"Ini, Kak. Hot americanonya," kata pelayan kafe itu dengan tersenyum ramah.
"Siapa yang pesen, Mba? Kayaknya saya enggak ada pesen deh."
"Pacarnya, Mba,"-pelayan kafe itu menunjuk ke arah Yoseph dengan sopan. Sementara Yoseph sudah senyam-senyum tidak karuan.
"Dia bukan pac—"
"Apa sih, Beb? Kamu masih marah sama ku? Udah, Mbak, terima kasih, ya."
Pelayan kafe itu berlalu pergi meninggalkannya yang sejak tadi sudah menunggu untuk diminta pergi.
"Pacar? Sayang? Apaan sih, Yos?"
Bukannya menjawab, Yoseph malah menyeka pipi Fiona dnegan lembut seolah kini dia benar-benar kekasih dari Fiona. Sambil tersenyum dia berkata, "please... kita mainkan drama hari ini."
"Drama?"
"Di sisi sebelah kanan bersebrangan dari kita ada Kelvin yang lagi mantau."
Saat Fiona ingin menoleh ke arah itu, Yoseph segera menyentuh kedua pipinya dengan kedua tangannya dengan lembut."Jangan noleh dong."
Fiona mengangguk mengerti.
Yoseph siap siaga menjaga Fiona. Dia diam-diam selalu mengawasi gerak-gerik Kelvin. Bukan hanya karena Fiona adalah adalah orang yang dia sukai, melainkan karena Fiona pernah menolong Yasmin, kakak kandungnya sekaligus satu-satunya keluarga yang dia miliki.
"Lo laper?"
"Enggak."
"Terus ngapain ngajak ketemu di sini?" tanya Fiona lagi.
"Buat mancing Kelvin."
Bukan Yoseph namanya jika hanya percaya begitu saja. Itulah sebabnya dia masih perlu bukti lebih bahwa mantan kekasih dari Fania itu benar-benar menguntit.
***
Waktu menunjukan pukul dua belas siang. Cahaya kemuning mentari semakin terik memberikan kehangatan yang mulai terasa memanas. Tetapi Fiona, masih begitu betah berdiam diri di depan jendela kamar. Menatap pemandangan luar sana yang ... tidak ada apa-apanya. Bukan itu yang membuatnya begini, tapi karena perkataan Yoseph yang terasa agak mencekik perasaannya.
Dia teringat kembali kejadian saat Yoseph mengantarnya kembali ke rumah tadii. Obrolan yang lebih serius dari biasanya.
"Gue tahu lo tahu, ya kan?"
"Maksud lo?"
"Alasan gue lindungin lo, jagain lo sampai sejauh ini. Lo kira kenapa?"
"Kenaoa?"
"Gue sayang sama lo."
"Sayang? Maksud lo sayang sebagai ... apa?"
"Kakak ke adik. Lo enggak punya abang, kan?"
Fiona hanya membeku. Tidak ada ekpresi yang dia tunjukan kecuali mengangguk pelan.
"As brother?! Cih!" gerutunya.
Dia menahan malu bukan main. Selama ini dia selalu mengira bahwa laki-laki itu memiliki perasaan lebih untuknya, bahkan perasaaan yang tidak main-main. Perasaan yang serius. Namun, mendengar alasan rasa peduli Yoseph untuknya membuat seorang Fiona merasa miris. Kenapa harus begitu jujur? Arrrgh!
"Hai, Fi. Lagi apa?" sapa Fania membuyarkan lamunannya.
"Enggak ada," balasnya tanpa menoleh sedikit pun. Benar-benar datar. Sangat jauh dari Fiona yang dia kenal dulu.
"Lo... dari mana tadi?"
"Ketemuan sama temen."
"Siapa? Devika? Elea?"
"Bukan."
"Terus kalau bukan mereka—"
"Bukan urusan lo!" balasnya setengah membentak.
"M-maaf, Fi."
Fiona ingin berlalu pergi. Akan tetapi, Fania menahannya."Biar gue yang pergi. Lo di sini aja."
Fiona memijit plipisnya pelan. Andai saja Fania tahu tawaran seperti apa yang akan mereka hadapi. Ide gila dari Yoseph. Astaaga, rasanya dia benar-benar ingin mengamuk kini. Tapi, tidak ada gunanya juga, bukan?
Fania berlalu pergi, dia sangat yakin bahwa saat ini pikiran kalut Fiona akan tidak mudah baginya untuk diredam. Dia merasa lebih baik saling mendebat dengan Fiona dari pada dia harus terus begini. Entah sampai kapan?
Bagi Fiona bukan soal dianggap adik yang penting kini. Tapi, dia kini tidak ada pilihan lain. Menerima tawaran Yoseph atau mengatakan kepada semua orang bahwa Fania mengandung anak di luar pernikahan. Dan bukan hanya itu, tapi jika hal itu sampai terjadi, maka dia dan nama keluarganya akan tercoreng. Benar, perut Fania perlahan akan membesar dengan seiring berjalannnya waktu. Namun, setidaknya untuk kali ini saja dia tetap ingin mencoba. Meski dia sendiri tidak tahu akan berhasil atau tidak.
"Gue yang salah karena setuju dengan misi gila lo itu."
Begitu ucap Fiona dalam sesal. Seharusnya sejak awal dia tidak setuju bahkan melarang Fania membalas perbuatan Kelvin. Bukan malah mendukung begini. Di antara angin sepoi-sepoi dan teriknya langit siang itu, dering gawai Fiona berdering. Diliriknya untuk sesaat. Dari Devika. Dia menggeser tombol hijau agar tersambung dengan panggilan itu.
"Halo, Fi."
"Hai, Dev," balasnya menyambut sembari menghela napas.
"Kenapa lo? Menghela napas begitu. Lagi ada masalah?"
"Sedikit."
"Kenapa? Cerita dong sama gue."
"Enggak mood gue, lain kali saja ya."
Tidak mungkin Fiona menceritakan masalah kali ini. Bagaimana mungkin dia menceritakan masalah yang begitu besar pada orang lain? Meski itu terhadap Devika—sahabatnya sendiri. Fiona percaya Devika, sangat percaya. Namun, dia memang bukan tipe orang yang mau dengan mudahnya menceritakan segala sesuatu berupa masalah apa lagi perasaannya. Tidak mungkin.
"Ya udah, enggak apa. Hmm, Fi ..."
"Apa?"
"Lo sibuk, enggak?"
"Enggak, kenapa?"
"Sebenarnya gue mau telepon karena pingin curhat," ucap Devika dengan manja. Meski hanya berbicara via telepon, tapi Fiona yakin bahwa saat ini, pasti Devika sedang memajukan bibir. Persis seperti angsa dalam tokoh kartun.
"Ya udah, curhat aja, Dev."
Meski terdengar cuek bebek, tapi sebenarnya Fiona sangat senang jika harus mendengar satu atau dua cerita dari orang lain. Masalah yang dia hadapi kini, benar-benar membuatnya harus merefresh otak. Barangkali dengan mendenga cerita orang lain, satu atau dua kalimat dapat membuat otaknya menjadi tidak begitu tegang.
"Tadi gue kan jalan sama cowok yang baru gue ajak kenalan di sosial media belakangan ini. Lo tahu? Dia ganteeeeng banget, sumpah! Gue masih enggak nyangka kalau dia tuh, foto sama aslinya bener-bener mirip, no! Sama persis. Gilak sih!"ujar Devika menceritakan panjang kali lebar dengan antusias yang tinggi. Bahkan, Fiona yang dari tadi tidak tersenyum sama sekali berhasil tersenyum tipis.
"Terus, jadian?"
"Ya, enggaklah. Masa cepet banget. Gue kenal sama dia baru satu bulan kalik. Dan hari ini adalah first meet kita."
Fiona terus mendengarkan kata demi kata yang Devika ceritakan siang itu. Hingga tidak terasa, satu jam sudah mereka saling berbincang via panggilan suara.
"Udah pamernya?"
"He he he. Ada satu hal lagi yang mau gue ceritain ke lo, Fi."
Sebenarnya ... ini adalah hal yang sejak tadi ingin dia katakan. Hanya saja terasa aneh jika langsung membicarakannya.
"Apa tuh? Dia ngajakin tunangan?"
"Bukan, Fi. Bukan soal cowok itu. Tapi soal ... Firda."
Fiona kembali menghela napas panjang. Malas sekali rasanya jika harus berurusan dengan Firda. Namun begitu, Fiona sangat yakin ada hal serius yang Devika ingin ceritakan kali ini.
"Apa? Dia kenapa lagi, Dev?"
"Ada berita yang tersebar luas soal Firda dan Yoseph."