Tidak terasa sudah waktunya jam pelajaran berakhir. Aneska dan Laras nampak santai memasukkan satu per satu buku pelajaran ke dalam tas.
"Kita jadi atau tidak, ada ekstra ekstrakurikuler?" tanya Aneska.
"Aku lupa bilang padamu, Guru pembimbingnya sakit. Jadi hari ini diliburkan."
Aneska melihat Laras. "Diliburkan?"
"Iya, kenapa kaget begitu? Bukankah itu malah bagus, berarti kita bisa pulang dengan cepat," kata Laras.
"Aku sudah bilang pada Ibu." Aneska kembali membereskan buku bukunya ke dalam tas.
"Tidak apa-apa, sama saja. Memangnya Ibumu akan marah kalau kamu tidak jadi mengikuti ekstrakurikuler?"
"Tidak apa-apa sih. Kalau begitu kita pulang bareng. Kamu bawa sepeda bukan?" tanya Aneska.
"Bawa," jawab Laras.
Tapi baru saja sampai depan pintu, nampak Damar baru saja lewat. Melihat sekilas ke arah Aneska dan Laras tanpa ekspresi.
Aneska mengernyitkan alisnya, dalam hatinya merasa aneh dengan sikap Damar yang tidak menyapanya. Berbeda dengan Laras yang nampak biasa saja.
"Ayo, cepat Aneska. Kenapa jalannya lama sekali?" kata Laras yang sudah beberapa langkah di depan.
Aneska tersadar dari lamunannya ketika Laras menarik tangannya untuk berjalan dengan cepat.
"Jangan cepat-cepat Laras, nanti jatuh." Belum selesai Aneska bicara, tiba-tiba kakinya Laras terantuk batu dan hampir jatuh kalau saja Aneska tidak segera menariknya.
"Kenapa ada batu di sini sih?" umpat Laras yang menyalahkan batu yang sedang berdiam diri.
Aneska hanya tersenyum. "Kamu yang salah, kenapa batu yang disalahkan?"
Laras tidak menjawab. Kakinya terus melangkah ke tempat parkir sepeda yang tersisa, punya dia dan Aneska. Tidak lama kemudian, terdengar suara motor melewati mereka.
Aneska dapat melihat dengan jelas siapa pemilik motor tersebut. "Damar," gumamnya.
Damar dengan wajah dinginnya melajukan motornya melewati Laras dan Aneska tanpa menyapa mereka berdua.
"Ada apa dengannya?" tanya Laras.
"Mungkin Damar tersinggung sewaktu kamu bicara di jam istirahat tadi, yang melarang dia mendekati kita." Aneska mengingatkan Laras tentang larangannya mendekati mereka.
"Apa yang kulakukan sudah benar. Aku tidak mau hanya gara-gara dia, kita jadi bermasalah dengan teman-teman yang lain. Apalagi sekarang kita akan menghadapi ujian kelulusan. Kita harus mencari aman."
Aneska tidak bicara lagi, apa yang dikatakan Laras memang ada benarnya tetapi dirinya juga merasa tidak enak dengan Damar karena larangan Laras itu.
Laras dan Aneska mengayuh sepedanya dengan santai. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka ketika melewati sawah di kiri dan kanan mereka. Hampir setengah jam Aneska dan Laras mengayuh sepedanya.
"Laras hati-hati!" Teriak Aneska ketika mereka harus berpisah karena Laras rumahnya masih jauh. "Sampai bertemu besok hari!!"
"Iya!!" jawab Laras yang terus mengayuh sepedanya meninggalkan Aneska yang sudah masuk ke arah jalan rumahnya.
Aneska mengayuh sepedanya sampai masuk ke halaman rumahnya. Dilihatnya rumah dalam kondisi sepi. "Apa Ibu belum pulang dari pasar?" gumamnya sendiri.
Setelah menyimpan sepedanya ditempat biasa, Aneska langsung masuk ke dapur lewat pintu belakang. "Ibu, sudah pulang?" Aneska mencari keberadaan Ibunya di dapur.
"Keranjang sayurnya sudah ada, berarti Ibu sudah pulang." Aneska terus bergumam sendiri. Diambilnya air minum yang ada di atas meja. "Rasanya segar sekali."
Aneska masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Ibunya. "Ibu, sudah pulang?"
Tidak ada jawaban dari dalam. "Kenapa sepi? Apa Ibu tidak ada di rumah?" Aneska membuka sedikit pintu kamar Ibunya. Nampak olehnya, Ibunya sedang tertidur.
"Ternyata Ibu sedang tidur, pantas saja tidak menjawab." Aneska kemudian menutup kembali pintunya dan melanjutkan langkahnya menuju ke kamar.
Aneska langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa membuka dulu sepatu dan baju seragamnya. Pikirannya melayang teringat akan Damar yang sikapnya berbeda kepada dirinya.
"Kenapa Damar sikapnya jadi lain kepadaku? Aku jadi tidak enak hati padanya. Laras terlalu tajam bicara pada Damar. Aku ingin minta maaf atas ucapan Laras itu.'
Aneska menatap langit-langit kamar yang catnya sudah mulai memudar. Angin yang masuk lewat jendela kecil dengan kayu yang sudah mulai lapuk di sisi kanan kirinya terasa segar bercampur bau aroma tanah yang baru saja terkena rintikan hujan.
Aneska melihat ke arah jendela, nampak olehnya hujan baru saja turun. "Tadi cuaca sangat panas, sekarang turun hujan. Untung saja aku sudah sampai ke rumah."
Aneska bangun dari tidurnya, melangkahkan kakinya melihat hujan dari dalam jendela kecilnya. Pandangannya tembus jauh menerobos air hujan yang semakin deras. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
....
Jauh dari udara segar pedesaan, di Ibukota nampak sebuah mobil berwarna hitam sedang berusaha menembus kemacetan yang sudah menjadi rutinitas sehari hari orang-orang di jalan raya.
"Aku benci sangat benci dengan kemacetan ini!" Teriak Josh yang merupakan sahabat Ervin. "Bisa terlambat masuk kantor kalau begini. Sudah telat makin telat."
Diambilnya ponsel yang dari tadi tergeletak di kursi sampingnya. "Sialan baterai habis!!" Josh kembali melempar ponselnya ke kursi setelah melihat baterainya habis.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami sahabatnya, Ervin. Tidak jauh dari keberadaan Josh yang hanya berjarak beberapa meter di belakang. Ervin sedang duduk santai di dalam mobilnya sambil mendengarkan lagu kesukaannya. Tubuhnya sedikit bergoyang mengikuti irama musik.
Tidak lama ponsel yang ada di saku jasnya bergetar. "Halo," kata pertama yang ke luar setelah melihat nama dilayar ponsel. Ervin diam beberapa saat kemudian menutup ponselnya kembali.
"Istriku sudah pulang. Bi Sumi bilang katanya istriku sudah pulang? Bawa berita apa lagi setelah perjalanannya yang beberapa hari itu. Semakin lama aku terasa semakin jauh dengan Serlin"
Ervin kembali melihat layar ponselnya, berharap Serlin yang menghubungi dirinya bukan Bi Sumi atau orang rumah lainnya tapi itu hanya angan-angan buat Ervin.
Ervin menyimpan kembali ponselnya, dilonggarkannya dasi panjang yang sekarang terasa mencekik lehernya. Kemacetan yang luar biasa akhirnya bisa dilewatinya, mobil yang dibawanya pun dengan mudah melaju ke arah jalan menuju rumahnya.
Pagar besi berukir yang menjulang tinggi terbuka sendiri begitu mobil yang dikendarai Ervin mau masuk. Nampak sebuah rumah yang bergaya Eropa berdiri dengan kokohnya di antara rimbunan pohon yang dirawat dengan baik.
Ervin dengan santainya masuk ke dalam rumah, Bu Sumi yang pertama kali melihat Ervin langsung menyapanya. "Tuan Ervin sudah pulang?"
"Iya, Bi. Sengaja pulang lebih awal. Di mana Serlin?" tanya Ervin menanyakan keberadaan istrinya.
"Di kamar Tuan," jawab Bi Sumi.
"Kapan dia pulang?" tanya Ervin lagi.
"Satu jam yang lalu. Waktu Bi Sumi telepon, Nyonya baru beberapa menit sampai. Mungkin sekarang sedang tidur karena tadi terlihat lelah."
Ervin diam beberapa saat. "Antarkan kopi ke kamarku setengah jam lagi Bi, aku mau mandi dulu."
"Iya, baik Tuan," jawab Bi Sumi.
Ervin lalu meneruskan langkahnya menaiki tangga menuju kamar utamanya.