Chereads / I'm Not Barren / Chapter 9 - Rasa Sesak Adelia

Chapter 9 - Rasa Sesak Adelia

Nayla turun dari mobil sang ayah ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir manis di halaman rumahnya, dia berjalan begitu lesu saat memasuki rumah membuat sang nenek heran.

"Nayla, kenapa Sayang?" tanya sang nenek sambil menghampiri cucu satu-satunya. Nayla menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan neneknya. Gadis kecil itu duduk tepat berhadapan dengan wanita baya yang kini tengah menatapnya heran.

"Ibu guru cantik Nayla tidak masuk, kata teman-teman bu guru cantik sakit." Nayla mulai bercerita dengan wajah ditekuk sempurna, gadis itu merasa sedih sebab guru yang selalu bermain dan menghiburnya kini tidak masuk sekolah untuk mengajar membuat Nayla merasa kesepian.

"Nayla tahu rumah Bu guru?" tanya Raffael berusaha menghibur putrinya. Gadis kecil itu menggeleng pelan tidak bersemangat karena dirinya tidak tahu di mana gurunya tinggal. Jika saja Nayla tahu, sudah sejak tadi gadis kecil itu mengajak ayahnya membesuk gurunya.

"Doakan saja, semoga Bu guru segera sehat dan bisa kembali mengajar di sekolah. Jadi ... Nayla tidak perlu bersedih lagi." Raffael mengusap lembut pucuk kepala putrinya memberikan gadis kecil itu perhatian. Nayla mengangguk sambil masuk kedalam peluakn ayahnya.

"Ya sudah, sekarang Nayla di rumah dengan nenek! Ayah harus kembali ke kantor."

"Hmm, hati-hati!" pesan gadis kecil tersebut saat Raffael mengecup keningnya.

"Baiklah tuan putri," goda Raffael membuat senyum Nayla tercetak meski tipis tapi setidaknya gadis itu tidak lagi murung memikirkan bu gurunya.

Raffael kembali ke kantor setelah mengantar Nayla pulang, sudah jadi rutinitas sehari-hari yang dijalani Raffael saat putri semata wayangnya itu masuk sekolah. Jika dirinya tengah sibuk dan tidak bisa meninggalkan kantor maka Raffael akan menyuruh sopir pribadi untuk menjemput Nayla. Tapi jika saat senggang seperti barusan maka Raffael akan menyempatkan diri menjemput Nayla.

***

Sementara di kantor Nathan, Adelia yang baru saja mendengar penuturan para pegawai Nathan lantas merasa berkecil hati apalagi saat suaminya marah dan menolak ketika dirinya mengajak atau sekedar membahas tentang dokter kandungan dan juga soal keturunan. Meskipun Nathan selalu mengatakan jika dia tidak masalah walau tidak memiliki anak tapi Adelia yakin jika dalam hatinya Nathan juga menginginkannya, hanya saja pria itu berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya saja.

Adelia tidak jadi ke pantry dan membuatkan kopi Nathan, dirinya kembali ke ruangan di mana suaminya bekerja. Dengan langkah gontai Adelia menuju ruangan Nathan, saat sudah masuk ke ruangan suaminya Adelia menjatuhkan diri tepat di depan pintu. Tubuh wanita itu terasa lemas sejak tadi, bukan karena melewatkan makan atau karena penyakitnya melainkan ucapan tadi yang didengarnya terus terngiang di telinga.

Nathan yang melihat jika istrinya seperti itu lantas meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri tubuh Adelia yang terlihat bergetar.

"Sayang, kenapa?" Nathan merengkuh tubuh istrinya kedalam pelukan bisa dia rasakan tubuh bergetar Adelia, istrinya itu menangis tertahan dalam pelukannya.

"Kenapa, hmm?" Nathan mengusap pucuk kepala istrinya tapi Adelia masih bungkam dan hanya menggeleng. Nathan membantu Adelia berdiri dan duduk di sofa, pria itu mengambil air minum yang ada di mejanya.

"Minumlah!" Nathan menyodorkan gelas kehadapan Adelia yang langsung diraih wanita itu lalu meneguk isinya.

Adelia tidak berucap apapun, dia hanya kembali tenggelam dalam pelukan suaminya. Nathan heran sekaligus bertanya-tanya apa yang sudah terjadi pada istrinya, tapi dia juga tidak bisa mendapat jawaban karena sejak tadi Adelia hanya bungkam dan sesekali hanya air mata istrinya sebagai jawaban.

"Hey, look at me! Apa yang sebenarnya terjadi? Bisa dirimu ceritakan padaku, bukankah kita sudah sepakat untuk saling terbuka? Apa yang membuatmu menangis? Aku tidak bisa tahu apa yang sudah terjadi jika kamu hanya menangis saat aku bertanya, jadi alangkah baiknya cerita padaku!" ujar Nathan lembut yang mana membuat tangis Adelia semakin pecah.

Nyatanya, Adelia masih saja merasakan sakit saat kembali mengingat ucapan para karyawan Nathan, tapi jika dirinya mengatakan hal yang sebenarnya Adelia takut jika Nathan tersinggung.

"Aku tidak apa-apa," sahut Adelia sambil mengusap air matanya dan berusaha tersenyum manis pada Nathan.

Nathan tidak semudah itu langsung percaya begitu saja saat istirnya mengatakan tidak apa-apa dengan senyum cantiknya dan menghapus air mata yang sejak tadi berdesakan keluar.

"Jangan bohong! Aku mengenalmu bukan satu atau dua hari. Jadi ... katakan saja yang sejujurnya!" Nathan menggenggam lembut tangan istrinya sambil menatap lekat iris mata Adelia.

"Mas aku sudah bilang, kita harus ...." Adelia tidak jadi melanjutkan ucapannya saat melihat pintu ruang kerja suaminya dibuka dari luar.

Terlihat jika orang yang mungkin saja membuat moodnya kembali jelek kini ada di depannya, wanita itu hanya mampu menghela napas panjang apalagi saat melihat mertuanya membawa wanita yang waktu itu ke rumah mereka.

"Oh, rupanya kamu di sini? Pantas di rumah tidak ada siapapun. Ku kira kembali mengajar di sekolah ternyata mengganggu putraku bekerja," sinis ibu mertua Adelia menghampiri Nathan yang kini sudah berdirinya.

"Mama ... ada apa kesini?" tanya Nathan heran, apalagi saat melihat ibunya membawa wanita yang menurutnya menor tersebut bersamanya.

"Memangnya mama tidak boleh mengunjungi putra Mama sendiri? Apa jangan-jangan sikap kamu yang seperti ini karena Adelia sudah mencuci otakmu?" sarkas ibunya sambil melirik Adelia dan Nathan bergantian.

Adelia hanya mampu menghela napas berat, dulu ... ibu mertuanya tidaklah sarkastik seperti itu, bahkan wanita itu memperlakukannya seperti anak sendiri yang kadang membuat Nathan cemburu dan merasa tersisihkan sebagai anak kandungnya. Tapi sekarang? Terang-terangan ibu mertuanya itu menunjukkan sikap tidak sukanya bahkan di depan Nathan. Adelia tahu dan juga faham jika wanita baya itu menginginkan cucu, tapi bukan hanya mertuanya saja, dirinya juga menginginkan hal yang sama. Mungkin Nathan juga demikian.

"Ma ... tidak mungkin Adelia berlaku seperti itu, Nathan bertanya karena tumben sekali mama datang. Apalagi sambil membawa badut berjalan," sinis Nathan membalik telak ucapan ibunya denagn menghina wanita yang ikut masuk dengan dandanan yang menurut Nathan begitu norak.

"Nathan! Jaga ucapanmu! Dia Marissa, putri teman Mama," bentak ibunya tidak terima jika Marissa dikatakan badut oleh putranya.

"Lalu? Memangnya ada kepentingan apa dia kemari ikut Mama? Tidak ada 'kan?" ucap Nathan.

Marissa yang sejak tadi diam hanya mampu mengepalkan tangannya menahan rasa kesal di hati, bagaimana bisa ada orang yang menyamakan dirinya dengan badut? Padahal Marissa sudah berusaha berpenampilan semenarik mungkin untuk menjerat Nathan dengan pesonanya. Bukannya terpesona, pria itu malah mengatakan dirinya seperti badut? Apa Nathan rabun? Apa dia tidak bisa melihat bagaimana cantiknya Marissa?

'Suatu saat nanti, dirimu akan takluk pada pesonaku!' batin Marissa masih memandang lekat Nathan dan memperhatikan segala gerak gerik pria itu.