Tok tok tok, suara pintu kamar Rama di ketuk dari luar, "Siapa?" malas Rama membuka pintu dan dia bertanya terlebih dahulu.
"Ini mama, Ram," jawab sang mama dari luar, "Raya menelpon katanya dia sakit, kamu di suruh kesana. Ponsel kamu, kamu non aktif'kan?" tanya sang mama dari balik pintu karena tidak juga di bukakan pintu oleh Rama.
Rama turun dari ranjangnya yang nyaman, dengan malas kakinya melangkah menuju pintu. Ceklek, pintu terbuka dan Rama melihat sang mama sedang menopang kedua tangannya di depan dada.
"Kamu pulang kerumah Raya saja, dari tadi dia telpon mama mulu. Kasihan Raya kamu tinggal-tinggal, Ram," rayu sang mama, Rama memutar tubuhnya dan berjalan masuk lalu merebahkan tubuhnya pada sofa panjang yang ada di kamarnya. Sang mama pun ikut masuk, mata tuanya menelisik kamar putra bungsunya.
"Ck, kenapa hanya ada foto Dea di kamar kamu? Foto Raya mana?" mama dari Rama protes, foto menantu kesayangan nya tidak terpajang di sana.
"Ngga punya," sahut Rama malas, "lagian kenapa harus ada foto Raya sih, Ma?" protes Rama kesal. Sang mama hanya mencebik seraya berkata, "Raya juga istri kamu, Ram. Harusnya kamu adil," tegur sang mama.
"Kan dari awal Rama nikahin Raya, Rama sudah bilang, waktu Rama pasti akan ke Dea. Tapi kalian kekeh mengiya'kan, akhirnya siapa yang repot, Rama juga kan," gerutu Rama yang akhirnya mengeluarkan unek-uneknya.
Ya, awal perjodohan itu Rama awalnya tidak mau, dan mama serta Raya akan setuju apapun syarat yang di ajukan Rama asal dia mau menikah dengan Raya. Berat sebenarnya bagi Rama harus membagi hati, bukan hati sebenarnya karena Rama sangat mencintai Dea, dan buat Raya itu hanya bisnis.
Rama mengatakan tidak akan bisa adil kepada Raya, selain takut Dea tahu lalu meninggalkan dirinya, Rama juga takut kalau Dea akan membenci dirinya bila tahu dia menikah lagi. Dan sekarang terbukti, Dea membenci dirinya dan meninggalkan dirinya.
Bagi Rama Dea adalah cinta pertama dan terakhir bagi nya. Sang mama mendesah pelan, lalu duduk dan menatap intens sang putra.
"Lupakan Dea, bahagia lah dengan Raya, Nak," pinta sang mama dengan suara memelas. Drrt drrt ponsel mama Rama bergetar, "Raya," kata mama Abhel, mama dari Rama sedikit berbisik.
"Ya, Nak," sapa mama Abhel saat sambungan telepon tersambung, "mama kemana aja sih? mas Rama mana?" suara tanya si penelpon dari seberang. Mama Abhel menyerahkan ponselnya pada Rama, dengan malas Rama menerima ponsel tersebut lalu mendekatkan ke telinganya.
"Ya, halo," suara Rama menyambut si penelpon, "mas Rama," suara wanita di sana terdengar mendayu.
"Ada apa, Ra?" tanya Rama pada si penelpon yang ternyata si Raya, "kamu kesini dong, aku lagi sakit nih," suara manja Raya terdengar, Rama berfikir jika yang menelpon Dea, dia, Rama pasti segera kesana dan pasti begitu khawatir.
Mengingat Dea, Rama jadi merindukan istri pertamanya itu, 'Mas rindu kamu, De,' sisi hati Rama berbicara.
"Mas, kamu masih di sana'kan?" Raya memastikan kalau Rama masih ada karena tidak ada suara, Rama mengangguk tanpa sadar.
"Mas, kamu masih di sana'kan?" ulang Raya karena Rama tidak menjawab, "Ya, masih," jawab Rama sedikit ketus, mama Abhel memukul lengan Rama mengingatkan.
"Mas lelah, maaf ngga bisa kesana," jawab Rama langsung, dan terdengar helaan nafas dari sana.
"Ya sudah, Raya aja yang kesana," tuut tuut tuut, ponsel yang di pegang Rama mati sebelum dia sempat menjawab, Rama menyerahkan ponsel itu ke mama Abhel.
"Ruang tamu masih bersih kan, Ma?" Rama mendongak menatap sang mama setelah tadi sempat menunduk dan berfikir bagaimana caranya agar Raya tidak masuk ke kamar ini.
"Masih. Kenapa?" kedua alis mama Abhel menyatu, heran dengan pertanyaan sang putra, "ngga papa," jawab Rama kemudian.
Rama segera keluar dan turun mencari pekerja rumah tangga di rumah mama Abhel, "ada apa, Dhen?" tanya asisten rumah tangga itu setelah beberapa saat mendengar majikan mudanya memanggil dirinya.
"Tolong dong mbok, kamar tamu itu di bersihkan. Di semprot atau di ganti seprei," pinta Rama dengan halus seraya menunjuk kamar tamu di bawah tangga, mata asisten rumah tangga itu mengikuti dan mengangguk paham setelah tahu kamar mana yang di maksud.
Di rumah Rama memang terdapat beberapa kamar, di atas ada kamar utama, terdiri dari kamar Rama sendiri, kamar sang mama dan papa, kamar sang adik, dan ruang kerja masing-masing untuk dirinya dan sang papa jika lembur di rumah.
Sedang di bawah ada lima sampai enam kamar tamu, di belakang ads tiga kamar khusus untuk asisten rumah tangga mereka. Rumah Rama ini cukup luas karena keluarga Rama berasal dari keluarga berada.
"Baik dhen, segera saya laksanakan," mbok Sum, sang asisten rumah tangga itu berujar seraya tersenyum, dia paham pasti istri muda tuan mudanya akan datang kesini. Karena setahu dan sehafal ingatanya, tuan mudanya ini tidak suka jika privasinya di ganggu.
Seperti sekarang, tuan mudanya tidak mau kalau istri keduanya masuk kamarnya karena itu milik nya dan istri pertamanya. Mbok Sum pun tahu di kamar itu banyak sekali foto Dea, istri pertama dari Rama, mbok Sum bisa tahu karena setiap hari dia yang membersihkan.
Rama tersenyum lega mendengar jawaban dari asisten rumah tangganya itu, dan Rama kemudian kembali naik ke kamar dan mengunci pintu kamarnya dari luar, dan kakinya yang panjang melangkah ke ruang kerjanya.
Dua puluh menit kemudian terdengar sang mama memanggil-manggil namanya, dengan malas Rama berjalan menuju pintu setelah meletakkan bingkai foto yang terdapat foto Dea yang sedang dia peluk. Tadi setelah masuk ke ruang kerjanya, Rama memutuskan beristirahat di sana dengan memeluk salah satu foto Dea, menyalurkan rasa rindu pada istri serta cinta pertamanya.
"Ya, Ma," ucapnya begitu pintu terbuka dan mendapati sang mama sedang cemberut.
"Raya ada di bawah, nyari kamu," cetus sang mama, Rama mendesah pelan lalu melangkah keluar dan merangkul pundak sang mama menuju ke bawah setelah menutup dan mengunci pintu ruang kerja miliknya.
"Mas Rama," suara Raya menyambut kehadirannya begitu mereka sampai di lantai bawah, Raya segera memeluk tubuh kekar sang suami, Rama hanya mengusap punggung istri keduanya itu. Mama Abhel meninggalkan mereka berdua.
"Kamu sakit apa?" Rama bertanya setelah mereka berdua duduk di sofa, dan tangan Raya tidak lepas dari lengan Rama. Sebenarnya Rama risih, namun mengingat jika wanita di hadapannya ini istrinya, maka dia biarkan.
"Kita ke kamar aja yuk, Mas," ajak Raya sambil tersenyum genit, Rama mengangguk dan berdiri bersama Raya. Keduanya melangkah ke kamar tamu yang sudah di bersihkan mbok Sum.
"Kok ke sini sih, Mas!" Raya protes lalu menghempaskan tangannya dari lengan Rama, Rama menoleh lalu memutar kedua bolanya dengan malas.
"Lalu kemana? Ke kamar mama?" tanya Rama tanpa merasa bersalah. Tangannya kemudian membuka pintu kamar tamu tersebut.
"Ya ke kamar kamu' lah," sahut Raya kesal, "kenapa harus kesana? Ini juga kamar," Rama berucap dan bersikap tidak acuh.
"Bukannya tadi kamu mau ke kamar, ini sudah di kamar," Rama menghempaskan tubuhnya di sofa dan memejamkan mata. Raya ikut duduk di sampingnya dengan perasaan kesal dan kecewa.
"Tapi aku ingin ke kamarmu," ucap Raya lirih, Rama hanya diam tidak menjawab.