Setelah melihat Damar yang sedang melihat ke arah mereka, Laras lalu melihat ke Aneska yang terlihat gugup.
"Sepertinya bukan baksonya yang panas, tetapi seseorang yang membuat panas dirimu?" kata Laras sambil makan baksonya.
Aneska melihat ke Laras yang sedang menunduk makan bakso. "Apa maksudmu?" tanyanya pelan.
"Maksudnya itu?" tunjuk Laras dengan ujung matanya.
Aneska melihat ke arah yang ditunjuk Laras, nampak olehnya Damar yang sedang melihat dirinya.
Damar yang merasa dari tadi menjadi bahan pembicaraan Aneska dan Laras, akhirnya mendekat dan duduk di depan mereka.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya sambil tersenyum.
"Boleh, tidak ada tulisan dilarang duduk," jawab Laras sambil makan bakso.
Damar melihat mangkuk Aneska yang masih penuh. "Kenapa tidak di makan baksonya?" tanyanya.
"Iya, nih. Masa dari tadi panas terus baksonya. Justru makan bakso itu, enaknya lagi panas," ucap Laras dengan mulut yang sedikit kepedasan.
Aneska melihat baksonya, dirinya merasa malu ada Damar di situ tapi perutnya juga lapar karena tadi pagi sarapan cuma sedikit.
"Makan baksonya Aneska, nanti tidak enak kalau mienya sudah mengembang," ucap Damar menatap lekat wajah Aneska.
"Iya, ini juga mau di makan," jawab Aneska, mulai mengaduk baksonya dan memakannya perlahan.
"Makannya cepat, sebentar lagi bel masuk bunyi." Laras langsung meminum teh manisnya sampai habis.
Damar melihat Laras. "Ke mana pacarmu? Biasanya kalian berdua tidak pernah terpisahkan," tanya Damar.
"Tahu ke mana," jawab Laras asal tapi matanya mencari sosok pacarnya, siapa tahu ada di kantin.
"Jawabnya begitu, kalian sedang marahan ya?" tanya Damar iseng.
"Nggak, sedang kesal saja," jawab Laras melihat Aneska. "Makannya jangan pakai lama, bel masuk sebentar lagi bunyi."
"Santai saja, nggak apa-apa," kata Damar.
"Sekarang ada yang belain nih," kata Laras.
"Kalau kamu mau ke kelas, pergi saja. Biar Aneska bersamaku."
"Nggak, nanti dia lecet kalau aku tinggal bareng sama kamu. Tadi saja, kamu sudah ngelihatin Aneska. Kamu pikir aku tidak tahu?" tanya Laras.
Damar tertawa kecil. "Nggak ada larangan aku mau lihat siapa saja. Ada pemandangan indah di depan mata, pastinya aku lihat."
"Dasar playboy," ucap Laras dengan menaikan sebelah bibirnya, mencibir.
Damar malah tertawa. "Bukan playboy tapi normal, kalau melihat yang cantik."
"Tuh lihat, dipojok sana banyak yang cantik," tunjuk Laras dengan bibirnya.
Damar melihat ke arah yang ditunjuk Laras. "Kumpulan cewek pesolek."
"Tidak apa-apa yang penting cantik, katanya tadi suka yang cantik," jawab Laras.
"Cantik yang alami, bukan cantik karena bedak tebal." Damar melihat ke Aneska yang sedang menunduk makan bakso.
"Kamu itu banyak digandrungi cewek, hampir setengah dari Sekolah ini ceweknya naksir kamu. Tinggal pilih saja, apa susahnya?" tanya Laras.
"Seleraku bukan mereka," jawab Damar.
"Terus seleramu seperti apa?" tanya Laras mancing. Karena dari tadi, Damar melihat Aneska yang sedang menunduk makan bakso.
Damar melihat Aneska yang ada didepannya, senyumnya terlihat mengembang dibibirnya. "Seperti yang ada didepanku," jawabnya yang otomatis membuat Aneska tersedak.
"Aneska, kenapa?" tanya Laras yang langsung memberikan air minumnya.
Meski pun Aneska tidak ikut bicara tetapi diam-diam dirinya mendengarkan dan menyimak semua pembicaraan Laras dan Damar.
Aneska langsung meminum air yang diberikan Laras. "Aku tidak tahu, kenapa aku tiba-tiba tersedak?" jawab Aneska.
Damar tersenyum. "Mungkin kamu tersedak setelah mendengar aku bicara tadi," goda Damar.
"Tidak," jawab Aneska. "Percaya diri sekali."
"Iya," kata Laras, membela Aneska. "Kamu sudah makan baksonya?" tanya Laras kemudian.
"Sudah," jawab Aneska.
"Kita ke kelas, aku sudah rasa panas di sini," ajaknya sambil berdiri. "Gerah."
"Ayo," Aneska pun ikut berdiri dan mengikuti Laras yang berjalan didepannya.
"Kenapa aku ditinggal?" tanya Damar, yang buru-buru mengikuti Laras dan Aneska.
Sepanjang perjalanan menuju ke kelas banyak yang memandang tidak suka kepada Laras dan Aneska karena ada Damar di tengah-tengah mereka.
"Damar, besok-besok tidak usah jalan dengan kita lagi," kata Laras setelah sampai di depan kelas mereka.
"Kenapa?" tanya Damar heran.
"Gara-gara jalan denganmu tadi, nantinya kita jadi banyak musuh. Kamu tidak lihat, tadi begitu banyak mata yang tidak suka melihat kita jalan denganmu. Contohnya itu," tunjuk Laras dengan ujung matanya.
Aneska dan Damar langsung melihat ke belakang. Nampak Dewi yang sedang melihat mereka bertiga terlihat tidak suka.
"Biarkan saja, kenapa di ambil hati?" kata Damar.
"Kamu enak bisa bilang begitu, karena dia sukanya sama kamu. Kita yang satu kelas dengannya, jadi merasa terganggu karena dia selalu mencari masalah terutama kepada Aneska."
"Terus aku harus bagaimana? Bilang ke semua cewek yang suka padaku agar tidak mengganggu kalian. Tidak mungkin seperti itu," kata Damar tidak suka.
"Bukan begitu, aku hanya tidak ingin kamu terlalu dekat dengan Aneska kalau tidak ada apa-apa. Kita juga mencari aman. Apalagi sebentar lagi mau ujian, kita tidak mau ada masalah."
Damar melihat Aneska yang dari tadi hanya mendengarkan saja. "Memangnya kamu terganggu Aneska?" tanya Damar.
Ditanya seperti itu, Aneska melihat Laras untuk minta bantuan. Laras yang mengerti langsung menjawab. "Tentu saja dia terganggu."
Damar langsung menarik napas panjang. "Baiklah, karena sebentar lagi akan ujian dan aku juga akan sibuk untuk memilih calon penggantiku. Untuk sementara waktu, kalian akan terbebas dariku. Tapi setelah semuanya selesai, jangan larang aku untuk mendekati kalian." Damar menatap lekat wajah Aneska yang hanya berjarak setengah meter darinya.
"Terserah, yang penting kami tidak merasa terganggu dengan penggemarmu itu." Laras menarik tangan Aneska untuk masuk ke kelas bersamanya.
Melihat Aneska dan Laras yang masuk ke kelas. Damar beberapa saat hanya berdiri. Terdengar suara Dewi yang memanggil dirinya.
"Damar," panggil Dewi mendekat.
Damar hanya melihat sekilas. "Ada apa?" tanyanya malas. "Kalau tidak ada urusan yang penting, aku mau ke kelas."
Dewi yang sudah senang mendapat respon baik di awal, seketika menjadi terkesiap mendengar kalimat terakhir yang Damar ucapkan. "Tidak, tidak penting. Silahkan kalau mau ke kelas," ucapnya dengan menyembunyikan malu karena teman satu gengnya melihat dirinya.
"Yakin tidak ada yang ingin dikatakan?" tanya Damar.
"Tidak, aku lupa," kata Dewi.
"Ya sudah, aku ke kelas." Tanpa melihat ke arah Dewi, Damar langsung pergi meninggalkan Dewi yang terbengong sendiri.
"Dewi, kenapa tidak kamu ajak ngobrol tadi? Malah membiarkannya pergi," kata teman satu gengnya datang mendekat.
"Bagaimana mau mengajaknya ngobrol, kamu tidak dengar apa yang dia katakan?"
"Memangnya apa yang dia katakan?" tanyanya lagi.
"Kalau tidak ada urusan yang penting, aku mau ke kelas." Dewi mempraktekan ucapan Damar tadi, lengkap dengan suaranya yang dibikin seperti suara laki-laki.