Pagi menjelang siang, Yena baru terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
Gadis itu menggeliat dan mengucek matanya yang sembab. Hampir semalaman dia sibuk melayani ocehan ibunya dan makian Rumi di telfon. Samapi saat ini telinganya masih terasa sakit.
Yena lega, sekarang dia sudah terbebas, meski belum sepenuhnya. Setelah masalah simbol ini selesai maka dia akan bisa kembali ke keluarganya.
Namun, meski semua sudah jauh lebih baik kenapa rasanya dia malah bertambah gelisah? Seperti ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang sepertinya ia rindukan.
Setelah dipikirkan, sialnya itu adalah Lucifer. Sudah tiga malam, tidak ada lagi pelukan dingin yang anehnya malah terasa hangat, tidak ada lagi lidah lembab yang selalu mengganggu tidurnya.
Saat memikirkan semua itu Yena merasa dilema, kemudian dia menampar dirinya sendiri dengan keras.
Plak
"Sadarlah Yena, sadar! Susah payah melarikan diri darinya hanya untuk merindukannya lagi. Kau sangat aneh! Sepertinya hanya dirimu yang suka diperbudak seperti itu!" Yena memaki dirinya sendiri.
Setelah puas mengomel, dia akhirnya beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian keluar untuk mencari udara segar.
Di siang hari, keindahan villa ini terlihat lebih mencolok. Benar-benar tempat tinggal yang nyaman. Yena penasaran, apakah Arion juga menjual sisiknya seperti Lucifer untuk membeli semua kenyamanan ini?
Yena berpikir untuk memintanya beberapa, semoga dia tidak sepelit Lucifer.
Di gazebo taman, tampak sosok pria yang memancarkan cahaya hangat itu duduk dengan posisi bersila. Kedua matanya tertutup sementara napasnya berderu lambat.
Sepertinya ia tengah semedi. Yena mengendap-endap menghampiri sembari memperhatikannya. Bukan karena penasaran dengan apa yang dilakukan Arion, melainkan karena ia tertarik dengan bau harum yang datang dari piring-piring yang berada di atas meja kecil di samping Arion.
Kebetulan sekali, dia sangat lapar.
Melihat nasi goreng Korea, Kimchi Bokkeumbap yang terlihat masih panas itu membuat cacing di perut Yena meronta-ronta.
'Ada dua piring, berarti satu punyaku,' pikir Yena. Namun, ia ragu-ragu untuk mengambilnya. Tidak sopan kalau langsung makan tanpa bertanya terlebih dahulu 'kan?
Yena menoleh pada Chal yang hinggap di batang andenium.
"Apa aku boleh makan ini?" tanyanya dengan bahasa isyarat. Burung kecil itu membalas dengan anggukan.
Yena tersenyum kemudian dengan senang hati mengulurkan tangannya untuk mengambil satu piring. Gadis itu duduk di pinggir gazebo, menjaga jarak dari Arion karena takut mengganggunya.
Perutnya sangat kosong, ia makan dengan sangat lahap dan terburu-buru.
"Apa kau sedang dikejar babi? Tidak akan ada yang akan merebut makananmu." Suara bariton Arion terdengar dan mengagetkan Yena.
Pria itu perlahan membuka matanya, menengok ke samping dan melihat seorang gadis desa yang tengah makan seperti orang kelaparan, tidak anggun sama sekali, pikirnya.
Yena tidak menggubris Arion dan hanya fokus untuk mengisi perutnya.
Arion menggelengkan kepalanya heran. Dia tidak mengganggunya lagi dan mengambil bagiannya untuk makan.
Sejenak, Arion mengerutkan kening saat melihat piring Kimchi Bokkeumbab-nya. Ini tidak memiliki daging kesukaannya di atasnya. Arion melihat bagian yang dimakan Yena dan tersenyum masam.
Menyadari tatapan sedih Arion, Yena mengangkat kepalanya dan bertanya, "Apa? Ada apa?"
"Sebenarnya yang kau makan itu bagianku," ucap Arion dengan ekspresi tidak berdaya.
"Oh? Memang apa bedanya?"
"Yang itu ada daging kesukaanku. Aku tidak suka daging sapi." Arion menunjuk pada lembaran daging merah kecoklatan di piringnya yang masih utuh.
Yena langsung merasa tidak enak.
"O-oh? Benarkah? Aku minta maaf. Aku pikir keduanya sama. Seharusnya aku menunggumu selesai, tapi aku sangat lapar--"
"Tidak papa. Aku masih punya banyak buaya gemuk di peternakanku. Chal, pergilah dan beritahu Xavier untuk memanggang beberapa potong lagi. Dan yah, ambil buaya yang masih remaja dan gemuk supaya tidak alot," titah Arion pada si burung kecil. Chal berkicau kecil dan segera terbang pergi.
Yena sudah sejak beberapa detik yang lalu menjatuhkan sendoknya dan menatap piringnya yang sudah bersih dengan mulut terbuka.
"Bu-buaya?"
Udara di sekitar Arion terasa hangat. Akan tetapi, Yena merasa tubuhnya sangat dingin membuatnya semakin mual dan terus memuntahkan isi perutnya.
Dari arah barat, terdengar kicauan gagak bersamaan dengan munculnya sosok burung hitam tersebut.
Setelah dekat, Leon melihat Yena bersandar di tiang gazebo dengan wajah yang agak pucat. Ia segera turun dan hinggap di sampingnya.
"Yena!"
Yena tak mengacuhkannya, masih memegangi perutnya yang terasa masih bergejolak.
"Ada apa denganmu?" tanya Leon heran.
"Dia makan buaya." Arion yang tengah duduk menikmati teh menyahuti.
"Tolong ... jangan sebut hewan itu. Perutku mual lagi," cicit Yena. Ia kembali muntah kosong untuk beberapa kali karena memang tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan dari perutnya.
Leon yang merasa kasihan berubah menjadi wujud manusia dan membantu Yena dengan memijat pundaknya.
Arion hanya menggelengkan kepalanya sesekali.
"Itu hanya buaya, tidak menjijikan sama sekali. Lagipula, rasanya sangat enak, bukan?" Arion tak mengindahkan teguran Yena dan terus berkata dengan gamblang.
"Aku sangat jijik dengan reptil tau! Mau apa pun jenisnya!" tutur Yena dengan wajah kusut.
'Tapi bukankah kau selalu tidur dengan ular besar belakangan?' Leon langsung menimpali dalam hatinya.
'Ah tentu saja, reptil tampan adalah pengecualian,' lanjutnya lagi.
Hanya setelah beberapa saat gejolak di lambung Yena barulah mereda.
Leon dengan pengertian pergi membeli buah segar untuk Yena.
"Kwakk kwakk! Berat berat!" Leon membeo sembari melepaskan beban berat di kakinya ke pangkuan Yena.
"Tau berat kenapa kau beli banyak?" kata Yena. Dia tidak lantas menikmati buah-buahan segar itu karena tenggorokannya masih terasa tidak nyaman.
"Eh? Leon, kenapa aku merasa bulumu sangat berantakan?" Yena bertanya saat dia tiba-tiba menyadari penampilan Leon. Bulu burung hitam itu tidak terlihat seperti bisanya. Berantakan dan sepertinya di beberapa bagian telah tercabut. Penampilannya cukup menyedihkan.
Sebelum Leon sempat menjawab Arion bersuara, "Tentu saja karena dia baru saja diamuk oleh Lee Shan. Agak ajaib dia tidak mencabuti bulumu sampai habis."
"Apa? Dia benar-benar melakukan ini padamu?" Meski sudah memprediksi, Yena tetap saja tercengang. Lucifer ternyata sekejam itu.
"Ini pasti sakit ...." Air muka Yena menjadi sedih, dia mengulurkan tangannya untuk merapikan bulu-bulu berantakan Leon yang tersisa.
"Tidak papa. Ini bukan apa-apa, jangan khawatir," ucap Leon.
"Bukan apa-apa? Jadi apa dia pernah melakukan hal yang lebih buruk dari ini?" Ekspresi Yena tiba-tiba menjadi semakin jelek.
"Sungguh. Kau jangan khawatir. Ini hanya hal kecil. Tidak sakit sama sekali dibandingkan dengan kedua sayap patah dan mata buta." Leon berkata diiringi tawa, maksudnya ingin mengurangi kecemasan Yena. Namun, malah sebaliknya. Mata gadis itu semakin melebar saja.
"Apa? Dia melakukan hal sekejam itu padamu?!" Yena bertanya geram.
Leon yang merasa sudah salah bicara dan tak tahu harus menjelaskan bagaimana hanya tertawa pahit, "Haha sudahlah, lupakan saja. Aku pergi dulu!"
Burung itu kemudian cepat-cepat terbang pergi. Tak mendengarkan lagi pertanyaan-pertanyaan Yena yang membombardirnya dari belakang.
Yena yang tak bisa mengintrogasi Leon lagi, berbalik pada Arion yang sedang menikmati Kimchi Bokkeumbab - Buaya-nya.
"Apa maksudnya? Apakah dia--?"
Arion dengan santai memotong, "Bukankah aku sudah pernah mengatakannya padamu? Alasan mengapa Lee Shan dijuluki 'Lucifer', itu karena sifatnya yang menandingi iblis. Bahkan jika dibandingkan dengan Aeri, kekejaman Lucifer berada di level yang sama sekali berbeda dengannya."