Seminggu sudah berlalu sejak mereka pindah. Namun, bahkan setelah berhari-hari Lucifer masih belum membahas rencananya untuk membebaskan Rumi.
"Luci, apa kamu sudah menemukan ide? Tolong jangan menunda waktu lagi, aku tidak tau bagaimana kondisi Rumi sekarang. Arion pasti sudah tau kalau kita pindah, entah apa yang akan dia lakukan pada Rumi." Untuk yang kesekian kalinya, Yena mendesak Lucifer.
"Mari kita bicarakan ini setelah aku pulang." Seprti biasa, Lucifer selalu menghindarinya.
Pria itu memakai jaketnya dan berkata dengan santai, "Aku akan membeli ranjang yang paling besar buatmu. Apa kau menginginkan hal lain? Aku akan membeli semuanya, apa pun yang kamu mau."
Yena meremas senyum.
"Jangan berlagak deh. Kalau aku mau semua permata di toko Seoul bagaimana?Memangnya kamu masih punya uang sebanyak apa?"
"Banyak, banyak sekali. Aku masih punya jutaan sisik di tubuhku," kata Lucifer sembari menarik sebelah sudut bibirnya, khas senyum sombong.
"Apa kalian masih lama?" Leon yang menunggu di luar berteriak.
"Gagak itu bawel sekali. Cepat sana pergi, jangan lama-lama," ujar Yena.
"Tidak akan lama! Kau yakin tidak mau ikut?" tanya Lucifer.
"Tidak, kecuali kamu berjanji tidak akan memelukku sepanjang jalan," kata Yena.
"Aku hanya khawatir kamu merasa tidak nyaman di sini. Ikut saja, aku tidak akan memelukmu, kamu naik saja ke punggungku."
Yena meremas senyum. Rasanya ingin melempar wajah Lucifer dengan batu.
"Tidak usah deh! Pergi saja sana sendiri."
"Baiklah. Kalau begitu kamu diam saja di kamar. Jangan keluar dari pintu seinci pun, mengerti?" Setelah mengatakan itu, Lucifer bergegas pergi tanpa mendengar balasan Yena.
"Iya aku tau!" Yena berdecak pelan. Ia menghela napas dalam. Seminggu ini dia terus saja gelisah memikirkan Rumi. Semoga Arion tidak melampiaskan amarahnya pada Rumi karena mereka telah melarikan diri.
Tok tok
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Yena.
"Oh?" Gadis itu mengerutkan kening heran. Mengapa Lucifer kembali lagi? Tidak, jelas itu bukan Lucifer atau pun Leon. Mana mungkin mereka repot-repot mengetuk pintu. Tapi ... memangnya ada orang lain yang tau tempat ini?
Tok tok tok
Ketukan itu semakin keras saja. Yena menelan salivanya dan perlahan berjalan ke arah pintu. Ia menyingkapkan tirai untuk melihat tamu tak diundang tersebut.
Namun, kedua alisnya segera terangkat begitu ia mendapati tidak ada seorang pun di luar sana. Yena membuka pintu dan memang tidak ada siapa pun di luar.
"Sialan!" Gadis itu kembali menutup pintu dengan cukup kencang. Bulu kuduknya seketika berdiri siaga.
"... Daerah sekitar sini memang sudah dihuni mahluk-mahluk halus sejak lama."
Yena tersenyum masam saat mengingat ucapan Leon. Bagaimana dia bisa lupa, saat ini dia sedang berada di tengah-tengah wilayah mahluk halus.
Setelah Lucifer pergi, barulah Yena menyadari situasinya. Ia memegang pundaknya yang terasa merinding.
"Tolong deh! Siapa kalian? Jangan menggangguku!" Yena kembali menyingkapkan tirai dengan kesal.
"Ah ...."
Beberapa wajah asing saling berdesakan dan menempel di kaca membuat Yena sontak kembali menutup tirai dengan wajah pucat.
"Ba-banyak sekali ...." Yena menyentuh keningnya dengan terkejut.
"Lucifer ... kumohon cepatlah kembali ...." Yena menahan napasnya dan kembali ke kamar dengan langkah kaku. Tubuhnya suah mulai dingin dan bergetar.
Meski ia tidak bisa melihat, tetapi dia dapat merasakan ada banyak mahluk yang sedang memperhatikannya dari luar.
Yena tiba-tiba merasa menyesal karena tidak ikut dengan Lucifer. Bukankah lebih baik dipeluk pria tampan sepanjang jalan daripada terjebak di tengah para mahluk halus ini?
"Kenapa Lucifer tidak bilang suasananya akan seperti ini? Tega sekali ...." Yena mengeluh seraya berjalan ke kamar mandi untuk membasuh keringat dingin di keningnya.
Ia baru saja membuka pintu kamar mandi dan sesuatu yang menggantung di depan pintu langsung menghalangi pandangannya. Sesuatu ... yang tidak asing. Rambut hitam yang menjuntai dan mata putih itu hampir menghempaskan jantung Yena dari tempatnya.
"A-aah!!!"
....
Crat
Crat
"Uh ...." Cipratan air mengejutkan saraf-saraf wajah Yena dan membuat gadis itu terbangun. Begitu mendapatkan kesadarannya kembali ia langsung terperenjat panik. Apalagi saat melihat mahluk itu masih ada, menjulurkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi.
"Pe-pergi kamu!! Jangan mendekat!" Yena beringsut mundur ketakutan.
Mahluk itu malah keluar dan merangkak mendekatinya.
Yena ingin berteriak, namun suaranya seolah tersekat di tenggorokan. Apalagi saat mahluk itu mendekatkan wajahnya yang sepenuhnya tertutupi rambut. Yena sangat berharap ia pingsan lagi saja, kenapa dia harus cepat sadar, sih?
"K-au ... ga--dis malang-- hihihi." Suara serak mahluk itu semakin membuat bulu kuduk Yena merinding, tidak, dia bahkan merasa seulurh bulu di tubuhnya telah berlari karena takut.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia berhadapan dengan hantu, apalagi sedekat ini.
Namun, dalam keadaan ini dia hanya bisa memberanikan dirinya.
"Menjauh ... be-beraninya kau datang ke sini lagi, kalau kau sampai menggangguku Lucifer tidak akan melepaskanmu!" ancam Yena.
"Hihihi ...." Cheuksin itu tertawa dan merangkak mengitari Yena sembari memindai gadis itu.
"Aku tidak akan melukaimu. Maksudku, meski aku ingin aku tidak bisa menyentuhmu. Menyebalkan ... hihi-hi."
"Apa maksudmu?" Melihat mahluk itu tidak berniat mencelakainya Yena mulai bisa sedikit bernapas. Dia bangkit dan menjauh dari mahluk tersebut.
Baru pada saat ini dia bisa melihat dengan jelas sosok mahluk yang dikenal sebagai Cheuksin itu. Tidak ada yang bisa diamati karena rambutnya yang panjang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Untuk beeberapa saat mreka saling mengamati. Cheuksin itu mengulurkan tangannya pada Yena, tetapi ia segera menariknya kembali lantas terkekeh, "Hihi Imoogi itu ... rupanya sangat melindungi peliharaannya. Dia bahkan menandaimu dengan kepemilikannya. Hihi mahluk langit memang memiliki harga diri dan gengsi tinggi."
"Apa maksudmu?" Yena masih tidak mengerti dengan ocehannya. Ia masih terus mengitari Yena dan berhenti di belakang, menatap pada sesimbol gambar samar di pundaknya.
"Lucifer meninggalkan tanda kepemilikannya. Tanda yang belum sempurna, begitu tanda ini sempurna kau akan sepenuhnya menjadi peliharaannya. Gadis malang, hihihi. Padahal jiwamu tercium lumayan harum. Kalau bukan peliharaan Lucifer kau akan menjadi santapan lezat kami."
Yena refleks memegang pundaknya, tertegun.
"Apa kau merasakan mahluk-mahluk dahaga yang memperhatikanmu di luar sana? Hanya karena simbol ini mereka tidak berani mendekat. Jika tidak, mereka akan mencabik-cabik jiwamu sampai tak bersisa."
"Semua yang kamu katakan itu ... apa maksudnya? Pliharaan? Simbol? Apa ... semua itu?" Yena menatap Cheuksin itu dengan mata yang dipenuhi dengan kabut penasaran.
Sekarang, seluruh rasa takutnya seolah pudar, tergantikan dengan rasa bingung yang hebat.
"Hihihi, kenapa kau tidak tanyakan saja padanya? Ahh! Dia sudah kembali. Sampai jumpa nanti." Cheuksin itu melompat ke kamar mandi dan entah bagaimana langsung menghilang saat Yena menyusulnya.
"Tunggu! Kemana perginya dia?" Yena mendongak ke dalam bath up tapi dia sudah tidak ada.
"Simbol apa yang dimaksudnya?" Yena dengan penasaran bercermin, menyingkapkan rambutnya hanya untuk melihat sebuah gambar abstrak seukuran koin di pundaknya. Jika diperhatikan lebih teliti, itu terlihat seperti mata ular. Lebih tepatnya mata Lucifer.
Yena tertegun. Alisnya yang indah berkerut dalam.
'Lucifer meninggalkan tanda kepemilikannya. Tanda yang belum sempurna, begitu tanda ini sempurna kau akan sepenuhnya menjadi peliharaannya ....'
"Apa maksud semua ini? Sejak kapan simbol ini ada di sini?" Yena bergumam linglung.