Sebuah pesan masuk.
Yoseph:
Hei, lagi apa? Sudah makan?
Fiona terkejut membaca pesan itu, sekaligus bahagia bukan kepalang. Saling berkirim pesan dengan Yoseph adalah hal yang paling dia rindukan kini. Ini juga menjadi kesempatan emas baginya. Dia tidak mungkin membiarkan masalah ini semakin berlarut, harus selesai karena dia tidak mau terus larut dan canggung dengan Yoseph.
Fiona:
Gue lagi enggak ngapa-apain.
Yoseph:
Kenapa? Bosen?
Fiona:
Enggak, lo sibuk enggak hari ini?
Yoseph:
Enggak. Kenapa? Mau traktir gue?
Fiona:
Ada yang mau gue omongin sama lo.
Mereka pun sepakat untuk bertemu di Kafe Strawberry, tempat mereka biasa bertemu.
***
Fiona dengan perasaan bahagia sekaligus khawatir bahwa yang akan terjadi tidak sesuai seperti yang dia harapkan kini. Akan tetapi, apapun itu, setidaknya dia akan mencoba. Karena terus menghindari Yoseph seperti ini pun akan tidak beerguna.
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Taksi yang dia pesan secara daring pun sudah menunggu di depan rumah.
Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar kamar. Terasa sedikit lebih sepi dari biasanya karena tidak ada Fania yang terkadang berisik. Dia sedikit merindukan gadis itu.
"Hai, Sayang. Kok cantik banget, mau kemana?" tanya Raniesha.
"Mau pergi, Ma. Ketemu sama temen."
"Oh ya? kemana?"
"Kafe, Ma."
"Sama Devika atau siapa tuh satunya?"
"Bukan, Ma, bukan. Fio mau ketemu sama temen Fio, cowok."
Tiba-tiba saja, Raniesha melonjak girang, dia mencecar dengan berbagai macam pertanyaan. Karena yang ada dalam benaknya, laki-laki itu pasti Kelvin. Lantas kalau bukan Kelvin siapa lagi? Begitu pikirnya.
"Kamu yakin hanya menggunakan baju ini?"
"Yakin, memangnya kenapa, Ma?"
"Mama ada dress yang baru Mama beli beberapa hari lalu, kamu mau—"
"Enggak perlu, Ma. Jangan terlalu berlebihan," pangkas Fiona.
Sebenarnya Fiona sangat ingin merngatakan yang sebenarnya. Ya, termasuk dengan siapa dia ingin bertemu dan masalah seperti apa yang ingin dia selesaikan dengan Yoseph. Karena toh selama ini Raniesha berbeda dengan ayahnya. Bu Raniesha selalu memperlakukan kedua anaknya dengan adil. Sangat adil. Namun walau bagaimana pun juga, Fiona sangat yakin bahwa ibunya juga pasti mendukung bisnis ayahnya dan apa yang ayahnya tengah jalani kini.
"Kalau begitu, mau Mama minta ayah untuk antarkan kamu?"
"Enggak perlu, Ma. Fio yakin ayah juga sedang sibuk sekarang." Fiona melirik ke arah jendela, tampak sebuah mobil taksi telah menunggu di sana. "Tuh, lagi pula Fiona sudah dijemput sama taksi. Jadi Mama enggak perlu khawatir."
"Tapi kamu—"
"Aman kok, Ma, tenang aja. Fio juga masih punya ongkos kok."
Dengan segera Fiona beranjak dan menyalami tangan ibunya. Dia harus menyelesaikan masalah satu per satu. Setelah selesai masalah dengan Yoseph, barulah dia selesaikan masalah dengan Fania lalu membantu saudara kembarnya itu untuk menyelesaikan masalah dengan Kelvin. Semuanya harus dia lakukan dengan cepat, sebelum kedua orang tua mereka memutuskan perjodohan ini benar-benar terjadi.
Entah apa jadinya jika Fania sngguh bertunangan apa lagi sampai menikah dengan laki-laki seperti Kelvin. Tidak! Bahkan tidak hanya itu. bagaimana jika Kelvin yang akan menikahi Fiona. Tidak! Itu sangat mengerikan!
Lalu lintas terasa cukup padat, suara kendaraan dan klakson terdengar bersahutan satu sama lain. Dan hal itu membuat Fiona semakin khawatir. Dia bukan tipikal orang yang mudah panik, tapi entah mengapa berbeda halnya untuk kali ini.
Bersyukur, sopir taksi kali ini tahu di mana tempat-tempat untuk melewati jalan pintas. Meskipun, dia harus melewati jalanan yang lebih sempit dan sesak karena ramainya warga yang tinggal di sana. hingga tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di tempat tujuan. Gawai Fiona mulai memberikan signal sedang ada notifikasi pesan dari aplikasi chat.
Yoseph:
Lo di mana?
Fiona:
Di jalan. Lo udah sampai mana?
Yoseph:
Kafe. Jangan lama ya, gue enggak bisa lama-lama, mau latihan soalnya.
Membaca pesan kali ini membuatnya cukup kecewa. Jika memang tengah sibuk, lalu kenapa dia menerima untuk diajak bertemu sore ini? Akan tetapi, meskipun begitu, dia tetap bersyukur karena Yoseph masih mau menyisihkan waktu untuknya.
Fiona:
Lo sibuk?
Yoseph:
Enggak kok.
Yoseph masih mengetik, namun karena gemas—juga emosi, Fiona segera membalas.
Fiona:
Kalau memang sibuk, enggak apa-apa, cancel aja pertemuan sore ini. Gue enggak apa-apa,gue juga yakin kok kalau lo punya kesibukan lain yang lebih penting. That's fine for me.
Sungguh di luar dugaan, beberapa detik kemudian ada panggilan masuk dari Yoseph. Dengan refleks, Fiona tersenyum lebar saat itu juga. Dia merasa diperhatikan oleh Yoseph.
"Haloo."
"Fi!"
"Astaga, apa?"
"Lo kenapa ngomong begitu?"
"A-apa?" tanya Fiona pura-pura tidak paham kemana maksud ucapan Yoseph kali ini.
"Fi ... "
"Apa?"
Tidak lama kemudian mobil sopir taksi itu terhenti saat itu juga.
"Neng, maaf, kita sudah sampai."
"O-oh iya, Pak."-Fiona mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lalu meninggalkan sopir taksi tersebut.
Setelah keluar dari mobil, dia kembali mengobrol dengan Yoseph via telepon.
"Yoseph, sorry, tadi sampai mana?"
"Enggak, enggak jadi," balas Yoseph dengan nada suara sendu.
"Kenapa? Kok lo gitu sih?"
"Coba noleh ke belakang."
"Belakang gue?"
"Hmm."
Fiona lalu menuruti permintaan Yoseph lalu dia melihat pancuran air yang ada di depan kafe itu. pancuran air itu berwarna-warni membuat mata Fiona terpesona bagai terhipnotis. Sangat cantik. Dan satu-satunya kata yang keluar dari bibir tipisnya adalah ... "Whoaaa, indah banget."
"Indah ya?"
"Iya, kok bisa ada beginian?"
"Dia akan terpancar indah pada saat yang tepat. Tapi ... bukan itu yang gue maksud."
"Terus, apa dong?"
"Lima empat tiga dua satu ..." Yoseph menghitung mundur, lalu air pancuran itu memberi jeda. Dan .... tampaklah Yoseph dari seberang sana yang tengah mengukir senyum dengan hangat untuk Fiona. Dia melambaikan tangan kanan, dengan segera Fiona berjalan menuju Yoseph.
"Hai, Yos!"
"Hai, Fi. Maafin gue ya?"
"Maaf? Emang lo habis ngapain gue?"
Yoseph menggeleng pelan. "Enggak, bukan itu maksudnya. Tapi ... gue Cuma mau bilang ... maaf, kalau gue berkesan enggak peduli dan cuek sama lo."
"Enggak juga kok, dan kalau pun lo begitu, itu sama sekali enggak masalah buat gue."
Dengan perasaan yang masih agak kesal Yoseph menjetikan jari di dahi Fiona agak keras. "Dasar degil! Enggak peka banget kenapa sih?"
Fiona semakin bingung. "Gue salah apa sih?" tanyanya sembari menyeka pelan dahi yang terasa agak sakit karena jentikan Yoseph.
Yoseph membuka kedua tangannya lebar seolah sedang memberi isyarat bahwa dia tengah meminta pelukana hangat Fiona.
"A-apa?"
Tanpa basa-basi, Yoseph memeluk Fiona erat.
"Kenapa, Yos?" Fiona salah tingkah atas hal yang dilakukan Yoseph, namun dia tidak enak hati untuk menolak.