Nathan melepaskan pagutannya saat Adelia menepuk dada bidang pria itu dengan brutal, bukan karena tidak menyukai ciuman suaminya tapi Adelia kehabisan napas sementara Nathan masih setia menciumnya, memang awalnya ciuman Nathan terasa kasar tapi lambat laun ciuman itu terasa lembut.
"Haaah." Adelia terengah saat tautan bibirnya terlepas, dia tidak menyangka jika Nathan mengerangnya secara tiba-tiba seperti itu, di kantor pula.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Adelia sebal terhadap suaminya.
"Apa? Kamu masih bertanya? Tentu saja aku cemburu!" sahut Nathan sewot. Pria itu tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya saat melihat istrinya berinteraksi dengan pria lain, apalagi orang tersebut adalah karyawannya sendiri.
"Cemburu?" beo Adelia sambil melipat kedua tangannya di depan dada, dia mengangkat sebelah sudut bibirnya menyeringai menanggapi ucapan suaminya.
"Lalu kamu pikir aku tidak cemburu melihat suamiku digoda perempuan lain di hadapanku? Dengan pakaian yang lebih pantas disebut untuk pergi ke tempat hiburan malam daripada ke kantor, apa tidak bisa kantormu ini menyediakan seragam? Atau setidaknya memberikan aturan berpakaian yang baik dan sopan?" debat Adelia tidak mau kalah. Di sini bukan hanya Nathan yang cemburu, tapi Adelia juga. Apalagi sejak pembahasan di mobil tadi Nathan jadi mengacuhkannya.
"Tu ... tunggu, kamu cemburu? Dengan wanita tadi?" tanya Nathan dengan suara yang kini sudah berubah lembut. Pria itu mendekati istrinya yang masih memasang wajah juteknya.
"Menurutmu?" balas Adelia bukannya menjawab.
"Tapi dia hanya karyawan ku, Sayang, lagipula mana mungkin aku main serong dihadapanmu? Dan untuk apa aku melakukan hal tersebut sementara istriku jauh lebih menggairahkan?" bisik Nathan di akhir kalimatnya membuat Adelia bersemu tapi tak lantas wanita itu luluh begitu saja mendengar penuturan suaminya.
"Terserahlah," sahut Adelia kembali duduk di sofa menunggu kedatangan Romi membawakan camilan untuknya.
"Sayang ... jangan tersenyum pada pria lain selain aku, apalagi pada Romi!" rengek Nathan menyusul istrinya.
"Kenapa?" Adelia justru kini berpura-pura tidak tahu jika suaminya tengah cemburu.
"Tidak usah berpura-pura, kamu juga pasti tahu kalau tengah cembur ...." Nathan menghentikan ucapannya saat pintu ruangannya terdengar diketuk dari luar.
Tak berselang lama Romi datang dengan beberapa kantong makanan untuk istri boss-nya.
"Ini camilannya, Nyonya," ucap Romi sambil meletakkan makanan tersebut ke atas meja membuat senyum Adelia merekah.
"Terima kasih, Romi." Adelia membuka salah satu bungkus makanannya. Sementara Nathan menyuruh Romi keluar, dia tidak rela jika ada pria lain yang melihat senyum istrinya. Sebab senyum wanita itu membuatnya terlihat cantik berkali-kali lipat.
"Mau?" tawar Adelia menyodorkan makanannya ke hadapan Nathan tapi pria itu menggeleng kecil, dia masih kesal dengan sikap ramah istrinya.
"Tidak, habiskan saja makanan dari Romi!" Ketus Nathan kembali ke mejanya. Adelia tergelak dalam diam menertawakan kelakuan suaminya yang tengah cemburu. Hingga hampir satu bungkus camilan dihabiskan oleh Adelia membuat wanita itu ingin minum, belum lagi dirinya yang ingin membuatkan kopi untuk suaminya.
"Ingin kopi?" tanya Adelia menghampiri suaminya dan melingkarkan tangannya di bahu Nathan, dia sudah melupakan perkara cemburunya tadi karena Nathan juga merasakan hal yang sama saat dirinya berinteraksi dengan Romi tadi.
"Hmm, seperti biasa," sahut Nathan sedikit melirik istrinya.
"Jangan lama-lama!" pesan pria itu sebelum Adelia mencapai pintu, wanita itu mengangguk tipis sambil tersenyum yang langsung menular pada Nathan.
Adelia berjalan menuju pantry yang ada di kantor suaminya, dia sangat tahu kopi seperti apa yang diinginkan suaminya. Tapi di tengah jalan Adelia harus berbelok ke toilet karena mendadak ingin buang air kecil, dengan langkah ringan Adelia masuk ke salah satu bilik toilet untuk menuntaskan niatnya. Tapi saat ingin keluar tangan Adelia menggantung di depan pintu saat mendengar dengan jelas obrolan karyawan suaminya. Ingin berteriak dan marah tapi ucapan mereka menang benar adanya, Adelia tidak bisa menyalahkan mereka yang kini tengah membicarakannya.
"Kamu tahu, pak Nathan mengajak istrinya ke kantor? Demi apapun aku iri melihat mereka, terlihat sangat serasi dari sudut manapun," ucap salah satu karyawan.
"Iya mereka memang serasi, tapi sayang pernikahan mereka belum dikaruniai anak padahal mereka menikah sudah tiga tahun lebih," timpal yang lain.
"Mungkin mereka memang menunda untuk kehamilan dan ingin menikmati masa-masa pacaran setelah menikah," ujar suara yang tadi pertama kali bicara.
"Mungkin, tapi bisa saja 'kan salah satu dari mereka bermasalah?" Kembali terdengar pembicaraan dari orang kedua.
"Hush, kamu ini, kalau biacara jangan sembarangan. Biar bagaimanapun mereka tetap atasan kita, doakan yang baik-baik saja," jawab temannya.
"Bukannya tadi kamu yang bicara soal ibu Adelia?" sahut temannya tidak terima.
"Tapi aku mengatakan iri bukan pada ibu Adelia, melainkan sikap romantis pak Nathan yang tidak pernah berubah dalam memperlakukan istrinya," bantah temannya.
"Sudah, sudah! Jangan berdebat, sebaiknya segera kembali," ucap salah satu dari mereka menengahi pembicaraan rekannya. Hingga suara mereka menghilang Adelia masih setia di dalam toilet mendengar semuanya dari awal hingga akhir.
Lagi-lagi perkara anak yang jadi bahan omongan orang lain, ternyata bukan hanya mertuanya saja yang mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan pegawai suaminya sendiri sampai memperhatikan hal kecil seperti itu, Adelia lantas duduk di atas closed sambil menutupi wajahnya, dia menangis saat hatinya tidak mampu lagi menerima pembahasan tentang anak. Bukan dia yang tidak mau, bukan pula dirinya atau Nathan menunda hal tersebut, mereka berdua selalu berusaha tapi hasil kembali lagi pada yang maha kuasa. Sampai detik ini mereka belum juga di percaya untuk hal seperti itu.
***
Sementara di salah satu sekolah favorit di ibukota seorang siswi tengah menunggu jemputan, dia berdiri di pos security sambil sesekali mengobrol menghilangkan rasa jenuhnya. Saat melihat mobil ayahnya datang gadis kecil itu lantas turun menunggu di depan sambil cemberut dan melipat kedua tangannya.
"Ayah telat," ujarnya memalingkan wajah melakukan aksi protes.
"Oke, ayah minta maaf. Tapi tadi memang ada rapat yang tidak bisa ayah tinggalkan," jawab sang ayah sambil meraih tangan putrinya untuk mengajak gadis itu pulang.
"Mau langsung pulang atau makan siang dulu?"
"Terserah!" sahut putrinya dingin.
Pria tampan satu anak itu lantas berjongkok menyamakan tingginya dengan sang putri.
"Apa semua wanita selalu mengatakan hal itu?" tanyanya.
"Mengatakan apa?"
"Mengatakan kata terserah saat ditanya, itu adalah jawaban yang paling membingungkan," ujar pria tersebut.
"Entahlah, Nayla juga tidak tahu," sahut gadis kecil itu sambil mengedikan bahunya acuh dan masuk ke dalam mobil.
Raffael mendesah melihat putrinya kini sudah beranjak remaja. Dia lantas menyusul Nayla sebelum akhirnya melajukan mobilnya. Sepanjang jalan mereka berdua mengobrol dengan Nayla yang mendominasi pembicaraan.