Nathan menatap Marissa tajam, dia benar-benar sangat tidak menyukai wanita menor tersebut lalu menyuruh Romi keluar dan kembali pada pekerjaannya. Setelah kepergian Romi lantas Nathan berbalik dan melipat kedua tangannya di depan dada, Nathan tersenyum sinis melihat Marissa yang masih diam mematung.
"Aku tahu, pasti kamu kesini karena mama yang menyuruhmu 'kan? Jangan terlalu percaya diri hanya karena mama mendukungmu, apalagi jika sampai dirimu berpikir bisa memisahkan aku dan juga Adelia. Sebab hubungan kami tidak sedangkal itu! Aku tidak akan pernah tergoda olehmu, aku juga tidak berminat denganmu. Jangankan menjadikanmu sebagai istri, melihat wajah palsumu saja aku muak!" ujar Nathan membuat Marissa mengepalkan tangannya karena marah. Ternyata menaklukkan pria di hadapannya itu sangat sulit dan jauh dari yang dia prediksi sebelumnya, tadinya Marissa berpikir jika dia akan dengan mudah masuk kedalam kehidupan Nathan tapi ternyata tidak. Semua ucapan Riska dia telan bulat-bulat saat mengatakan jika Nathan pasti luluh jika berurusan dengannya dan diiming-imingi oleh 'anak', rupanya rasa cinta pria itu terhadap Adelia tidak bisa patah begitu saja.
"Aku ke sini hanya ingin mengajakmu makan siang, tadi tante Riska memintaku untuk menjemputmu. Tidak ada maksud lain," jawab Marissa berusaha tetap bersikap manis meskipun hatinya begitu panas dan ingin memaki Nathan yang menurutnya sarkas. Tapi hal itu pula yang membuat Marissa ingin mengetahui sejauh apa Nathan menolak pesonanya.
"Jangan mimpi, aku tidak akan mau meskipun mama yang memintamu menjemput bahkan menyeretku dari sini!" ujar Nathan.
Marissa belum sempat bicara, pintu ruangan kembali terbuka tanpa ketukan tentu saja membuat Nathan marah karena lagi-lagi Romi tidak bisa mencegah orang lain masuk ke ruangannya. Tapi, saat dirinya berbalik bibir yang sejak tadi berbicara sarkas terhadap Marissa kini membentuk sebuah lengkungan senyum, sambil merentangkan tangannya menunggu orang tersebut mendekat.
"Sayang ... langsung pulang ke sini? Bukannya kemarin bilang mau bertemu dengan Lisa?" tanya Nathan sambil mengusap pucuk kepala istrinya.
Adelia memeluk Nathan dan sempat melirik Marissa yang menatapnya tidak suka tapi dia tidak mempedulikan keberadaan Marissa di sana meskipun dalam hati Adelia merasa cemburu.
"Tidak jadi, soalnya sebelum pergi Lisa sempat memberi pesan jika dia hendak menjemput kekasihnya yang baru saja pulang dari Paman Sam, dan dia sedang dalam perjalanan ke bandara sekarang." Adelia menjelaskan keadaannya kenapa dia bisa langsung datang ke kantor Nathan setelah selesai mengajar.
"Makan siang yuk, Sayang!" ajak Nathan sambil menggandeng Adelia keluar dari ruangannya.
"Tapi Nathan ... ibumu memintaku untuk mengajak makan siang bersama dengannya," ujar Marissa menahan langkah kaki pasangan suami istri tersebut.
Nathan berhenti lalu berbalik dan menatap Marissa dengan sorot mata tajamnya.
"Pergi saja sendiri, apa dirimu benar-benar tidak bisa menggandeng pria lain yang masih single sampai nekat mendekatiku yang jelas-jelas sudah memiliki istri? Apa dirimu tidak percaya diri dengan wajah tebalmu itu?" sarkas Nathan lalu membiarkan Marissa sendirian di ruangannya.
Saat mereka berdua berjalan keluar, Adelia menahan dada Nathan dan menarik dasi suaminya supaya wajah pria itu dekat dengannya.
"Apa yang akan terjadi jika aku tidak datang?" tanya Adelia dengan tatapan yang entah seperti apa. Tersirat rasa takut, cemburu dan juga marah dalam matanya.
Nathan tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia justru menangkup wajah Adelia dan mengecup lama kening wanitanya.
"Aku justru lega dan berterima kasih karena dirimu datang tepat waktu hingga aku bisa menghindari wanita ular itu. Jangan pernah meragukan perasaanku, mengerti?" tanya Nathan menatap lembut Adelia.
Mata Adelia justru berkaca-kaca, dia mungkin bisa saja percaya dengan Nathan tapi tidak dengan Marissa dan juga mertuanya, sekian tahun hidup dan diperlakukan layaknya anak sendiri nyatanya tidak membuat Adelia menjadi satu-satunya dalam hati sang ibu mertua. Wanita yang sduah melahirkan suaminya itu justru menginginkan anaknya untuk menikah lagi karena obsesi ingin memiliki keturunan dan Adelia takut jika lambat laun Nathan terpengaruh dan mengikuti keinginan ibunya.
"Tapi aku ... aku takut jika suatu saat nanti perasaanmu berubah, aku takut jika dirimu kecewa dengan keadaan kita yang belum juga memiliki keturun ...." Adelia tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Nathan sudah menciumnya dengan ganas. Pria itu tidak peduli jika banyak karyawannya yang berlalu lalang dan melihatnya, lagipula Nathan melakukan itu dengan istrinya sendiri di kantornya sendiri.
"Jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi," ucap Nathan sambil mengusap benang saliva di sudut bibir Adelia.
Sementara di ruangan Nathan, Marissa tengah menelpon Riska dan mengatakan jika Nathan tidak mau datang untuk makan siang bersama karena dilarang oleh Adelia, padahal yang sebenarnya terjadi bukanlah seperti itu.
'Tunggu saja, cepat atau lambat dirimu pasti akan jatuh dalam pesonaku!' batin Marissa sambil berjalan keluar dengan tangan yang seolah ingin menghancurkan ponsel yang tengah dirinya genggam.
***
Di sekolah Nayla, gadis itu tengah menunggu kedatangan ayahnya. Mereka berdua sudah berencana untuk makan siang di luar dan hal ini sudah dibahas sejak jauh-jauh hari. Untunglah tidak terlalu lama Nayla menunggu kedatangan Raffael karena mobil pria itu sudah terlihat, dengan riang Nayla masuk setelah Raffael membukakan pintu mobilnya dari dalam.
"Let's go!" teriak Nayla sambil mengacungkan tangannya ke depan membuat Raffael terkekeh geli dan mengacak rambut putrinya.
"Jadi ... kemana kita?" tanya Raffael pada putrinya.
"Ke restoran Korea! Sudah lama Nayla tidak makan makanan negeri itu, Yah," ujar Nayla.
"Baiklah." Raffael melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang karena tidak ingin terjadi sesuatu hingga mobil yang dikemudikan olehnya kini sudah sampai di tempat parkir restoran.
Nayla turun sambil menggandeng tangan Raffael dan senyum yang mengembang, dia tidak sekalipun melunturkan senyumannya sejak turun dari mobil. Nayla menunjuk beberapa menu pilihannya, sambil menunggu pesanannya datang sepasang anak dan ayah itu berbincang menceritakan banyak hal.
"Oh iya, Nayla, guru yang tadi pagi itu siapa namanya? Ayah belum tahu dan belum sempat berkenalan dengannya," tanya Raffael yang mengingat jika tadi pagi Nayla memperkenalkan guru yang sering dia sebut dengan panggilan Bu guru cantik.
"Namanya bu Adelia, tapi Nayla lebih suka memanggilnya bu guru cantik. Bu Adel cantik 'kan, Yah?" tanya Nayla.
Raffael tidak memungkiri jika yang diucapkan Nayla memang benar adanya, guru Nayla tadi pagi memang cantik. Obrolan mereka mereka harus berhenti saat pesanan keduanya siap, Nayla makan dengan lahap dan tanpa memperhatikan Raffael yang tengah menatapnya heran.
"Apa seenak itu? Kenapa makan seperti orang yang tidak menemukan makanan enak selama berminggu-minggu," ujar Raffael.
Nayla hanya memberikan tangannya sebagai isyarat untuk Raffael diam, sebab dirinya tengah fokus makan dan tentu saja makanan tersebut begitu enak.
Hingga mata tajam gadis cilik itu menangkap siluet seseorang yang dia kenal, sontak saja Nayla menghentikan acara makannya.
"Bu Adel!" panggil Nayla yang membuat si empu nama menoleh begitu juga dengan Raffael yang langsung memutar tubuhnya menghadap belakang. Benar saja jika Adelia ada di sana, tapi dengan siapa wanita itu? Pikir Raffael yang melihat jika Adelia tengah bersama seorang pria.