Hembusan nafas panjang keluar dari bibir Naraya. Emosi masih menguasai dirinya saat Sakha pergi. Dia tidak tahu kemana pria itu pergi, biarkan sajalah toh pasti dia bisa kembali sendiri. Dia bukan anak kecil lagi.
Naraya duduk di atas kasur yang sudah lama tidak ia sentuh itu. Kepalanya penuh, apalagi melihat Sakha yang membaca surat. Surat dari saksi masa lalu kelamnya.
Perempuan itu menyisir rambut panjangnya ke belakang. Apa yang Sakha pikirkan setelah membacanya?
Suara Poppy membuyarkan lamunan Naraya. Perempuan itu tersenyum kecil saat Poppy mulai menatap dirinya dari bawah lantai.
"Poppy..."
Poppy tak menjawab panggilan itu. Kucing itu malah menatap ke arah jendela yang tertutup gorden. Naraya pun ikut-ikutan menatap ke arah jendela. Suara hujan yang mulai melebat, itu yang dia dengar. Lalu setelahnya ada beberapa petir besar yang menyusul.
Poppy mengeong. Bukan, bukan minta makan. Naraya tahu kalau Poppy yang meminta makan, atau yang hanya sekedar mengeong.
"Apa? Kamu mau mami nyari si Sakha?"
Poppy mengeong lagi.
Naraya menghembuskan nafas panjang, lagi. Tangannya membuka jendela yang sudah lama dia tutup. Seketika angin kencang membawa air hujan masuk ke dalam kamar. Naraya tak menyingkir dari jendela, matanya yang kosong kini menatap langit mendung itu.
***
Sakha tak menghindari air hujan yang terus menerus membasahi tubuhnya. Dia terlampau ketakutan, apalagi suara-suara petir yang semakin membuatnya gemetaran.
"Mama..."
Sakha sudah menggumamkan kata itu berkali-kali sambil terus menutup mata serta telinga. Nafasnya sesak, paru-paru seolah tidak ingin menerima pasokan oksigen yang ia paksa masuk.
Bayangan-bayangan mengerikan itu terus menghantuinya.
Telinga Sakha berdengung. "Jangan tinggalin aku..."
Suara petir kembali terdengar, membuat Sakha semakin sesak nafas. Pria itu menutup telinganya semakin keras dengan mulut yang menggumamkan kata yang sama sedari tadi. Air mata pria itu sudah menyatu dengan air hujan yang membasahi wajahnya.
***
Naraya benci hujan, sebisa mungkin dia ingin dirinya dan Poppy menghindari hujan.
Bukannya dia tak bersyukur pada nikmat dari Tuhan ini, tapi ada begitu banyak kenangan pahit yang selalu berlalu-lalang kalau hujan turun membasahi tanah yang kering ini.
Bisa dibilang, mood Naraya selalu buruk kalau hujan turun. Antara perasaannya yang suram dan marah yang bercampur menjadi satu.
Tapi kali ini Naraya nekat menerjang hujan yang dia benci demi mencari seorang Sakha Abimanyu. Perempuan itu hanya membawa sebuah payung berwarna kuning mencolok untuk melindungi dirinya dari hujan. Saat dia hendak mengambil ponselnya dan menghubungi Sakha, dia baru sadar kalau pria itu tidak memberikan nomor ponselnya pada Naraya. Tentu jalan satu-satunya hanya mencari Sakha di tengah hujan seperti ini.
"Sakha!" Teriak Naraya untuk yang ke berapa kalinya. Dia benar-benar berharap Sakha menjawabnya dan mereka bisa pulang ke rumah.
Naraya tidak mengira akan mengikuti suruhan Poppy. Dia juga tidak mengira kepalanya akan diisi dengan hal-hal negatif. Salah satunya takut kalau pria cengeng itu akan menangis dan diganggu oleh orang-orang. Nampaknya memang tidak mungkin, tapi Naraya yakin kalau itu Sakha maka bisa saja mungkin.
"Sakha! Kamu dimana?!" Naraya berusaha melawan suara hujan yang berisik itu, tapi tentu saja suaranya kalah. Walau begitu, dia tetap meneriaki nama Sakha.
Perempuan itu menggaruk kepalanya, "Aku harus cari dia kemana?"
Hujan kian menderas dan dia belum menemukan Sakha. Naraya bingung dan khawatir disaat yang bersamaan. Penyesalan juga mulai datang perlahan-lahan merasuki hatinya. Seharusnya dia tidak begitu tadi, seharusnya dia tidak membentak pria itu, seharusnya dia bisa memberitahunya secara baik-baik, seharusnya...
"Ah! Sialan!"
Kaki yang sudah basah oleh genangan air itu terus melangkah dengan cepat. Kepalanya juga menoleh kesana-kemari.
Nafas perempuan itu tinggal satu-satu saat kakinya berhenti di sebuah gang buntu. Hati perempuan itu juga sakit bagai tersayat-sayat serta diselimuti rasa bersalah, melihat pria yang ia cari-cari ternyata sedang berjongkok sambil menutupi telinganya di tengah-tengah hujan.
"Sakha..."
Naraya berlari menghampiri Sakha yang tampak ketakutan. Mulut pria itu menggumamkan kata 'mama' berkali-kali. Apa Sakha phobia petir?
"Sakha!" Naraya menunduk dan menggoyangkan bahu Sakha yang menutup erat matanya.
Sakha membuka matanya dan mendongak, "Mama...?"
"Bukan, ini aku Naraya--" Omongan Naraya terhenti saat Sakha tiba-tiba memeluknya dengan erat.
"Mama! Jangan tinggalin aku..."
Tubuh Naraya menegang seketika saat Sakha semakin mengeratkan pelukannya. Tubuh gadis itu melemas sampai-sampai payung kuning yang ia gunakan untuk melindungi dirinya dari hujan terjatuh ke tanah.
Sakha mulai terisak, dan itu menyadarkan Naraya dari diamnya. Oksigen yang tadinya tidak bisa masuk ke dalam paru-paru kini perlahan mengisi tiap rongga paru-parunya.
"Sa-Sakha?"
Disaat tangan Naraya ingin melepaskan pelukan itu, Sakha malah semakin menangis. "Jangan tinggalin aku! Aku takut..."
"Iya. Aku nggak ninggalin kamu, tapi lepasin dulu. Berat ini."
Sakha tidak menjawab.
"Sakha?" Naraya menepuk pelan punggung pria itu, "Sakha? Jawab dong. Lepasin dulu ini."
Tidak ada jawaban dari Sakha. Saat Naraya melepas paksa rengkuhan Sakha, ternyata pria itu sudah tidak sadarkan diri. Melihat itu Naraya panik bukan main.
"Ya Allah Sakha! Ini gimana ceritanya bisa pingsan?"
Bagaimana cara dia membawa Sakha pulang? Aduh, bagaimana? Bagaimana?! Badan Sakha itu berat. Dan juga jarak dari gang ini ke rumahnya cukup jauh.
"Sakha! Sadar dulu, kita pulang. Jangan pingsan!" Ini jangan sampai Naraya jadi menangis karena Sakha ya.
Naraya dapat merasakan nafas hangat Sakha di tengkuk lehernya. Jangan-jangan dia demam?! Dia harus segera berganti pakaian agar tidak semakin sakit.
Tapi bagaimana cara Naraya membawanya pulang?
Naraya meraih sebelah tangan Sakha untuk dia gantung di lehernya. Baiklah, Naraya pasti bisa kok membawa Sakha pulang. Tidak masalah, dia pasti bisa.
Payung kuning itu terpaksa Naraya tinggalkan. Karena sulit untuknya membawa payung itu disaat dia harus memapah Sakha yang badannya sangat berat. Belum lagi hujan yang tak berhenti mengguyur mereka dengan derasnya, semakin membuat Naraya kesulitan.
"Ya Allah, Sakha! Kok kamu berat banget, sih?!"
Rasa-rasanya ingin sekali Naraya biarkan saja Sakha tergeletak di jalanan yang mulai dibanjiri air hujan ini. Naraya hampir menyerah sangking tidak sanggupnya dia, tapi rumah sudah di depan mata.
"Dikit lagi!" Ucapnya untuk menyemangati diri sendiri.
Dan akhirnya! Naraya sampai juga di rumahnya! Perempuan itu lega setengah mati. Walau kelelahan, dia membaringkan tubuh Sakha yang basah kuyup itu di atas sofa.
Persetan dengan sofanya yang akan basah karena Sakha, itu bisa dia lap dan keringkan menggunakan hair dryer. Sekarang masalah hanya tinggal satu, dan itu membuat lega yang sempat Naraya rasakan menguap begitu saja di udara.
"Aku..." Perempuan itu menggigit bibirnya, dia seperti ingin menangis. "Harus gantiin baju dia, nih?"