"Kamu suka gaun ini?" tanya ayahnya yang tiba-tiba saja memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Ya. ini gaun yang nyaman dipakai meski bukan..." Fiona terhenti tidak melanjutkan kembali kata-katanya. Dia merasa tidak enak hati jika ayahnya akan kecewa mendengar kata selanjutnya.
"Bukan apa?"
"A-ah itu, bukan apa-apa, Yah."
"Tidak, katakan saja."
"Bukan ..." Fiona memainkan mata ke atas sembari berpikir sejenak alasan apa yang kini dapat dia beri. "Bukan warna gelap, Yah," dalihnya. Ayahnya meletakan tangan di atas dada merasa lega dengan apa yang barusan dia dengar. Tidak lama kemudian, Bu Raniesha pun ikut masuk ke kamar putrinya.
"Ayah, kita jalan jam ... be-ra-pa," tanya ibunya sepotong-sepotong. Dia kagum bukan main melihat penampilan putrinya kini. Sangat cantik, jauh lebih cantik di luar dugaannya.
"Bagaimana? Cantik kan, Ma?" tanya ayah dengan senyum mengembang.
"Hmm. Sangat cantik. Bahkan diluar dugaan Mama."-Bu Raniesha terus menatap wajah gadis itu dengan terheran. Hanya untuk sesaat. Karena sesaat kemudian, dia memeluk tubuh putrinya bolak-balik lalu memperhatikan dari ujung jari hingga ujung kaki. Nyaris sempurna.
"Ini sungguh putri Mama, Fiona?"
"Hmm," jawab Fiona dengan berdehem kecil.
***
Setelah melewati perjalanan yang melelahkan, mereka tiba di depan salah satu restoran yang terbilang cukup mewah. Fiona memperhatikan interiornya dengan mlirik tipis ke seluruh ruangan. Dia memilih untuk percaya pada apa yang mamanya katakan padanya. Bahwa semua yang terjadi kini adalah sebuah perayaan dalam rangka ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun.
"Selamat datang, Tuan, ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis itu dengan ramah.
"Kami sudah reservasi ruangan, Mbak."
"Baik, atas nama siapa, Pak?"
"Atas nama Tuan Dimas."
"Baik, sebentar saya cek dulu ya, Tuan."
Resepsionis itu lalu mengecek data melalui kompyuter yang ada di hadapannya. Lalu setelah itu, dia kembali tersenyum ramah."Silakan ikuti pelayan kami, Tuan," ujarnya menunjuk dengan sopan kepada salah satu pelayan restoran yang ada di dekatnya.
"Mari, Tuan. Saya antarkan," ucap pria bertubuh kurus tinggi dan rapi dengan sopan dan ramah.
Pelayan restoran itu terhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup dengan rapat. Saat ayah dan mamanya ingin melangkah maju, Fiona mencekal tangan mereka bersamaan.
"Ada apa, Fi? Enggak enak sudah ditungguin," balas ayahnya.
"O-oh, tidak. Ayo Ayah, Ma."
Fiona mengalah. Dalam benaknya, yang menunggu itu pasti Fania. Padahal, dia baru saja ingin menanyakan hal tersebut. Mereka memasuki ruangan yang mewah itu. Dengan pemandangan langit malam dan bokehnya cahaya di antara para manusia di ibukota yang estetik. Siapa saja yang menyaksikan hal itu, pasti merasa senang dan bahagia. Akan tetapi, meski senang dia tidak melihat sisi Fania di sana. Hanya ada meja segi empat dan delapan kursi yang sudah dihias rapi.
"Loh, kok enggak ada siapa-siapa?" tanya Fiona heran.
"Maksud kamu ... siapa, Fi?"
"Fania. Bukankah kata Mama dia datang lebih dulu karena sebelumnya ke salon."
Sambil menunjukkan wajah murung, Bu Raniesha mengeluarkan sebuah amplop berwarna pink dengan hiasan love dimana-mana."Ini," ujarnya sembari menyodorkan amplop itu.
Fiona tampak kebingungan. Kejutan apa lagi ini?—bisiknya dalam hati. "Kamu baca saja ini dulu, agar mengerti apa yang kami maksud," jelas mamanya mengerti maksud ekspresi anaknya.
"Sekarang?"
"Ya. itu surat yang sangat penting dan kamu harus tahu."
Fiona menepikan diri di sudut ruangan yang terbilang cukup besar itu.dibacanya kata demi kata. Dia memijit lembut pelipisnya lalu menghela napas beberapa kali.
"Apa lagi sih, Fan?" bisiknya pelan.
Dia kembali menuju meja dimana orang tuanya berada. Pelayan restoran itu masih berdiri menunggu pesanan mereka.
"Kamu mau makan apa, Fi?" tanya Bu Ranieha.
"Fio ..." dia membuang napas dengan kesal. "Fio ikut pesanan ayah dan Mama saja."
***
Pelayan restoran itu berlalu pergi setelah membawa kertas yang berisi daftar pesanan mereka. Fiona mengatur napas sembari berusaha menahan emosinya. Entah ada apa dengan kedua orang tuanya kali ini. Apa lagi yang mereka sembunyikan darinya. Saat ini adalah waktu yang tepat baginya untuk meminta semua penjelasan atas surat yang mamanya berikan tadi.
"Ma ... ada apa ini?"
Seketika senyuman lenyap dari wajah kedua orang tuanya. Fiona semakin yakin dengan dugaannya. Pasti ada sesuatu yang mereka tutupi darinya. Entah apa.
"Itu..." Bu Raniesha menatap ke arah suaminya.
Suaminya mengangguk seolah isyarat memberi tahu Fiona. Sekali lagi, Bu Raniesha menghela napas berat. "Ya. seperti yang sudah kamu baca di dalam surat itu."
"Tapi ... Fania ke mana?"
"Dia sudah pergi jauh, Fi. Maka mulai sekarang kamu belajarlah hidup tanpa dia."
"Ya, pergi ke mana?"
Fiona masih bersikukuh mempertanyakan keberadaan saudari kembarnya itu. dia tidak perlu belajar mandiiri karena jauh dari Fania. Justru harusnya kebalikannya. Fania yang harus belajar mandiiri jika memang saat ini dia sedang belajar hidup sendiri.
"Dia kembali ke Amerika," sahut ayahnya.
Fiona mengerti jika memang Fania ingin kembali menjadi seorang model. Sama sekali tidak masalah baginya, tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa tidak dengan cara baik-baik? Kenapa seolah dia sedang menutup sesuatu padanya.
"Kapan?" tanyanya lagi dengan intonasi yang dingin.
"Satu jam sebelum ayah masuk kamar kamu."
"Dan kenapa?"
"Itu impian dia, dan kamu tahu sendiri, kan?"
"Bukan... maksud Fiona, kenapa bahkan di saat seperti ini, Ayah masih mengistimewakan dia?"
"Apa maksud kamu?"
"Dia ke luar negeri karena hamil, kan? Ayah tahu itu, bukan?!"
"Fio, jaga ucapan kamu?!"
Fiona menatap dengan tersenyum miris. Jawaban itu seolah membuktikan bahwa ayahnya sudah tahu bahwa Fania telah mengandung anak.
"Fio bersusah payah menutupi ini, tapi ternyata ayah dan mama sudah tahu?! Cih."
PLAKKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Fiona.
Fion menyeka halus pipinya yang memerah, dia tidak menduga ayahnya akan melakukan hal kasar ini padanya. "Kenapa? Apa Ayah enggak terima Fiona mengatakan yang sebenarnya? Kenapa ayah memperlakukan kami beda? Kenapa ayah memperlakukan dia istimewa dan aku tidak? Dan kenapa? Ayah hanya membenciku? Kenapa?!"
Ayahnya berbalik badan kembali menatap wajah putrinya dengan tajam. "Ayah tanya balik. Kenapa kamu kembali ke Indonesia dan mundur dari agency bahkan tanpa memberi tahu ayah satu dua patah kata pun?! Bisa kamu jelaskan?!"
"Fio melakukan itu semua karena ada sebabnya. Ayah dan mama tahu sendiri, kan?"
"Ayah melakukan hal ini juga ada sebabnya, kamu tahu sendiri kan?"
Fiona menghela napas dengan berat. Mau mendebat bagaimanapun juga tidak berujung. Ayahnya akan selalu punya jawaban untuk menang.
Tidak berapa lama kemudian terdengar langkah kaki seseorang masuk menuju ruangan di mana Fiona dan keluarganya berada.