke meja makan.
Perempuan itu mengangguk.
Sakha menjulurkan tangannya, menyentuh tangan Naraya dengan lembut, "Kamu boleh nangis, Naraya. Tapi nangis di samping aku. Biar kita nangis sama-sama."
Tangis Naraya semakin pecah mendengar kata demi kata yang terdengar tulus itu.
"Naraya, kamu mau kan nangis di samping aku?"
Naraya mengangguk, membuat Sakha tersenyum tipis di antara matanya yang menatap perempuan itu dengan sendu. Tangannya yang lain ia julurkan untuk menghapus air mata Naraya yang terus-menerus turun.
"Tolong bersandar sama aku ya, Naraya."
***
Lagi dan lagi, Naraya hanya ingin menempel dengan kasurnya. Dia tidak ingin melakukan apapun. Kalau bisa dia tidak ingin bergerak satu inci pun dari kasur hari ini. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari tadi pagi, kini dia tidur dengan kamar yang terbuka.
Beberapa saat yang lalu ketika Naraya sudah tenang, Sakha melihat dirinya yang kehabisan tenaga.
"Kamu capek?" Tanya Sakha yang memperhatikan Naraya sedari tadi.
"Iya,"
"Kamu istirahat aja. Ini semua biar aku yang beresin."
Naraya ragu untuk menyerahkan urusan rumahnya pada Sakha, tapi pria itu menatap Naraya dengan sorot penuh keyakinan.
"Yakin?" Tanya Naraya ragu.
Sakha mengangguk mantap, "Yakin. Kamu tidur aja. Tapi pintunya dibuka."
Perempuan itu menautkan alisnya bingung, "Kenapa?"
"Aku takut kamu ngunci diri lagi."
Yah, begitulah ceritanya sampai Naraya harus rebahan dengan pintu yang terbuka. Tiap beberapa menit sekali Sakha akan berdiri di depan pintu untuk mengecek keadaan Naraya.
Awalnya Naraya risih, tapi lama-kelamaan dia biarkan saja Sakha berbuat sesuka hatinya. Ya, apa saja asal dia tidak merusak peralatan memasak miliknya. Jujur, Naraya was-was tentang hal itu.
Akhirnya pikiran-pikiran buruk Naraya terbukti benar karena beberapa saat setelah dia memejamkan matanya, terdengar bunyi pecahan piring dari arah dapur. Buru-buru perempuan itu bangkit dan berjalan ke arah dapur.
"Sakha--!"
Teriakan Naraya terhenti saat Sakha menahan tubuhnya dari depan untuk berjalan semakin maju.
"Bahaya! Ada banyak pecahannya di lantai."
Sempat membatu beberapa detik, Naraya langsung mundur beberapa langkah. "La-lagian! Kamu udah dibilangin biar aku aja. Bandel, sih." Kemudian dia berjongkok untuk mengambil pecahan kaca yang besar.
"Kenapa, sih, kamu keras kepala banget?" Omel Naraya lagi.
Sakha menunduk dalam, "Itu karena--"
"Karena apa?" Potong Naraya cepat. Perempuan itu dengan sigap mengambil vacuum cleaner untuk menghisap pecahan-pecahan kaca yang halus.
"Karena aku takut,"
Suara Sakha tenggelam oleh suara vacuum cleaner yang besar.
"Apa? Nggak dengar!"
"Aku takut," ulangnya, tapi dia tidak membesarkan volume suaranya.
"Nggak dengar, Sakha!" Naraya akhirnya mematikan alat penyedot debunya dan berbalik menghadap Sakha.
Matanya membulat sempurna saat melihat Sakha yang tampak seperti akan menangis. Kini, Naraya jadi panik.
"Loh, kenapa?"
"Aku takut,"
"Takut? Takut kenapa?"
Sakha menggeleng pelan yang mana hal itu semakin membuat Naraya tidak mengerti.
"Naraya,"
Yang dipanggil pun menatap Sakha semakin heran, "Ya?"
"Apa kamu mau peluk aku?"
Mungkin kalau di film kartun, mata Naraya sudah keluar sangkut terkejutnya. Perempuan itu menatap Sakha ngeri, "Kamu--"
"Aku takut, kamu akan hancur seperti semalam." Potong Sakha membuat Naraya langsung terdiam.
Lagi-lagi Naraya diselimuti perasaan bersalah.
"Jadi izinkan aku peluk kamu, biar aku tahu kamu udah lebih kuat daripada tadi pagi."
Naraya kira, dia sudah lebih baik karena menangis kencang di depan Sakha. Tapi kini dia ingin menangis lagi. Tapi rasanya berbeda, dia mungkin akan menangis karena memiliki seseorang yang ada di saat dia hancur seperti sekarang.
Dengan ragu Naraya melingkarkan tangannya di pinggang Sakha. Naraya terkaget saat Sakha memeluknya lebih erat, pria itu menyenderkan kepalanya di ceruk leher perempuan itu.
"Naraya, kamu nggak sendirian." Bisiknya pelan.
Lagi, Naraya kembali menangis. Tapi bukan tangisan sedih, melainkan tangisan lega.