"Kataku, apa yang kau lakukan di sini?"
Daniel mengucapkan kata-kata dengan dingin dan penuh penekanan. Kay yang terkejut dengan kenyataan yang baru saja menabraknya hanya terdiam sambil menatap Daniel yang menatap tajam padanya. Genggaman menyakitkan pada pergelangan tangannya menyadarkannya. Kay mencoba menarik tangannya namun Daniel hanya menggenggamnya lebih erat.
"Lepaskan tanganku! Kau menyakitiku, bodoh!"
"Bodoh? Kau pikir siapa dirimu? Sekarang keluar dari ruangan ini sebelum aku berbuat kasar padamu, Nona muda."
Nona muda? Apa yang... oh. Kay menyadari setelah realisasi menabraknya. Tentu saja dia berpikir aku adalah orang lain. Aku benar-benar lupa.
Daniel menghempaskan tangannya dengan kasar sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Dia berbalik membelakangi Kay yang mengusap pergelangan tangannya dengan tatapan kosong.
"Dengar, sebaiknya kau pergi. Jangan pernah datang ke sini." Ujar Daniel tanpa berbalik.
Kay bingung dengan reaksinya dan mulai bertanya, "Kenapa?"
Kay melihat Daniel berbalik dan menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berjalan perlahan mendekati Kay, mencoba mengintimidasi gadis yang dia pikir bukan sahabatnya.
"Karena kau, sahabatku menjadi seperti ini." Ujar Daniel sambil menunjuk ke arah tubuh Kay yang asli di atas ranjang.
Kay hanya mengerutkan kening dengan ucapan Daniel. Kenapa dia mengatakan itu? Apa dia baru saja menyalahkan gadis ini?
Dia mengingat-ingat tentang kejadian yang membuatnya seperti sekarang. Dan dia ingat. Kay menabrak seorang gadis muda yang entah muncul dari mana. Kay mengalihkan pandangannya pada cermin kecil yang ia ambil dari meja resepsionis. Wajah itu. Wajah ini. Gadis ini adalah gadis yang tak sengaja ia tabrak.
"Aku menabrak gadis ini." Bisik Kay pada dirinya sendiri namun Daniel mendengarnya juga.
"Jika kau ingin melakukan bunuh diri, lakukanlah di tempat lain dan jangan melibatkan atau membahayakan keselamatan orang lain." Ujar Daniel dengan dingin.
Dia mendengar Daniel menghela nafas dan menarik tangan Kay kembali, "Sekarang sebaiknya kau pergi."
Kay berjalan ke arah pintu dengan tarikan Daniel.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Pandangannya mulai kembali fokus dan menatap Daniel yang hampir berhasil mengeluarkannya dari ruangan. Dengan kasar, Kay menarik tangannya kembali hingga membuat Daniel menoleh ke arahnya.
"Daniel, kau tidak akan percaya apa yang akan aku katakan tapi kumohon, percayalah." Ucap Kay sambil berjalan mundur.
"Bagaimana kau tahu namaku?" ujar Daniel yang mengerutkan kening.
"Aku adalah Kaylee. Aku tidak tahu bagaimana tapi aku benar-benar Kay." Ucap Kay mengabaikan pertanyaan Daniel.
Daniel berkedip lalu mendengus kasar.
"Kau bicara omong kosong. Sekarang pergi dari sini!" ujar Daniel kasar.
"Tidak, aku serius! Astaga, ini benar-benar membuatku gila." Ujar Kay yang mulai menarik rambutnya seperti orang gila.
"Dengar, aku tahu ini terdengar gila dan aku yakin kau akan mengatakan aku gila. Tapi aku benar-benar Kay. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya karena yang aku ingat ketika aku terbangun, aku sudah berada di tubuh gadis ini. Aku sempat panik tapi aku berusaha tenang karena kupikir ini hanyalah mimpi atau entah bagaimana aku terhempas di dunia alternatif, meskipun aku tidak yakin bahwa dunia alternatif itu ada. Tapi percayalah ini aku, aku Kay." Oceh Kay yang menatap Daniel dengan tatapan memohon.
Daniel hanya menatapnya tatapan bingung dan skeptis. Jika dia berada di posisi Daniel, dia juga tidak akan percaya.
Kay melihat Daniel menggelengkan kepalanya sebelum berkata
"Kau sepertinya gila, Nona muda. Kau harus bertemu psikiater."
"Tidak, aku serius!" ujar Kay berteriak dengan frustrasi.
"Baiklah..." ujar Daniel skeptis.
"Begini saja, aku akan membuktikan bahwa aku adalah Kay. Beri aku pertanyaan yang hanya kamu dan Kaylee yang tahu."
Daniel memberinya tampilan skeptis dan sepertinya dia mulai khawatir dengan kewarasan dirinya yang tampil dengan wajah orang lain di hadapannya tapi mengikuti permintaannya.
"Baiklah. Katakan padaku, apa yang membuat Kay marah padaku seminggu yang lalu?"
"Kau mencuri salah satu sampanye di rumahku dan itu adalah Penfolds Bin 707 Carbernet Sauvignon seharga sepuluh juta rupiah."
Kay melihat tampilan terkejut dari wajah Daniel. Dia mendengus saat mengingat kejadian itu.
"B-baiklah..." ujar Daniel sedikit tergagap.
"Dan kenapa aku melakukan itu?" tanyanya lagi dengan ragu-ragu.
Kay menatap bosan pada Daniel beberapa menit sebelum menjawab.
"Kau menggunakannya untuk kencan makan malam dengan nyonya Siska, klienmu. Dan yang lebih parah kau bercinta dengannya, di rumahku. Tepatnya di kamar tamuku. Apa kau puas?" ujar Kay datar.
Daniel tampak mundur selangkah karena jawaban yang dia dengar, hanya ia dan Daniel yang tahu soal itu terutama ketika Kay mengamuk dan tidak mengijinkannya masuk ke dalam rumahnya dalam waktu satu bulan. Bukan karena dia mengajak salah satu pencintanya ke rumah Kay, tapi karena dia meminum salah satu sampanye kesukaannya.
"K-kau... kau benar-benar Kay? Tapi...bagaimana..." Daniel tergagap, tidak tahu berkata apa.
Kay menghela nafas lega karena sepertinya Daniel mempercayainya. Dia mulai berjalan ke arah sofa di sisi kanan ranjang dan menjatuhkan tubuhnya yang terasa lelah ke sofa empuk sebelum menjawab.
"Sudah kubilang aku tidak tahu. Seperti yang kuceritakan tadi, aku hanya ingat bahwa dua bajingan itu menabrakku dan ketika aku membuka mata, tiba-tiba aku menjadi orang lain."
"Wow...itu terdengar seperti di film-film atau novel fiksi." Ujar Daniel yang duduk di samping Kay.
Kay menganggukkan kepalanya dengan lemah.
"Apa yang akan terjadi sekarang? Apa yang akan kau lakukan?" tanya Daniel.
"Aku tidak tahu. Ini pertama kalinya aku ingin menangis karena putus asa dan frustrasi. Dan aku tidak pernah merasa seputus asa ini." Ujar Kay yang duduk merosot di sofa.
Dia tahu betapa tampak menyedihkan dirinya sekarang. Tetapi dia benar-benar putus asa karena pikirannya kosong mencari ide untuk keluar dari situasi ini.
"Kupikir, kita harus meminta bantuan pada orang yang lebih mengerti tentang situasi ini." Ujar Daniel setelah keheningan yang berat.
"Itu sebabnya aku mengatakan ini padamu. Apa kau memiliki ide?" tanya Kay yang duduk tegak, bersemangat mendengar jawaban Daniel.
"Baiklah.." ucap Daniel ragu-ragu sambil melirik ke arah Kay.
"Kupikir, kita harus mencari dukun atau supranatural?" Pertanyaan Daniel yang berubah menjadi pertanyaan.
Kay menggigit ibu jari kanannya, kebiasaan ketika ia berpikir. Dia bisa melihat Daniel gelisah menunggu jawaban Kay. Daniel tahu bahwa dia tidak mempercayai hal-hal mistis tapi melihat situasi yang tidak masuk akal, dia berpikir mungkin itu adalah satu-satunya jalan keluar.
"Itu ide yang bagus." Ucap Kay mengejutkan Daniel.
"Benarkah?"
"Tentu. Kupikir ini berkaitan dengan hal-hal semacam itu."
"Wah, kupikir kau akan menolak ideku karena tidak mempercayainya."
"Aku tidak mempercayainya sampai aku mengalaminya sendiri."
"Kau benar. Baiklah, aku akan mencari dukun yang terpercaya. Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
Kay menghela nafas sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa sebelum menjawab.
"Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berpura-pura menjadi gadis ini. Dokter dan keluarganya mengira gadis ini mengalami amnesia karena tidak mengingat apa-apa. Padahal kenyataannya aku bukanlah dia dan aku memang tidak tahu apa-apa."
"Kau tahu, itu kebetulan yang aneh."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, gadis ini adalah penyebab kau celaka dan sekarang kau justru berada di dalam tubuhnya. Itu seperti takdir mempertemukan kalian berdua."
Kay mendengus sambil tersenyum miring.
"Sepertinya aku benar-benar putus asa karena aku setuju dengan pernyataanmu yang terdengar konyol."
Mereka berdua terdiam masuk ke dalam pikiran masing-masing.
"Kau tahu, Dan. Aku benar-benar merasa frustrasi, ini di luar kemampuanku."
Daniel menepuk bahunya dengan pelan.
"Aku mengerti. Bersabarlah, aku akan mencari jalan keluar dari situasi ini."
Kay mengangguk sambil mendesah kalah.
"Aku berharap aku bisa menenggak wiski-ku." Ujar Kay pelan yang justru membuat Daniel tertawa terbahak-bahak.
"Apa?" tanya Kay bingung menatap Daniel yang masih tertawa.
"Tidak apa-apa. Kau hanya menunjukkan bahwa kau adalah Kay yang aku kenal. Kau dan kecintaanmu pada minuman beralkohol." Ujar Daniel ketika tawanya mereda.
"Apa kau masih tidak percaya padaku?" tanya Kay dengan mengangkat alisnya.
"Bukan begitu. Itu hanya tampak tidak nyata. Kamu mengerti maksudku, kan?"
Kay mengangguk. Dia bahkan belum percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Perlahan dia bangkit dari sofa dan memutuskan kembali ke kamarnya. Bukan, kamar inap gadis ini.
"Aku akan kembali ke kamar. Ada kemungkinan keluarga gadis ini akan panik jika tidak berada di kamarnya. Aku akan menghubungimu. Kirimkan aku pembaruan, oke?" ucap Kay yang sudah berdiri di depan Daniel yang masih duduk.
"Baiklah."
Kay berjalan perlahan ke arah pintu sebelum menoleh ke arah Daniel.
"Pulang dan beristirahatlah. Kau tidak perlu menjaga tubuhku." Ucapnya sebelum keluar dari ruangan.
"Aku tidak peduli. Aku akan ada di sini menjagamu." teriak Daniel, yang membuat Kay tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Kay berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamarnya. Sesampainya ia merebahkan tubuhnya yang kelelahan. Jarak kamarnya dan kamar tempat tubuhnya berada memang tidak terlalu jauh, namun kakinya yang menggunakan penyangga cukup menghambatnya dalam berjalan. Satu-satunya hal yang dibenci oleh Kay adalah tidak berdaya. Dia benar-benar benci situasi itu, termasuk situasinya yang sekarang. Kay menghela nafas pelan sebelum memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar.
Kay tidak tahu berapa lama dia memejamkan matanya, sepertinya dia tertidur dengan lelap. Perasaan nyaman menyelimutinya terutama dengan AC yang menyala. Kay menegang ketika tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menyelipkan rambut ke belakang telinganya lalu mengusap sisi wajahnya dengan lembut. Dengan cepat, Kay menangkap pergelangan tangan orang itu dengan genggaman yang cukup ketat. Dia mendengar isapan nafas terkejut dari empunya tangan lalu Kay membuka matanya hanya untuk menatap wajah saudara lelaki Alexa. Mereka saling menatap selama beberapa detik sebelum Kay ingat apa yang dilakukannya. Ia melepaskan tangan Adrian dan meminta maaf. Adrian tidak menjawab dan hanya mengangguk dengan tatapan yang masih mengarah pada Kay. Kay berdeham dan tersenyum canggung pada Adrian.
"Hai, kak. Apa yang kau lakukan di sini? Aku pikir kau sedang bekerja?" ucap Kay berusaha sesantai mungkin.
"Kakak baru saja pulang dan langsung ke sini. Bagaimana keadaanmu?" tanya Adrian yang menggeser sebuah kursi dan duduk menghadap Kay.
"Lebih baik. Kapan aku bisa pulang?"
"Dokter bilang dua hari lagi kau bisa pulang."
"Oh.."
Mereka berdua terdiam. Kay tidak tahu harus berkata apa, begitu pula Adrian. Mereka menatap ke arah lain untuk menghindari pandangan masing-masing.
Sial, aku tidak pernah menjadi aktris yang bagus. Batin Kay.
Keheningan canggung itu pecah ketika seorang wanita yang sekarang Kay tahu bernama Marni memasuki ruangan. Dia membawakan beberapa buah-buahan dan menawari Kay, yang terakhir dengan senang hati menerimanya karena dia juga merasa lapar. Marni dan Adrian masih berbicara ketika Kay sudah menghabiskan tiga buah apel dan sebotol jus jeruk. Tiba-tiba Marni berjalan menghampiri Kay dan menyentuh tangannya yang membuatnya cukup terkejut.
"Nona, saya pamit pulang dulu. Tuan Adrian bilang dia yang akan jaga di sini. Apa Nona sesuatu sebelum saya pulang?" tanya Marni.
Dia akan pulang? Oh sial, ini akan menjadi canggung. Batin Kay sambil melirik ke arah Adrian yang duduk bersandar sambil menyilangkan kedua tangannya.
"Ehm...Sepertinya tidak ada. Hati-hati di jalan, Marni." Ujar Kay sambil tersenyum.
Marni membalas senyumannya dan berjalan keluar ruangan setelah berpamitan pada Adrian. Kay tidak tahu apa yang harus dilakukan jadi ia hanya mengambil sebotol jus jeruk dan meminumnya. Sepertinya Adrian memperhatikan kecanggungannya sehingga ia memulai berbicara.
"Lexa?"
Kay menoleh ke arah Adrian yang memanggil nama Alexa. Untungnya bukan pertama kali dia dipanggil dengan nama lain, jadi setelah beberapa kali mengingat-ingat namanya sekarang dia langsung bereaksi.
"Iya?" tanya Kay setelah menelan jus.
"Aku tahu kamu begitu canggung dengan orang yang tidak kamu ingat, tetapi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa percaya pada kami. Dan kami berharap, kamu bisa menerima kami sebagai keluargamu." Ujar Adrian pelan dengan mata memohon.
Kay menatap mata Adrian. Dia tahu seharusnya dia berpura-pura menjadi Alexa tapi dia sendiri tidak tahu bagaimana Alexa. Dan yang lebih parahnya, Kay merasa dia menipu keluarga Alexa. Kay menghela nafas lalu tersenyum pada Adrian dan menganggukkan kepalanya. Adrian tersenyum cerah pada Kay.
Kay merasa bersalah tapi dia tahu bahwa dia tidak memiliki jalan lain. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan yang terbaik berpura-pura menjadi Alexa sampai Alexa dan dirinya kembali ke tubuh masing-masing.