Aneska kembali tertawa terbahak mendengar ucapan Laras.
"Kamu benar-benar sangat menyebalkan, dari tadi menertawakan aku terus." Laras memukul pangkal lengan Aneska.
"Aduh, jahatnya yang lagi kesal," ucap Aneska menahan tawanya.
Dari arah belakang tiba-tiba terdengar suara celetukan. "Ada yang sedang berbahagia nih?"
"Siapa yang sedang berbahagia Dewi?" tanya teman yang duduk disebelahnya dengan sengaja mengencangkan volume suaranya.
"Pastinya yang tadi di antar sama ketua OSIS," jawab Dewi.
"Naik level dong, tukang sayur jadi juragan sayur," jawab yang lainnya, diakhiri dengan suara tawa yang terbahak dari arah belakang.
Aneska hanya diam saja, dirinya tidak mempedulikan ocehan teman temannya yang menyindir dirinya.
Laras yang kesal karena Aneska tidak menjawab bahkan tidak mempedulikan mereka, akhirnya dia yang menjawab. "Sirik tanda tak mampu, ngaca dulu sebelum berkomentar," ucapnya dengan suara yang sedikit tinggi tapi dengan wajah yang tetap melihat ke depan.
Seketika suara tawa langsung berhenti, begitu Laras bicara. "Kena telak ya, kenapa sepi?" ucap Laras lagi.
Aneska langsung menyenggol tangan sahabatnya. "Sudah, jangan melayani mereka. Hanya buang-buang energi."
"Habisnya aku kesal sama cewek-cewek itu. Bagus kalau cantik. Sudah buluk, mulutnya karatan lagi," umpat Laras melihat ke belakang, ke arah kumpulan cewek-cewek yang sedang melihatnya.
Dewi menatap tajam ke arah Laras tapi sedikit pun Laras tidak takut. Dibalasnya tatapan Dewi tanpa berkedip.
Tidak lama kemudian, Guru pengajar masuk dengan membawa tas dan beberapa buku di tangannya.
"Selamat pagi anak-anak," kata Pak Guru setelah menyimpan buku dan tasnya di atas meja Guru di depan.
"Pagi Pak," jawab anak-anak serempak.
"Apa ada tugas rumah yang Bapak berikan kemarin?" tanya Pak Guru.
"Ada Pak," jawab Laras kencang.
Pak Guru melihat ke arah Laras. "Semangat sekali kamu pagi ini, Laras."
"Pastinya Pak, saking semangatnya aku sampai ingin makan orang Pak," jawab Laras asal jawab.
"Apa Laras?" tanya Pak Guru.
"Tidak Pak. Saking semangatnya karena aku sudah makan," jawab Laras.
"Bagus kalau sudah makan, berarti kamu ada energi untuk belajar tapi jangan sampai ketiduran karena biasanya di dalam perut yang kenyang timbul jiwa yang mengantuk," kata Pak Guru.
Anak-anak semua tertawa mendengar ucapan Gurunya. "Bisa saja Pak Guru."
"Betul itu, kalau perut kalian sudah pada kenyang pasti kalian jadi mengantuk. Tapi lupakan perut kenyangnya, sekarang buka buku pelajaran kalian. Bapak ingin melihat tugas yang kemarin."
Anak-anak dengan patuh menuruti Pak Guru membuka buku pelajaran dan memperlihatkan tugas masing-masing.
Suasana sepi hanya suara Pak Guru yang sedang menerangkan di depan kelas yang terdengar, semua anak nampak serius mendengarkan setiap penjelasan yang Pak Guru berikan.
Menit terus berlalu, tidak terasa jam pelajaran selesai telah habis. Pak Guru segera membereskan bukunya. "Anak-anak, Bapak tidak memberikan tugas hari ini tapi ingat, kalian harus tetap belajar di rumah. Ujian akhir Sekolah sebentar lagi akan di gelar. Bapak tidak ingin mendengar ada yang tidak lulus tahun ini. Kalian harus rajin belajar untuk melanjutkan cita-cita."
"Iya Pak!" jawab anak-anak serempak.
"Sampai bertemu lagi besok hari," kata Pak Guru, melangkah ke luar dari kelas
Aneska membereskan buku pelajarannya. "Sekarang ganti dengan pelajaran apa?"
"Matematika," jawab Laras. "Kepalaku sering sakit kalau ada pelajaran matematika."
Aneska hanya tersenyum. "Itu namanya penyakit musiman."
"Hujan kali, penyakit musiman," ucap Laras.
Tidak lama kemudian Guru pengajar masuk, sekarang seorang Ibu Guru yang masih muda tetapi dengan wajah yang jarang sekali tersenyum.
Anak-anak hanya terdiam, memperhatikan Guru mereka yang baru masuk dan langsung meletakkan buku pelajaran di atas meja.
"Anak-anak, apa kabar semuanya?" tanya Bu Guru.
"Baik Bu Guru," jawab beberapa orang murid.
"Apa ada tugas rumah yang Ibu berikan kemarin?" tanyanya.
"Ada Bu," jawab anak yang duduk di bangku belakang.
"Kalau begitu, kamu kerjakan soal yang pertama di depan," kata Bu Guru.
Murid yang lain ada yang tertawa mendengar temannya di suruh ke depan setelah menjawab dengan kencang.
Aneska dan Laras dengan serius memperhatikan soal demi soal yang diterangkan Bu Guru di depan kelas. Tidak ada yang bersuara, semuanya sibuk mengerjakan tugas masing-masing.
Menit pun berlalu, suara bel tanda istirahat berbunyi. Ibu Guru segera membereskan buku pelajarannya di atas meja lalu pergi ke luar setelah pamit terlebih dahulu.
"Aneska, ke kantin. Aku lapar, tadi pagi hanya sarapan sedikit," kata Laras.
"Tidak, aku tidak bawa uang," jawab Aneska apa adanya.
"Biar aku yang bayarin. Kamu hanya duduk, temani aku makan saja. Ayo!" ajak Laras menarik tangannya Aneska.
"Tapi Laras," Aneska tidak enak hati.
"Sudah, Ayo!" Laras semakin menarik tangannya Aneska.
Aneska akhirnya bangun dari tempat duduknya, mengikuti Laras yang menggandeng tangannya.
Di kantin suasana nampak ramai. Banyak anak murid laki-laki yang sekedar menyapa Aneska dan Laras.
"Hai, Aneska. Tambah cantik saja," sapa seseorang dengan suara baritonnya.
Laras melihat ke arah suara berasal. "Hai juga Toto, tambah gemuk saja," balas Laras melihat ke salah satu murid yang badannya gemuk.
Temannya yang sedang duduk di sebelahnya tertawa mendengar jawaban yang di berikan Laras.
Aneska dan Laras lalu memilih menu makan setelah antrian di depannya habis. "Mau makan apa?" tanya Laras.
"Terserah kamu?" jawab Aneska.
"Bakso saja ya, biar tidak lama. Dan minumnya teh manis saja."
"Iya, aku ikut kamu saja. Namanya juga dibayarin," jawab Aneska.
"Ya sudah, aku pesan dua. Kamu tunggu di sana." Tunjuk Laras ke arah bangku kosong.
Aneska langsung melangkah ke bangku yang ditunjuk Laras tapi tidak di sangka ternyata tidak jauh dari situ, ada Damar yang baru selesai makan.
Mata mereka saling beradu, beberapa saat mereka terdiam lalu saling membuang muka dengan wajah yang memerah di keduanya.
Tidak lama kemudian Laras datang dengan membawa nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas teh manis.
"Padahal biar aku tadi yang membawanya Laras, aku tidak enak padamu. Sudah dibayarin, sekarang dibawain lagi," kata Aneska.
"Tidak apa-apa," jawab Laras, duduk di sampingnya Aneska.
Damar yang sudah selesai makan, tidak langsung pergi tetapi duduk diam memperhatikan Aneska yang sedang makan bakso.
Aneska yang merasa diperhatikan merasa tidak karuan makan baksonya. "Kenapa Damar tidak pergi setelah makannya selesai. Aku merasa malu kalau diperhatikan seperti ini," Aneska bicara dalam hatinya sendiri.
Laras yang melihat sikap Aneska merasa heran. "Kenapa denganmu? Apa baksonya tidak enak?" tanya Laras yang melihat mangkuk Aneska masih banyak.
"Baksonya enak tapi masih panas," jawab Aneska mencari alasan.
"Kirain nggak enak," kata Laras, lalu matanya melihat ke depan dan melihat Damar yang sedang melihat ke arah mereka.