Chereads / STRANGE DESTINY / Chapter 4 - BAB 4

Chapter 4 - BAB 4

POV KAYLEE

Aku merasa terbangun tapi aku memutuskan untuk tidak membuka mataku. Aku mencoba bernafas dan aku berhasil melakukannya. Hidup. Cek. Batinku. Baiklah sekarang aku mencoba menggerakkan jemariku dan aku bisa melakukannya. Setelah beberapa saat aku mencoba merasakan bahwa anggota tubuhku lengkap, aku membuka mataku perlahan. Kulihat langit-langit dengan cahaya terang yang berasal dari lampu. Aku berkedip beberapa kali untuk membersihkan pandanganku. Oke, aku pikir aku berada di rumah sakit sekarang. Apa yang aku harapkan? Aku cukup bersyukur bahwa aku tidak mati. Ini adalah sesuatu yang harus kusyukuri setelah aku merencanakan kematian seseorang.

Mataku melihat sekitar. Tidak ada siapa pun di ruangan itu. Di mana Daniel? Apa dia tidak tahu apa yang terjadi padaku? Aku memperhatikan tanganku yang terpasang jarum infus, masker oksigen terpasang, dan alat detak jantung yang menempel di dadaku. Baiklah, aku sepertinya benar-benar beruntung lolos dari maut. Aku mencoba untuk duduk dengan tanganku bersandar pada kasur. Aku melihat nakas yang terletak di sisi kiri berharap menemukan ponsel dan sayangnya itu tidak ada di sana. Aku menghela nafas sambil bersandar pada besi ranjang sambil melihat sekeliling ruang sempit itu.

"Di mana Daniel?" tanyaku pada diri sendiri.

Tunggu sebentar.

Kenapa suaraku berbeda?

Aku mengetes vokal suaraku seolah aku adalah penyanyi yang melakukan pemanasan. Entah bagaimana suaraku sendiri terdengar asing ditelingaku. Itu tidak seperti suaraku. Aku mencoba lagi untuk menguji suaraku ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka dan sosok wanita yang berusia pertengahan menatapku terkejut. Tiba-tiba dia berteriak memanggil perawat dan berlari menghampiriku yang masih menatapnya bingung. Siapa orang ini?

"Nona, kamu sudah sadar? Oh, syukurlah. Saya akan menelepon tuan dan nyonya." Ujarnya sambil mencoba melakukan panggilan di ponselnya dengan tangan yang gemetar.

Tuan? Nyonya? Siapa yang dia maksud?

Apa yang dimaksudnya jaksa Sebastian? Tapi siapa nyonya? Karena setahuku dia belum menikah.

Wanita itu masih menangis dan mengucapkan kata-kata syukur yang tidak ditangkap olehku. Beberapa perawat dan dokter memasuki kamar. Segera mereka mulai memeriksaku dan mengajukan beberapa pertanyaan yang aku jawab meskipun dengan keadaan bingung. Aku masih merasa ada yang salah dengan diriku sendiri meski aku tidak bisa mengucapkannya dengan kata-kata. Tapi aku yakin ada yang salah.

"Di mana keluarganya?" tanya salah satu dokter pada wanita yang masih berdiri tak jauh dari ranjang.

"Mereka dalam perjalanan. Kakaknya ada di kantin, dia ke sini sebentar lagi." Ujar wanita itu sambil meremas jemarinya namun tampak wajahnya berseri dengan mata yang berkaca-kaca.

Keluarga? Kakak? Sejak kapan aku memiliki keluarga?

Aku baru saja membuka mulutku untuk bertanya ketika pintu terbanting terbuka mengejutkan semua orang termasuk aku. Seorang pria muda terengah-engah memasuki kamar dan matanya jatuh padaku. Dia tampak tampan. Tidak, sangat tampan. Oke, maafkan aku yang mungkin terlalu lama sendiri hingga tidak bisa mendeskripsikan pria itu tanpa mengatakan kata tampan. Dia memakai kemeja putih dengan lengan baju yang digulung hingga ke siku dan dipadukan dengan celana berwarna abu-abu tua. Dia berjalan menghampiriku dan langsung memegang tanganku, membuatku membeku. Apa aku tiba-tiba punya pacar setelah mengalami kecelakaan? Baiklah, itu pemikiran yang lucu.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya pria muda yang masih memegang tanganku.

"Keadaannya sudah mulai membaik, tidak ada tanda-tanda gegar otak, hanya kakinya yang membutuhkan penyangga untuk beberapa hari setelah patah kaki yang dialaminya. Tubuhnya pasti kaku setelah dua minggu koma jadi akan ada terapis yang membantu." Terang dokter.

Dua minggu? Itu waktu yang cukup lama. Aku hendak bertanya ketika pria itu menyelaku sekali lagi.

"Baiklah, Dok. Lakukan apa pun yang terbaik."

Mereka terus membicarakan soal keadaanku namun aku tetap memandang pria yang masih menggenggam tanganku dengan wajah bingung. Sepertinya wanita yang sedari tadi berdiri di ujung tempat tidur melihat kebingunganku karena dia berada di depanku dalam sekejap dan bertanya padaku.

"Nona, ada apa? Apa nona merasa sakit?"

Semua orang menoleh padaku termasuk pria yang berdiri di sampingku. Dia langsung memegang pipi kiriku dan bertanya dengan suara lembut.

"Alexa, apa kamu merasa tidak enak badan?"

Aku tidak akan terbiasa dengan suara lembutnya yang membuatku meleleh. Aku tersenyum tanpa sadar sampai..

Tunggu. Siapa Alexa?

Aku melepaskan tangannya dengan cepat dan menjaga jarak dengannya meskipun aku tidak mematahkan tatapanku.

"Siapa Alexa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

Aku menatap wajahnya yang terkejut, begitu pula orang-orang yang berada di ruangan itu. Aku tidak tahu kenapa mereka terkejut karena akulah yang seharusnya bingung. Bagaimana tidak? Aku tidak mengenal satu pun orang yang ada di ruangan ini. Para perawat dan dokter tidak termasuk dalam hitungan. Seorang dokter menghampiriku dalam sekejap membuatku terkejut hingga aku menepis tangannya yang memegang sebuah senter kecil. Gerakan itu mengejutkannya dan aku meminta maaf. Aku terbiasa waspada jadi itu hanya gerakan refleks, kurasa. Dokter itu hanya mengangguk dan meminta ijinku untuk memeriksa yang aku balas dengan anggukan. Setelah memeriksaku, dokter itu beralih menatap dokter lainnya yang membuatku bertambah bingung. Apa aku mengalami kelainan?

"Nona, apa kamu mengingat siapa namamu?" tanya seorang dokter padaku.

"Tentu saja. Aku Kaylee." Jawabku tanpa ragu.

Aku melihat wajah mereka yang kebingungan dan melirik satu sama lain. Itu membuatku frustrasi. Aku biasanya cukup tenang dalam hal menganalisis keadaan tapi entah kenapa ini membuatku marah karena semuanya terasa salah. Aku menghela nafas kasar dan mulai berbicara yang sepertinya mengejutkan mereka.

"Baiklah, sekarang tumpahkan. Apa yang salah denganku? Kalian membuatku benar-benar marah." Ujarku sambil mengacak-acak rambut.

Saat itulah aku menyadari bahwa rambutku hanya sepanjang bahu. Aku mulai menarik beberapa helai rambutku dengan perlahan ke tingkat mataku. Dan aku mendapati bahwa rambut yang aku pegang berwarna hitam. Aku mengerutkan kening pada pandangan itu. Apa mereka mengecat rambut juga pada pasien yang koma? Karena seingatku terakhir kali aku mengecat rambutku berwarna cokelat.

"Alexa. Namamu adalah Alexa." Ujar pria muda itu, "Dan aku adalah kakakmu."

what the...

Aku tidak mengerti sama sekali. Apa aku berada di dunia alternatif atau semacamnya?

"Baiklah, ini tidak lucu. Apa yang bicarakan? Aku bahkan tidak mengenalmu." ujarku.

Sepertinya kata-kataku menjadi sebuah pukulan karena wajahnya berubah dari terkejut menjadi kekhawatiran. Pria itu berbalik dan berbicara pada dokter yang membuatku semakin bingung dan kesal. Bagaimana tidak, mereka membicarakanku seolah aku tidak ada di sekitar. Aku hendak menyela pembicaraan mereka ketika tiba-tiba aku menangkap sesuatu yang membuatku terkejut. Aku melihat ke sisi kiri ruangan yang memiliki cermin berbentuk lingkaran terpasang di dinding. Pantulan cermin menunjukkan seorang gadis muda yang tampak cantik mengenakan baju pasien duduk di atas tempat tidur yang aku tempati. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa mataku tidak rusak dan mulai melihat hal-hal aneh. Aku mengangkat tangan untuk menyentuh wajahku dan gadis di cermin itu mengikuti gerakanku. Aku melakukan gerakan lainnya dan gadis itu melakukan hal sama. Tiba-tiba pandanganku pada cermin terhalang oleh wanita yang terus menanyakan apa aku baik-baik saja. Aku menggeser tubuhnya ke samping untuk melihat pantulan cermin dan aku mendapatkan hal yang sama. Akhirnya aku yakin bahwa hal aneh benar-benar terjadi padaku. Gadis di cermin itu adalah aku. Aku berkedip sebelum akhirnya aku mulai menjerit histeris.