Bibi yang melihat Nona di depannya mundur beberapa langkah dan membuat dia kepentok ke dinding. Dino dan yang lainnya hanya bisa diam, mereka tahu kalau Bibi pasti mengira kalau di depannya Narsih.
"Jangan bunuh saya, saya mohon. Saya tidak tahu apa-apa soal kematian kamu Narsih. Saya hanya penjaga vila itu, dan saya hanya pembantu begitu juga dengan suami saya, " ucap Bibi Sum pada Nona.
"Bibi, dia Nona. Bukan Narsih yang meninggal 30 tahun lalu. Apa wajahnya mirip dengan teman saya?" tanya Dino lagi.
Semua memandang Bibi Sum. Bibi Sum menganggukkan kepalanya. Bibi Sum mendekati Nona dan memegang tangannya.
"Kamu sangat mirip nak, Bibi pikir itu dia. Dia yang meninggal terbunuh di malam pengantin sama orang yang tak di kenal. Ada yang mengatakan itu orang kota dan orang Desa sini. makanya pemuda sini habis dibunuh sama dia," kata Bibi.
"A--apa maksud Bibi Sum? Apa tak ada yang menyelidiki kasus ini?" tanya Dino.
"Sudah, Pak Polisi sudah menyelidiki tapi malah terbunuh juga, makanya Aden semua cepat kembali ke kota. Pemuda sini semua pada ke kota, mereka takut akan terbunuh juga," kata Bibi Sum.
Bibi pergi dari hadapan mereka. Dino dan lainnya melihat kepergian Bibi Sum. Dia menghilang dari hadapan mereka.
"Kita ke masjid saja. Kita harus sosialisasi sama penduduk sini sambil cari informasi tentang kejadian ini. Siapa tahu kita kenal sama orang tua Narsih," kata Dino.
"Iya aku setuju. Nona, kamu berani di sini sendirian?" tanya Dino.
"Iya, aku berani. lagian aku nanti nonton drama saja di kamar, kalian bawa kunci satu aku satu," kata Nona.
"Baiklah, kalau begitu. Sekarang kita makan dulu apa pergi dulu?" tanya Ian.
"Terserah lah, aku ikut saja. Kita jangan naik mobil, tadi aku lihat ada sepeda motor Mang Jupri, kita pinjam saja bagaimana?" tanya Paijo.
Keduanya mengganggukkan kepalanya. Lagian tadi masjidnya tidak jauh dari tempat mereka. Selesai makan dan menggunakan pakaian koko, ketiganya pergi dan berpamitan pada Nona.
"Non, tak masalahkan kami pergi?" tanya Dino sekali lagi.
"Ishh, kalian mau berapa kali bilang hmm? Dari di meja makan sampai sekarang itu saja, sudah sana, keburu azan isya nanti," jawab Nona.
"Iya bawel, aku pergi," kata Dino.
"Ciee, aku segala. Kami tak di anggap sama sekali. Kayaknya sahabat rasa kekasih enak kali ya," ejek Ian sambil tertawa.
"Enak banget lah. Kayak makan coklat rasa coklat," kata Paijo.
"Ijo, bukannya coklat emang rasa coklat ya, mana ada rasa lain," sambung Ian.
"Ada lah. Mau tahu?" tanya Paijo.
Ian mengangguk kepalanya, dia penasaran sama coklat rasa coklat.
"Rasa yang pernah ada," kata Paijo sambil tertawa dan meninggalkan ketiganya.
"Kau periksa si Paijo. Siapa tahu dia sudah mereng otak cuminya. Dah lah, lihatin kalian bisa iri," kata Ian.
Ian menyusul Paijo ke depan. Dino pun pergi menyusul sambil mengunci pintu. Nona masuk ke kamar dan mengunci pintu kamar agar aman.
Tok tok tok!
"Mang, boleh kami masuk!" teriak Ian.
"Ucap salam sama orang. Jangan buat kayak rumah kamu sendiri Ian," cibir Paijo.
Tak lama Mang Jupri keluar dengan pakaian yang sama dengan mereka. "Loh Mang mau kemana?" tanya Dino.
"Ada tahlilan, di ujung sana. Kalian mau kemana?" tanya Mang Jupri.
"Kami mau ke masjid, boleh pinjam kereta Mang?" tanya Dino.
"Silahkan pakai, apa muat kalian bertiga?" tanya si Mamang.
"Tenang saja Mang, pasti muat, kalau rusak kami ganti," kata Paijo.
"Bukan masalah ganti, tapi ada tanjakkan di situ, dan juga ada kuburan juga kiri kanan. Kalian berani kan?" tanya Mang Jupri.
"Kok, aku nggak ingat ada itu ya, apa tadi kita di butakan sehingga tak melihat itu," kata Ian.
"Makanya itu, kita pakai ini biar nggak terlalu kali di sana. Sudah ayo kita pergi, nanti kemalaman. Mang naik apa?" tanya Dino.
"Sepeda saja. Kita jumpa di masjid saja nanti," kata Mamang Jupri.
Ketiganya melihat Mamang berjalan terbongkok-bongkok, dan sedikit kesulitan naik kereta anginnya. Walaupun kesulitan, si Mamang tetap bisa menaiki kereta anginnya.
"Keren si Mamang, TARIK MANG!" teriak Ian.
Mang Jupri yang kaget spontan kereta anginnya bergoyang dan hampir masuk got depan rumah. Ketiga tertawa melihat tingkah Mang Jupri.
"Hahaha, sialan kau Ian. Lihat dia hampir jatuh. Jika dia jatuh biaa kualat kamu sama dia," kekeh Paijo.
"Aku hanya kasih semangat saja, lagian aku juga tak ada niat untuk buat dia jatuh, hanya niat untuk menggoda dia hahaha," ketiganya tertawa dan mulai bergerak.
Dino mengatur formasi mereka. Ian duduk di depan seperti anak kecil yang duduk di depan sedangkan Paijo duduk di belakang.
"Dinosaurus, bisa maju dikit nggak. Aku sempit kali ini. Lihat, pantatku hanya duduk sebelah, tar kakiku kram," kata Paijo.
Akhirnya Dino menyerah, dia maju ke depan dan memepet dengan Ian. "Sudah, jangan kau minta geser lagi Ijo, nanti makin ke depan aku," sambung Ian.
"Tenang, duduk yang manis di depan ya," ucap Paijo.
Ketiganya akhirnya berangkat dengan kereta tua Mang Jupri. Di jalan ketiganya membahas masalah berita yang terjadi di kota. Banyak kasus yang membuat ke tiga bahas itu.
"Dino, maju dikit lah. Aku merasa kalau aku terimpit lah," kata Paijo.
Dino dan Ian hanya diam saja. Keduanya diam karena sekarang keduanya melewati yang di katakan tadi. Dua kuburan kiri kanan
"Mimpi apa bisa lewat sini," rutuk Ian dalam hati.
Ian melihat dari kaca spion, ada yang duduk di belakang Paijo, lebih tepatnya boncengan dengan ketiganya. Dino makin kesal melihat tingkah laku Paijo yang lasak, kereta yang mereka tumpangi ke kiri ke kanan karena Paijo tak mau diam.
"Paijo, bisa diam nggak? Kalau nggak kau aku turuni di tengah-tengah ini mau," ucap Dino yang mulai kesal sama Paijo.
"Sempit di belakangku. Makanya maju," kata Paijo.
"Eh, somplak mau maju kemana lagi. Apa kau mau Ian duduk di lampu kereta ini?" tanya Dino.
Ian yang duduk di depan sudah keringat dingin. dia melihat Narsih duduk sambil memegang senjata andalannya.
"Masih lama kah?" tanya Ian dengan suara pelan.
"Kayaknya nggak lama lagi. Tapi kenapa keretanya makin berat ya?" tanya Dino.
"Ian banyak dosa sama Emak dan Ayahnya. Disuruh pulang malah nggak mau, durhaka kamu," kata Paijo
Angin berhembus aroma melati tercium makin pekat. ketiganya langsung menghentikan pembicaraan. Ketiganya seperti orang yang ketahuan maling ayam tetangga.
"Wangi itu, apa dia muncul," gumam Dino.
Ian sudah membaca segala macam doa, sampai di tanjakan yang di katakan Mang Jupri, Dino sebagai pemandu berusaha menggas kereta dengan kencang. Sangking kencangnya, Dino tak tahu kalau penumpang di belakang harus jatuh bersama Narsih.
Paijo melihat ke bawah badannya Narsih sudah tergolek dan dia berada di bawah Narsih.
"Tamat kau sebagai pejaka paling tampan di surat kabar itu, dan kau akan jadi santapan Narsih," gumam Paijo.
Paijo mengumpat keras pada kedua sahabatnya itu. Paijo bangun dan merangkak, dia tak sengaja menarik rambut Narsih.
"Aduh, mbak manis, maafkan saya, telah menimpa mbak manis, dan maafkan saya juga karena sudah menarik rambut indah berkilau bak iklan sampo mbak ya, apa ada yang rontok? Tentu tidak kan, duh mati aku, awas kalian," rutuk Paijo.
Paijo merangkak perlahan menjauhi Narsih. Dia sudah tak tahu apakah nanti Narsih akan mengikut dia merangkak atau tidak. Masa bodoh lah, auh gelap rutuknya.
Dugaan Paijo benar, Narsih ikut merangkak dan berlomba dengan Paijo, Paijo yang tak mau kalah juga ikut sampai celananya kotor dan pada akhirnya dia ketinggalan dan Narsih sudah melaju sambil tertawa.
"Kebodohan hakiki, lomba rangkak sama Narsih," rutuk Paijo yang bangun dan berlari dengan kencang.
Hay sahabat Hyung, yuk simpan di rak ya, jangan lupa komentar kalian juga, Mauliate Godang.