Chereads / Venganza The Twins / Chapter 27 - Ada Apa Dengan Ayah?

Chapter 27 - Ada Apa Dengan Ayah?

"Ya, terus? Hubungannya sama gue, apa?"

"Bukannya lo udah jadian sama Yoseph ya?" tanya Devika serius.

Lagi. Fiona menghela napas dengan berat. Bahkan sahabatnya sendiri pun mengatakan demikian, maka bagaimana mungkin Yoseph malah dengan mudahnya mengatakan bahwa Fiona hanyalah saudara baginya.

"Siapa bilang? Enggak kok."

"Bukannya selama ini dia dekat sama lo karena kalian punya perasaan yang sama?"

"Enggak Dev, enggak."

"Loh terus kenapa? Enggak mungkin enggak ada maksud kan?"

"Emang enggak ada."

"Kok gue ragu ya? kayaknya enggak mungkin enggak ada apa-apa, deh. Masa iya dia—"

"Dia Cuma anggap gue adik, puas?!" pangkas Fiona. Dia kesal dan akhirnya pecah juga. Sudah sejak tadi berusaha menahan diri, tapi sahabatnya itu seolah masih tidak terima bahwa Yoseph dan Fiona sungguh tidak ada hubungan yang spesial.

"Adik? Abang? Ha ha ha."

Tawa Devika pecah seketika. Dia masih tidak percaya atas apa yang dia dengar. Hal konyol apa ini? Meski begitu, jika dipikirkan lagi apa yang Fiona ucapkan ada benarnya juga. Bagaimana mungkin Yoseph si pria dingin dapat dengan mudah luluh dengan Fiona? Sesungguhnya hal itu benar-benar janggal bagi Devika.

"Tapi, serius deh. Firda kenapa?" dalih Fiona. Dia berharapnya dengan begitu, sahabatnya itu akan berhenti tertawa.

Devika terhenti dari gelak tawanya mendengar pertanyaan Fiona. Dia menghela napas beberapa kali untuk menyiapkan diri mengatakan yang sebenarnya.

"Okay, are you ready?"

"Apaan? Emang mau lomba lari?"

"Karena ...Firda... dia ..."

"Apa sih, Dev?" kesal Fiona karena sahabatnya itu berbicara sepotong-sepotong.

"Bakal tunangan ..."

"Tu-nangan?"

"Hmm."

Mengejutkan bagi Fiona karena mengetahui bahwa Yoseph menganggapnya sebagai adik, tapi berita dari Devika tentu lebih mengejutkan lagi. Kini beban pikiran Yoseph semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.

Tok tok tok'

Terdengar suara ketukan pintu.

"Fi, Ayah boleh masuk?" tanya suara dari depan pintu.

"Dev, udah dulu ya, ada bokap. Bye."-Fiona memutus panggilan suara itu tanpa menunggu jawaban Devika.

"Ya, masuk saja, Ayah."

Ayahnya masuk dengan senyum yang mengembang dan sangat ramah. Aneh. Sangat aneh. Karena tidak biasanya ayah bersikap demikian padanya. Sikap ayahnya kini sama seperti dia memperlakukan Fania.

"Jika Ayah mencari Fania mungkin dia sedang di dapur sekarang."

Bukan tanpa sebab Fiona mengatakannya. Barangkali, saat ini ayahnya sedang tidak bisa membedakan antara Fania dan Fiona. Barangkali saja.

"Ya, Ayah tahu. Ayah kemari untuk menemui Fiona bukan Fania, kok."

"Ada ... apa, Ayah?" tanya Fiona dengan perasaan masih terheran-heran.

"Tidak, apa Ayah tidak boleh mengunjungi kamar putrinya sendiri?"

Fiona menggeleng cepat, khawatir ayahnya salah paham dengan maksudnya.

"Enggak, bukan begitu maksud Fiona."

"Apa Ayah boleh bertanya sesuatu?"

Fiona mengangguk dengan cepat. "Ya. tentu saja."

"Apa Fio menyayangi Ayah?"

Pertanyaan yang aneh. Ayahnya tentu tahu apa jawabannya. Jika tidak, kenapa dia selama ini selalu diam setiap ayahnya marah—ucap Fiona membatin sendiri.

"Tentu saja."

Ayahnya segera mendekat padanya lalu mendekap dengan erat dengan ekspresi riang gembira. Fiona membalas pelukan itu dengan senang sekaligus heran. Entah kapan terakhir kali ayahnya memeluknya seperti ini.

Tidak berapa lama kemudian, ayah melepas pelukannya, lalu menatap wajah Fiona dengan sedih. Ada guratan kesedihan yang terpancar dengan jelas di sana. Entah ada apa.

"Apa kamu malam ini sibuk?"

Fiona menggeleng pelan sembari menatap wajah ayahnya dengan heran. Dia bahagia. Sangat bahagia. Apa yang ayahnya lakukan malam ini membuatnya merasa salah satu impiannya tercapai. Impian yang sangat sederhana yang mungkin sangat remeh bagi orang lain, terutama Fania. Karena mudah baginya untuk mendapatkan hal itu.

"Kalau begitu, malam ini kita makan malam bersama, bagaimana?"

"Makan malam bersama? Bagaimana maksud Ayah?"

"Dengan kamu, Ayah, dan mama. Kamu bersedia?"

Fiona tersenyum senang, jauh dalam hatinya ingin melonjak girang, namun dia tahan sekuat tenaga. Malu. Fiona mengganguk kepala dengan cepat, "ya, tentu saja, Ayah."

"Ya sudah kalau begitu,"-ayahnya menyeka lembut rambut cokelat puterinya. Lalu beranjak ingin keluar dari kamarnya, tapi kemudian dia menyadari sesuatu... ada yang aneh.

"Ayah! Tunggu sebentar."

Mendengar hal itu, ayahnya terhenti tidak jadi keluar dari kamar putrinya lalu berbalik badan menatap Fiona sembari berkata,"ya, ada apa, Fi?"

"Fania ...enggak ikut?"

"A-ah, tentu ikut. Kalian kan sama-sama putri Ayah ... istimewa."

***

Hari sudah semakin sore, tapi pegawai salon itu masih sibuk merias wajah Fiona dengan berbagai alat kecantikan yang Fiona sendiri tidak tahu namanya. Meski kesal, tapi dia hanya menurut saja. Jika hanya untuk makan malam keluarga, kenapa harus begitu heboh? Sementara Fania tidak di rumah sejak siang. Menurut pengakuan ayahnya, Fania sedang main ke rumah salah satu kerabat mereka dan setelah itu langsung ke salon untuk mempercantik diri.

"Mbak, mau lipstick nude brown atau peachy peach?" tanya pegawai salon itu sembari menunjukan dua warna lipstik yang berbeda.

"He?"

"Pilih saja, Mbak."

"Enggak tahu. Pilih saja yang menurut Anda cocok dengan saya."

"Baik." Lalu pegawai salon kecantikan itu tersenyum ramah.

Tidak lama kemudian, akhirnya selesai sudah riasan wajahnya. Begitu pula dengan gaun. Anehnya lagi, ayahnya sudah menyiapkan gaun yang terbilang cukup mahal untuk Fiona. Tentu saja Fiona tidak bisa tinggal diam. Dia menanyakan hal itu kepada ibunya. Dan jawaban ibunya hanyalah ...

"Anggap saja perayaan ulang tahunmu yang ke tujuh belas tahun."

Perayaan ulang tahun? Padahal ulang tahunnya baru akan berlangsung beberapa bulan lagi. Dengan segala perasaan risau dan penuh tanda tanya, Fiona hanya mencoba untuk terus bersikap santai dan seolah menikmati malam ini.

"Sudah selesai, Mbak," ucap pelayan salon kecantikan itu dengan senyum ramah.

Sementara Fiona melihat dirinya di depan cermin besar yang berukuran setengah dari tubunya. Pegawai salon itu hanya sibuk dengan membereskan semua peralatannya untuk dimasukan kembali ke dalam kotak tata riasnya.

"Kalau begitu, saya permisi," ucap pegawai itu dengan sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

"Terima kasih, Mbak."

"Sama-sama. Harapan saya, semoga malam ini semua berjalan lancar, Mbak."

Dia lalu berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Fiona yang masih terheran.

"Kenapa semua orang sangat aneh hari ini?" tanyanya berbisik pelan.

Dia kembali melihat wajahnya di cermin itu. Tampak cantik. Tidak! Ini sangat cantik—batinnya. Bahkan, riasan kali ini jauh lebih cantik dari pada yang dikenakan Fania waktu itu untuknya. Fiona berdiri dari duduknya, tampaklah gaun merah marunnya yang indah. Meski ini bukanlah tipe gaun yang dia sukai, tapi dia merasa cukup nyaman dengan hal itu. Bahannya yang lembut, lengan panjang dengan detil v-neck lalu panjang rok tiga senti dari lutut membuatnya tetap terlihat feminim.