"Sulit ditemui? Kenapa?"
Arion tampak menghela napas dan menggeleng.
"Dia mengasingkan diri. Tetapi tentu saja ada cara untuk menemuinya. Aku akan mengusahakannya."
Setelah mengatakan itu Arion bangkit.
"Kamu tunggulah di sini. Kalau ingin istirahat atau apa pun beritahu saja Chal," ujarnya merujuk pada si burung kecil yang tengah bertengger di balkon gazebo.
"Baiaklah. Tapi ... kenapa kamu mau membantuku?" pertanyaan Yena menghentikan langkah Arion.
"Aku masih belum tau apa niatmu yang sebenarnya. Apakah kau juga menginginkanku sama seperti dia?"
Arion tersenyum geli dan menggeleng.
"Mengapa kau sangat percaya diri? Aku tidak tertarik pada peliharaan jelek. Aku memang melakukan ini karena memiliki maksud tertentu. Tapi maksud ini tidak ada hubungannya denganmu. Jadi kau tenang saja." Arion berkata kemudian berlalu pergi.
Yena ternganga saat mendengar salah satu kalimatnya. Peliharaan jelek katanya? Mengapa kalimat ini terasa familiar?
"Huh! Imoogi itu juga mengatakan hal yang sama tetapi pada akhirnya dia tetap memberikan simbol terkutuk padaku! Lagipula aku sejelek apa, sih?" oceh Yena. Dia mengambil cermin di tasnya untuk memastikan wajahnya masih lumayan.
"Cantik kok. Kalian saja yang seleranya terlalu tinggi!" Yena mencibir. Ia memperhatikan setiap inci wajahnya yang agak lusuh kemudian tatapannya terpaku pada bibirnya yang pucat dan terlihat sedikit membengkak.
Tiba-tiba Yena baru sadar bibirnya terasa agak sakit. Karena selalu ketakutan dan tertekan ia jadi hampir tidak menyadarinya.
"Apa ada serangga yang menggigitku semalam yah ...." Yena heran. Namun saat ia menyadari kejadian penyebabnya membuat wajahnya seketika memerah.
Serangga itu adalah Lucifer!
"Apa yang sudah aku lakukan?" Sepertinya baru pada saat ini Yena benar-benar menyadari kalau ciuman pertamanya telah lenyap.
Mengingat kejadian itu seketika membuat wajahnya merah hingga ke belakang telinga. Ia jadi salah tingkah sendiri.
"Lupakan lupakan." Yena mengipasi dirinya sendiri. Padahal angin malam berhembus lumayan dingin, tetapi tubuhnya terasa panas.
Yena kembali memebuka tasnya kembali, bermaksud hendak mengambil ponselnya untuk memberi kabar pada keluarganya. Namun, bukan ponsel, tangannya malah menggapai sesuatu yang asing.
"Eh?" Yena mengeluarkan benda tersebut yang ternyata adalah sebuah buku kecil berwarna merah.
Bukankah ini buku milik Lucifer?
Yena baru ingat Lucifer menitipkan benda kesayangannya ini padanya ketika mereka pindah.
"Wah apa dia tidak apa-apa harta karunnya aku bawa?" gumam Yena sembari membuka dan membolak-balik halaman buku tersebut.
Yena bisa bahasa Korea, tetapi sayangnya ia tidak bisa membaca hangeul.
Karena penasaran, gadis itu mengambil ponselnya dan membuka fitur penerjemah.
Ia menuliskan sederet huruf hangeul di sampulnya kemudian menterjemahkannya.
Begitu hasilnya muncul, mata lelah Yena tiba-tiba melotot seperti hendak melompat keluar.
'1001 Cara Memenangkan Hati Perempuan'
"A-apa-apaan? Buku macam apa yang dia baca ini?" Yena ternganga hingga rahangnya hampir jatuh ke pangkuannya.
Lucifer? Memenangkan hati perempuan?
Yena hampir muntah darah karena terkejut.
"Dia benar-benar tidak normal." Yena tersenyum, entah geli atau malah merasa miris.
Sementara itu, Hwa kembali ke tempat Yena untuk memberikan hidangan penutup yang lezat atas perintah Aeri.
Begitu memasuki ruangan tanpa pintu itu, Cheuksin tersebut terbelalak saat melihat ruangan itu sepenuhnya kosong.
"Di-dia kabur?!" Hwa meletakkan buah-buahan yang dibawanya lantas berlari terbirit-birit untuk melapor.
Di salah satu bilik dalam bangunan bertingkat dua tersebut, sebuah ruangan yang paling bersih dan harum. Aroma dari dupa yang mengepul dan bunga-bunga berbau wangi semerbak memenuhi seantero ruangan.
Agak sulit dipercaya bahwa di bangunan yang kumuh tersebut terdapat ruangan semacam itu.
Seorang perempuan dengan gaun putih yang menjuntai duduk di kusen jendela sembari sibuk mengelus bulu ekornya yang tebal.
Hwa yang masuk dengan tergesa-gesa mengganggu kenyamanannya.
"Aeri ...." Mahluk bermata putih itu tampak ngos-ngosan, mengatur napasnya kemudian berkata dengan terburu-buru, "Dia sudah melarikan diri!"
"Hm?" Aeri mengangkat wajahnya yang berkerut.
Hwa menunggu reaksinya dengan mulut bercelah.
"Sudah kabur? Cepat sekali." Perempuan dengan mata tertutup itu melepaskan ekornya yang berbulu putih lantas menyunggingkan senyum tipis.
Hwa menghela napas.
"Aeri memang paling tau karakter orang, gadis itu memang sangat lincah. Begitu aku memberitahunya tentang cara melepaskan belenggu perbudakan secara paksa dia langsung mendapat motivasi untuk kabur."
"Bahkan jika kita tidak memberitahunya tentang itu, dia akan tetap kabur saat menyadari kemampuan tubuhnya," kata Aeri.
Hwa mengangguk setuju.
"Tapi Aeri ...." Ia mengerutkan alisnya yang tebal dan menatap perempuan itu dengan bingung.
"Mengapa kau menyuruhku menangkapnya jika akhirnya hanya untuk dibebaskan kembali?"
"Aku hanya ingin melihatnya saja," ucap Aeri asal. "Lagipula, aku tidak mau repot-repot mencari masalah dengan Imoogi atau pun naga itu. Ah yah ... sekarang gadis itu pasti menuju Arion atau mungkin malah sudah bersamanya. Sebentar lagi Arion akan datang ke sini, malas sekali harus berurusan dengan para naga lagi ..." Aeri bergumam cukup keras.
Hwa yang mendengarkannya hanya mengangguk-angguk kemudian menimpali, "Benar. Seperti yang Aeri katakan, berdasarkan perbedaan kekuatan yang tidak terlalu jauh Arion seharusnya tidak akan bisa menghancurkan aturan milik Imoogi. Mereka akan mencari mahluk lain yang lebih kuat. Arion tidak mungkin meminta bantuan kepada para mahluk di langit karena jika sampai langit tau kalau Imoogi telah memperbudak manusia makan Imoogi itu akan dihukum berat."
"Maka, satu-satunya cara adalah meminta bantuan pada mahluk langit yang tidak tinggal di langit. Orang yang paling memungkinkan, Jasver. " Saat mengatakan itu kepala Hwa manggut-manggut. Ia sama sekali tidak sadar perubahan ekspresi pada wajah Aeri.
Hanya saat mengangkat kepala Hwa melihat wajah lembut perempuan itu menjadi kecut.
"Kepintaranmu berkembang Hwa, tetapi kau tidak boleh sembarangan menyebut nama orang di depanku," tegurnya dengan bibir berkerut. 'Terlebih pria itu.'
Hwa yang menyadari kesalahannya segera menjadi pucat dan meminta maaf. Berkali-kali.
"Maaf. Aku salah, aku salah, aku salah!"
Suasana hati Aeri tampaknya menjadi buruk sekarang. Dia melambaikan tangannya dan berkata pelan dan dingin, "Sudah bertahun-tahun tapi kau selalu ceroboh, pergi dan berdirilah di halaman sampai bulan purnama dan renungkan kesalahanmu!"
Mendengar perintah Aeri, Hwa menjadi semakin pucat saja. Dia segera berlutut dan memohon.
"Aeri maafkan aku! Bulan purnama masih lama. Aku adalah penghuni kamar mandi, jika berada di luar terlalu lama aku akan kering dan mati!"
"Lalu?" Perempuan itu berkata tak acuh.
Melihat wajah Aeri yang semakin dingin saja membuat Hwa tidak berani membantah lagi. Jika tidak, hukumannya hanya akan semakin bertambah.
Mahluk berambut panjang lembab itu akhirnya bangkit dan berjalan gontai ke luar. Ia berdiri di depan gedung seperti yang diperintahkan Aeri.
Wilayah ini memang tidak panas, tetapi udara di luar tetap saja membuat Hwa lebih cepat dehidrasi. Akhir-akhir ini dia sering berada di luar padahal habitat aslinya adalah kamar mandi yang lembab. Lalu sekarang dia harus tetap berada di sana selama seminggu lebih. Hwa akan merasa heran jika dirinya tidak mati setelah kekeringan selama itu.
Aeri ini, dia jadi sangat sensitif jika menyangkut tentang pria itu.