Semenjak membaca isi pesan dari Kelvin, juga pengakuan dari Wandi, Fiona tidak lagi bertanya banyak hal pada Fania.
"Wandi bilang apa aja sih sama lo?" tanya Fania.
Fiona masih senyap tidak berani menjawab. Dia masih bersikukuh untuk berlakon menjadi putri tidur. Di balik selimut cukup tebal itu, wajahnya sudah basak oleh air keringat membasahi wajah.
"Udah, enggak usah pura-pura tidur. Gue tahu lo enggak tidur."
Fiona masih senyap tidak bergerak sama sekali dari posisi semulanya. Dia masih enggan untuk menyerah. Bagaimana pun juga dia tidak ingin menyerah begitu saja.
"Dalam hitungan ketiga lo masih enggak gerak, gue bakal ..." dia terhenti untuk sesaat. Mereka memang selalu seperti itu, kadang saling mengancam satu sama lain, kadang juga saling melindungi satu sama lain.
"Satu ... dua ... ti-ga."
Fiona masih tidak melakukan pergerakan sama sekali. Dia bahkan masih bersikukuh dengan asumsi dan aktingnya. Bersikukuh berpura-pura tidur, entah sampai kapan. Padahal, matanya masih membulat di dalam sana.
"Okay, kalau lo masih keukeuh juga. Enggak apa-apa."
Fania berlalu untuk mengeringkan rambut dan meluruskan rambut dengan alat kecantikan yang dia miliki. Setelah hampir satu jam, dia kembali membawa beberapa makanan ke dalam kamar untuk menikmatinya seorang diri. Fiona merasa semua sudah benar-benar aman. Meski dia harus menderita di balik selimut tebal yang menutupi wajahnya. Lalu kemudian ...
Tut tut tut
"Hallo..." suara seorang pria di seberang sana. Tentu saja Fiona mengenali suara itu. Suara yang belakangan ini sering menemaninya.
"Hai, Yos, lo sibuk, enggak?"
"Enggak juga, kenapa?"
Fiona masih setia mendengar percakapan mereka dengan seksama.
"Ah, sebenarnya ... enggak begitu penting sih. Tapi ... ini soal Fiona─"
"Fiona kenapa?" pangkasnya.
"Dia sakit, hiks," Fania ikut berlakon.
"Astaga, kok bisa sih?! Yaudah gue ke rumah lo sekarang!"
"Jangan!" jerit Fiona nyaring. Namun, semua sudah terlambat karena Yoseph sudah lebih dulu menutup panggilan telepon itu.
Karena saking kesalnya, Fiona memberikan jitakan halus di dahi lebar saudara kembarnya itu hingga dia memekik tipis. Fiona sudah tidak peduli lagi bagaimana perasaan Fania hari ini.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara bel pintu berbunyi nyaring meenggema nyaring di dalam rumah.
"Gue mau lihat ah siapa yang datang., babay!" goda Fania lalu berlalu pergi meninggalkan Fiona yang masih mematung bingung bagaimana dan apa yang akan dia katakan pada Yoseph.
Dia tidak tinggal diam dan lekas menyusul siapa yang datang di seberang sana. Bahkan, Fania yang biasanya lebih dulu memeriksa di balik jendela, kini tidak dia lakukan. Mereka saling menyerobot untuk membuka pintu. Lalu mereka membuka pintu itu bersama.
"Hai, Yos─"
Fania terhenti kala melihat siapa yang dia dapati di depan rumah. Bukan Yoseph, melainkan Kelvin. Dia tidak percaya atas apa yang dia lihat barusan. Dari mana dia tahu alamat rumahnya, bahkan ini adalah alamat rumah baru setelah mereka pindah. Bagaimana jika kedua orang tuanya memanggil mereka bersama? Fiona mengerti kode dari Fania, dia lantas segera memasuki kamar dengan mengendap agar Kelvin tidak mnenyadari itu.
"Siapa, Fan?" tanya ayahnya.
"Bukan siapa-siapa, Yah," balas Fania dengan suara yang tidak kalah lantang. "Hanya ada orang yang tidak penting," imbuhnya sembari menatap Kelvin tajam. Perbincangan terakhir mereka belum lama ini membuatnya benar-benar kesal.
"Aku kan sudah minta maaf sama kamu, Fan."
Fania hanya berdecih menganggap dia tidak penting. Sementara Kelvin menganggap itu adalah tatapan meremehkan. Meski dia masih kesal bukan main, dia mencoba tetap bersabar agar bisa kembali memenangkan hati gadis yang ada di hadapannya ini.
"Suruh masuk saja, Sayang," tawar Bu Raniesha.
"Terima kasih, Tante," balasnya dengan senang.
Namun, Fania meraih tangannya dan membawa laki-laki itu menjauh dari rumah. Tidak akan dia biarkan dia menginjakan kaki ke rumah itu. Sudah cukup selama ini atas apa yang Kelvin lakukan padanya.
Setelah merasa agak jauh dari rumah dan agak sepi, dia berhenti. Sementara Kelvin, tampak menikmati genggaman tangan dari Fania. Dia malah semakin merasa bahwa mantan kekasihnya ini masih begitu menyayanginya sebagaimnana dulu.
"Lo udah enggak waras atau gimana sih, He?!" caci Fania.
"Emang gue enggak boleh kangen sama pacar gue sendiri," balasnya sembari menyentuh dagu Fania. Namun, dengan cepat dia menepi tangan itu agar segera menjauh darinya.
"Gue enggak sudi, disentuh sama manusia sampah kayak lo!" balasnya.
Mendengar hal itu, dia mendengus kesal. Sudah sejak lama dia menahan kesal dan kini rasa sabarnya sudah tidak bisa dia kontrol lagi. tangannya memegang kasar dagu Fania.
"Enggak usah sok cantik, enggak akan pernah ada seseorang yang mencintai lo lebih dari gue. Lo tahu itu, 'kan?"
Fania masih tidak peduli. Bukannya takut, dia malah balik menatap tatapan itu tidak kalah tajam. Tidak akan terulang kedua kalinya dia menyerah dengan laki-laki seperti Kelvin.
Plak! Tangannya yang satu lagi menghantam tembok hingga timbul retak. Fania malah tersenyum kecil, sementara tangan Kelvin sudah memar karena terluka.
"Kenapa lo ketawa? Its funny?" tanya kelvin tajam.
Fania tersenyum kecil, "yeah, its too funny. Lo enggak tahu ya, kalau lo tuh cuma lelucon. Lo kira dengan selingkuh sana-sini, its hurting me? Its make me depresion? Or make me regret?"
"Your not?" tanya Kelvin dengan tidak percaya atas apa yang dia dengar.
Fania tersenyum kecil, "what do you think? This is Fania! i'm strong MORE than do you think. Kelvin, kelvin... i'm not stupid gurl. I'm just lying you. So ..." Fania kembali memberi senyum smirknya. "What do you think. Who is stupid, you ... or me?"
Mendengar hal itu, dia jelas kesal bukan main. Akan tetapi, dia sendiri tahu bahwa Fania tidak akan mempan jika dia takuti dengan berbagai macam ancaman dalam bentuk apapun. Kemudian, dia teringat sesuatu. Meski Fania memiliki pesona yang luar biasa, cantik, populer, obsesi dnegan prestasi.
Tetapi, dia juga manusia biasa yang memiliki kelemahan. Kelvin mendekatkan wajahnya ke arah Fania. "How when we ..." dia tidak meneruskan kata-katanya lagi. Lalu dia merasakan seseorang melemparkan batu ke kepalanya. Hingga dengan sendirinya dia menjauh karena kesakitan.
Fania bahagia bukan main. Karena sebenarnya dia ingin melawan sejak tadi, tapi tidak memiliki cukup energi untuk melawan. Tidak makan seharian energinya terasa habis.
"Do you want more? or ... mau gue teriakin maling atau mau gue panggilin cowok gue?" ancam Fania. Kelvin mengumpat kasar sebelum akhirnya benar-benar pergi. Setelah benar-benar memastikan dia sudah tidak ada di tempat, Fania nyaris terjatuh karena lemas. Jika bukan karena Fiona yang menahan, entah apa yang akan terjadi padanya kini.
"Gue kan sudah bilang kalau lo laper tuh makan. Jangan sok-sokan galau, enggak cocok tahu!"