Chereads / STRANGE DESTINY / Chapter 9 - BAB 9

Chapter 9 - BAB 9

"Jadi, aku menyukai Miller sejak masuk ke sekolah ini namun Miller menolakku berkali-kali?" tanya Kay pada Lily, yang dijawab anggukan.

Mereka berada di gedung olah raga dan duduk di kursi penonton. Lily menceritakan pada Kay bagaimana usaha Alexa untuk mengambil hati Miller, pernyataan cinta yang dilakukan di depan teman-teman sekolahnya, semua kado dan kejutan yang diberikan Alexa untuk Miller, dan daftar usaha lainnya yang menurut Kay agak berlebihan. Kay bisa mengerti Miller memperlakukannya seperti itu di perpustakaan, Alexa terlalu memaksakan perasaannya pada anak lelaki malang itu.

Mereka duduk terdiam dengan pandangan ke lapangan basket yang sepi, hanya suara seruput minuman yang mereka nikmati. Tiba-tiba keheningan gedung pecah ketika beberapa siswa masuk ke dalam. Kay menoleh pada kebisingan dan dia melihat anggota basket memasuki lapangan untuk berlatih. Kay bersandar pada kursi sambil menikmati es cokelat yang dibelinya bersama Lily. Kay juga melihat Miller berada di lapangan bersama teman-temannya. Dia melihat saat seseorang memperhatikannya dan membisikan sesuatu pada Miller. Pada saat itulah, Miller menoleh ke arah Kay. Raut wajahnya berubah cemberut saat menangkap tatapan Kay, yang terakhir hanya menaikkan sebelah alisnya dan tak memedulikannya.

"Lexa?"

"Hmm?"

Lily memutar tubuhnya dan menatap Kay. Dia menghela nafas sebelum berbicara

"Aku bercerita bukan untuk mengingatkan bagaimana perasaanmu pada Miller, tapi aku berharap kau untuk berhenti. Lagi pula, Naura sudah mengkhianatimu."

"Naura?" tanya Kay sambil mengerutkan kening.

"Dia salah satu sahabat kita sampai dia diam-diam berpacaran dengan Miller. Dia tidak mengatakan padamu sampai..."

"Sampai aku mengalami kecelakaan?"

"Ehm... sampai..bagaimana aku mengatakannya?" ucap Lily dengan sebuah bisikan di kata terakhir.

"Hei, kau bisa memberitahuku yang sebenarnya." Ujar Kay meyakinkan Lily.

"Sampai Miller menolak cintamu lagi dan ia mengatakan di depan seluruh siswa yang berkumpul bahwa dia berpacaran dengan Naura." Ucap Lily sambil menatap sedih pada Kay.

Kay hanya berkedip dengan memproses semua ucapan Lily. Ia hanya menghela nafas berat sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah kata-kata Lily meresap ke dalam otaknya. Bukannya dia ikut sedih atas apa yang terjadi pada Alexa, tapi dia merasa malu dengan nasib Alexa. Astaga, gadis ini lebih menyedihkan dariku soal cinta, batin Kay.

"Setelah itu, sikapmu berubah dan tampak..."

"Menyedihkan." Ucap Kay melanjutkan ucapan Lily yang ditanggapi oleh anggukan.

"Itu sebabnya kau dan keluargaku berpikir bahwa aku melakukan upaya bunuh diri, bukan?" tanya Kay yang kini menoleh pada Lily.

"Sebenarnya kabar itu tersebar di sekolah."

"Apa?!" teriak Kay.

Dia melihat beberapa siswa yang berlatih basket melirik ke arah mereka karena teriakannya. Kay membersihkan tenggorokannya dan berbicara pada Lily dengan nada yang lebih tenang.

"Maksudmu semua orang berpikir bahwa aku bunuh diri karena kejadian penolakan itu?"

Lily mengangguk sebagai jawaban. Kay bersandar pada kursi sambil menatap lurus dengan tatapan kosong.

"Wah, aku tidak percaya ini. Ini lebih memalukan dari apa pun. Pantas saja mereka menatapku sambil berbisik-bisik ketika aku lewat." Ucap Kay sambil mengingat-ingat ketika ia menginjakkan kakinya di sekolah Alexa.

"Jangan dipikirkan, aku yakin semua orang akan lupa pada waktunya." Ujar Lily sambil menepuk tangan Kay.

Kay hanya mengangguk tapi pikirannya kembali pada malam ia menabrak Alexa. Dilihat dari reaksi Alexa, itu bukanlah orang yang akan melakukan bunuh diri. Kenapa semua orang berasumsi bahwa Alexa melakukan bunuh diri? Pikiran Kay terputus saat ponselnya berbunyi. Ia mengambil ponselnya dari saku dan melihat nama Adrian tertera pada layar. Tanpa menunggu lama Kay menjawab panggilan Adrian.

"Iya, kak Adrian?"

"Apa sekolahmu sudah selesai?" tanya Adrian yang sepertinya sedang berkendara.

"Oh iya, sudah selesai. Sebentar lagi aku dan Lily akan pulang."

"Kalau begitu kakak akan menjemputmu. Tunggu di sana, oke?"

Kay memutuskan panggilan setelah menjawab Adrian. Mereka bangkit dari kursi dan mengemasi sampah minuman dan makanan ringan dan menuruni beberapa anak tangga. Mereka berjalan keluar lapangan. Kay menangkap tatapan siswa lelaki yang berdiri di samping Miller dan siswa lelaki itu tersenyum padanya, yang dibalas senyuman dan anggukan dari Kay. Sedangkan Miller membuang muka ketika dia dan Lily melewatinya. Kay mengabaikannya dan berjalan keluar gedung olah raga.

Kay melihat mobil Adrian yang sudah terparkir. Dia dan Lily menghampiri mobil dan masuk ke dalamnya. Adrian melajukan mobil dan keluar dari sekolah sambil bertanya tentang sekolah pada Kay dan Lily. Setelah mengantarkan Lily pulang, Kay dan Adrian hanya diam di dalam mobil. Suasana mobil cukup hening namun itu bukanlah keheningan canggung. Kay menoleh ke arah Adrian ketika ia memanggilnya.

"Mulai hari ini aku akan mengantar jemputmu ke sekolah. Jika aku tidak sempat, ada sopir yang akan menjemputmu. Tolong jangan pergi seorang diri, oke?" ucap Adrian tanpa menoleh ke arahnya.

Kay menganggukkan kepalanya. Dia mengerti kenapa Adrian bersikap seperti itu, mungkin dia tidak ingin adiknya mendapatkan celaka lagi. Kay menyalakan musik diponselnya yang terhubung pada mobil. Musik akustik mulai mengisi ruang mobil dan mengiringi perjalanan mereka.

Adrian melirik adiknya yang kini menatap keluar jendela. Dia tampak tenang mendengarkan musik akustik yang diputarnya tapi tidak ada tanda kesedihan yang terpancar di wajah cantiknya seperti terakhir kalinya. Adrian berfokus kembali ke jalanan namun pikirannya tetap pada perubahan sikap adiknya. Mungkin karena amnesianya, batin Adrian.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di rumah. Adrian membukakan pintu untuk Alexa yang dibalas senyuman kecil dan mengucapkan terima kasih. Keduanya memasuki rumah dan melihat beberapa asisten rumah tangga menyapa mereka dengan anggukan sopan. Ketika mereka berpapasan dengan bu Rina, Adrian memperhatikan bahwa bu Rina menatap Alexa dan dirinya secara bergantian dengan wajah khawatir. Adrian melirik ke arah Alexa untuk melihat reaksinya. Rupanya bukan hanya Adrian yang merasa ada yang aneh dari sikap bu Rina, Alexa tampak mengerutkan keningnya sambil menatap bu Rina. Adrian mendorong Alexa dengan pelan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti dan Alexa pun mulai berjalan kembali namun tatapannya belum beralih dari bu Rina. Entah bagaimana Adrian merasakan suasana yang tegang sehingga dia merangkul bahu Alexa untuk mengalihkan tatapan Alexa. Alexa berjingkat terkejut setelah sentuhan Adrian lalu tubuhnya mulai rileks setelah mengetahui Adrian yang menyentuhnya. Itu adalah respon yang aneh bagi Adrian karena biasanya Alexa justru menempel pada Adrian seperti koala. Adrian mengantarkan Alexa ke kamarnya dan menatap adiknya yang menghilang di balik pintu kamar. Dia masih berdiri di depan pintu dengan pemikiran yang rumit. Kupikir aku harus berbicara dengan dokter Alexa tentang perilakunya, batin Adrian. Setelah mengambil keputusan itu, ia berbalik dan berjalan ke arah kamarnya.

Adrian berjalan menuruni tangga begitu ia mendapatkan panggilan dari asisten rumah tangga untuk makan malam. Ia melihat kedua orang tua dan adiknya sudah menunggunya di meja makan dengan obrolan-obrolan ringan. Adrian duduk dan mengalihkan pada makanan yang tersaji. Perutnya menggeram ketika mencium aroma makanan. Tanpa basa-basi, ia mengambil beberapa hidangan ke atas piringnya dan menikmatinya. Adrian melihat ayahnya sudah mengenakan jas lengkap untuk janji temu dengan pemilik jasa pengawal pribadi malam ini. Dia sendiri hanya menggunakan setelan jas hitam dengan kemeja putih tanpa dasi, sesuai dengan gayanya.

"Kak, apa kamu bekerja pada malam hari?" tanya Alexa dengan tatapan bingung.

Adrian tertawa pelan dan menggeleng.

"Tidak, aku dan papah hanya akan mengadakan pertemuan dengan klien."

Alexa mengangguk dengan mulutnya membentuk huruf o. Adrian tersenyum menatapnya namun ekspresi berubah dengan kebingungan begitu ia melihat adiknya memasukkan tomat dan kacang polong ke dalam mulutnya. Seingatnya, Alexa sangat membenci kacang polong dan tomat. Ia mengalihkan pandangannya pada kedua orang tuanya yang masih berbicara dengan tenang tanpa melihat keanehan pada Alexa. Dia menambahkan keanehan sikap Alexa untuk ditanyakan nanti.

Begitu makan malam selesai, dia dan ayahnya berpamitan dan meninggalkan adik dan ibunya yang mengantar mereka ke pintu depan. Sopir yang sudah menunggu kini membukakan pintu untuk Adrian dan ayahnya. Begitu keduanya masuk, sopir menjalankan mobil yang mengarah pada tujuan utama mereka malam ini. Jalanan tidak begitu ramai sehingga hanya sekitar setengah jam keduanya sudah sampai di sebuah hotel berbintang lima. Pak Erwin sengaja meminta janji temu di restoran yang berada di lantai 7 hotel ini. Adrian dan ayahnya masuk ke dalam lift lalu ia menekan tombol lift yang mengarah ke lantai 7.

"Di mana dua orang kepercayaan papah?" tanya Adrian.

"Mereka sudah menunggu di restoran." Ucap pak Haris singkat.

Bunyi lift berdenting dan pintu terbuka mengantarkan keduanya ke lantai 7. Adrian mengedarkan pandangannya untuk petunjuk keberadaan restoran. Setelah melihat petunjuk restoran, Adrian berjalan beriringan dengan ayahnya dan masuk ke dalam restoran. Beberapa tamu hotel atau pelanggan restoran nampak menikmati hidangan mereka. Suasana restoran tampak santai namun berkesan elegan dengan lampu yang agak redup menambahkan kesan menenangkan. Ayahnya menarik tangan Adrian dan mengarahkannya untuk berjalan ke sebuah meja yang rupanya sudah ditempati oleh dua orang milik ayahnya. Kedua orang tua itu berdiri dan menganggukkan kepala tanda hormat yang dibalas oleh Adrian dan ayahnya. Mereka berdua duduk di seberang kedua lelaki yang kini memakai setelan formal. Tak butuh waktu lama seorang pria berjalan menghampiri meja yang ditempati Adrian. Dia menjabat tangan keempat pria dengan senyuman. Untuk seorang pria berusia 53 tahun, dia memiliki cengkeraman tangan yang cukup kuat.

Adrian memanggil seorang pelayan dan mencatat pesanan kami yang hanya terdiri dari beberapa gelas minuman. Adrian dan ayahnya memesan kopi sedangkan ketiga lainnya memesan segelas sampanye.

"Jadi, pak Haris, apa yang kau butuhkan?" tanya pak Erwin setelah menyesap sampanye.

"Apakah kedua pegawaiku menjelaskan situasinya?" tanya ayahnya.

Pak Erwin menganggukkan kepalanya sebelum menjawab

"Iya, mereka melakukannya. Hanya saja aku hanya memiliki pengawal pribadi yang bertugas untuk melindungimu dan keluargamu. Aku meyakinkan padamu, mereka adalah orang-orang terbaik."

"Tapi menurut dua pegawaiku, kau memiliki anggota yang juga bisa menyelidiki dan menangkap pelaku ancaman, bukan?" tanya ayahnya dengan ekspresi bingung.

"Ah, iya. Itu adalah anggota khusus yang kumiliki. Mereka terdiri dari lima orang yang sayangnya ketiga orang sedang ditugaskan di luar negeri. Aku minta maaf." Jelas pak Erwin.

"Bagaimana dengan dua lainnya?" tanya Adrian bingung.

Pak Erwin diam dan hanya menatap Adrian dan pak Haris secara bergantian beberapa detik. Dia bersandar pada kursi sambil menyilangkan tangannya tanpa mematahkan tatapan yang membuat Adrian bingung dan cemas. Dia melirik ayahnya yang juga tampak bingung.

"Satu anggotaku bernama Daniel. Dia sibuk untuk mengurus klien terakhirnya dan juga menjaga rekannya yang berada dalam koma. Rekannya juga salah satu orangku yang paling aku handalkan dan kupercaya." Jelas pak Erwin.

Adrian melirik ayahnya yang terdiam. Keduanya tahu pak Erwin belum menyelesaikan ucapannya. Dia mendengar pak Erwin mendesah dan melipat tangannya di atas meja sambil menatap kami sebelum mengatakan sesuatu yang mengejutkan Adrian dan pak Haris.

"Rekannya bernama Kaylee. Dia koma setelah menghindari tabrakan dengan seorang gadis remaja bernama Alexa, anakmu."

Keheningan menyelimuti meja itu. Pak Erwin bersandar pada kursinya tanpa mematahkan pandangan. Ayahnya yang mendengar penjelasan pak Erwin menundukkan wajahnya dan meminta maaf. Pembicaraan masih terus berlanjut antara keduanya meski tampak canggung dan terkesan formal. Adrian tidak menangkap apa yang dibicarakan ayahnya dan pak Erwin. Matanya terfokus pada kopi hitam di hadapannya. Nama itu, itu tidak asing. Batin Adrian

Adrian dan ayahnya kembali ke rumah setelah kesepakatan yang dilakukan antara ayahnya dengan pak Erwin. Keduanya memasuki rumah yang tampak sepi, bagaimana tidak mereka kembali pada pukul 23.00 WIB. Ayahnya menepuk dan meremas pundaknya sebelum naik masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai satu. Adrian menaiki anak tangga bermaksud untuk ke kamarnya namun ia memutuskan untuk ke dapur untuk mengambil air putih. Begitu dia memasuki area dapur, ia menghentikan langkahnya pada saat melihat adiknya yang bersandar di tepi meja. Matanya tertuju pada langit malam yang tampak dari jendela dapur. Cahaya bulan menerangi wajahnya yang menunjukkan ketenangan. Adrian berdiri sambil menatap Alexa yang tenggelam pada pikirannya sendiri. Perlahan dia mendekati adiknya, masih menatap Alexa yang hanya menatap ke langit malam.

"Kau sudah pulang, kak? Bagaimana pertemuannya?" tanya Alexa tanpa menoleh ke arahnya.

Adrian mengangguk dan menyadari bahwa Alexa tidak melihatnya maka ia menjawab

"Semua lancar. Kenapa kau ada di sini?" tanya Adrian sambil bersandar pada tepi meja, seperti Alexa.

"Aku hanya tidak bisa tidur." Ucap Alexa sambil menatapnya.

Mereka mengalihkan pandangannya ke arah jendela tanpa mengatakan apa-apa. Sesekali Alexa menyesap minuman yang dipegangnya. Adrian menoleh dan menatap wajah Alexa. Tidak ada tanda kesedihan atau frustrasi di wajahnya. Biasanya adiknya hanya akan merengek manja jika dia merasa frustrasi atau akan melamun dengan wajah sendu bila dia sedih. Tapi adiknya yang sekarang hanya menampilkan wajah datar dan tenang. Adrian bahkan tidak bisa menebak apa yang dipikirkan adiknya tanpa bertanya, tidak seperti Alexa yang dulu. Pemikirannya terputus ketika ia mendengar Alexa membersihkan tenggorokannya lalu ia menyadari bahwa dirinya menatap Alexa begitu lama. Adrian mengerjapkan matanya dan melihat Alexa bergeser dengan canggung.

"Aku pikir aku akan kembali ke kamar dan tidur. Sebaiknya kau melakukan hal yang sama, kak." Ucap Alexa yang meletakkan gelasnya di wastafel.

"Baiklah, beristirahatlah." Kata Adrian yang berdiri tegak.

Alexa tersenyum sambil berjalan melewatinya untuk keluar dari dapur. Sebelum Alexa pergi, dia berbalik dan memanggil namanya. Adrian menoleh dan melihat adiknya berdiri di tengah pintu dapur.

"Selamat malam, kak Adrian." Ucapnya lembut.

"Selamat malam juga." Balas Adrian.

Dia melihat adiknya keluar dari dapur meninggalkan dirinya yang hanya berdiri termenung menatap tempat di mana Alexa berdiri. Matanya menoleh ke arah jendela dapur dan memandang bulan yang tampak jelas di langit malam. Ada yang mengatakan bahwa mata adalah jendela jiwa. Pada saat Adrian menatap mata Alexa, dia seperti menatap ke dalam jiwa lain dan itu bukan milik adiknya.