Kay duduk sambil menyilangkan tangannya dan bersandar pada sofa untuk menunggu Lily datang. Matanya masih mengantuk. Ia tidak bisa tidur karena berbicara dengan Daniel semalaman. Kay hampir saja melupakan bagaimana pekerjaannya setelah semua yang terjadi menimpanya.
"Jangan khawatir, jaksa Sebastian saat ini aman. Pak Erwin juga mengirimkan pengganti untuk menempatkan posisimu." Ujar Daniel meyakinkan.
"Bagaimana dengan kedua orang yang menabrakku? Apa kau sudah mengetahui identitas mereka?"
"Belum. Beruntung bagi kita bahwa mobil yang kau kendarai memiliki kamera depan dan belakang. Juga wajah kedua orang itu tertangkap di kamera."
"Benarkah? Bagaimana bisa?"
"Setelah menabrakmu, mereka turun dari mobil dan memeriksa tubuhmu. Sepertinya mereka berharap menemukan sosok jaksa Sebastian."
"Wow, aku tidak tahu mereka bisa sangat bodoh."
"Hahaha... Kebodohan mereka adalah keuntungan kita."
"Kabari aku perkembangannya. Dan tolong jangan melupakan nasibku ini."
"Tenang saja, lagi pula kami masih membutuhkanmu untuk bekerja."
Seharusnya Kay lebih mengkhawatirkan nasibnya sendiri tapi pekerjaan adalah sebagian hidupnya juga. Pikirannya terganggu ketika ia mendengar langkah kaki. Ketika ia membuka matanya, ia melihat seorang gadis yang memakai seragam sekolah berjalan menghampirinya. Itu adalah Lily.
Baiklah, ini saatnya aku berperan menjadi anak sekolah. Batin Kay.
"Maaf Lexa, aku agak terlambat." Ujar Lily yang kini duduk di sisi Kay.
"Tidak masalah. Lagi pula kak Adrian juga sepertinya belum siap."
Lily mengambil kedua tangan Kay dan menggenggamnya.
"Lexa, aku senang kau semakin membaik." Ucapnya dengan senyuman cerah.
Kay hanya balas tersenyum. Dia mengingatkannya pada Daniel. Kay dan Lily menoleh pada Adrian yang menyapa mereka. Mereka bertiga berjalan keluar rumah dan langsung masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan oleh sopir. Awalnya sopir bersikeras untuk mengantarkan mereka tapi Adrian menolaknya dan mengatakan bahwa dia yang akan mengantarkan Lily dan Kay ke sekolah. Kay menikmati perjalanan ke sekolah sambil mendengarkan Lily bercerita tentang situasi sekolah yang dilewatinya ketika ia di rawat di rumah sakit. Tak berselang lama, mobil pun memasuki gerbang sekolah dan terparkir bersama dengan beberapa mobil yang sudah terparkir rapi. Adrian turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Kay dan Lily. Mereka berdua pamit pada Adrian yang masih bersandar pada sisi mobil. Kay mengalihkan pandangannya dari Adrian ke arah sekolah. Pada saat itulah dia ingat bahwa dia akan menggantikan Alexa yang bersekolah di sekolah bertaraf internasional ini. Dan hal yang dipikirkan Kay adalah betapa celakanya dia.
Adrian masuk kembali ke dalam mobil setelah melihat adiknya menghilang ke dalam sekolah. Sebelum melajukan mobil, ia melakukan panggilan pada sekretarisnya tentang ketidakhadirannya di kantor. Setelah beberapa menit, ia kembali ke rumah. Adrian masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang kerja ayahnya namun langkahnya terhenti oleh bu Rina.
"Ada apa, bu Rina?" tanya Adrian yang tampak bingung.
"Begini, apa tuan Adrian melihat ada yang berbeda dengan nona Lexa?" tanya bu Rina tampak ragu-ragu.
"Iya, tentu saja. Itu karena Alexa beradaptasi dan mencoba mengenal kita dari awal. Dia amnesia, bu. Jadi wajar saja jika Alexa tidak seperti dirinya. Keadaan ini pasti membuatnya bingung."
"Tapi bukan itu yang ibu maksud, nona Alexa seperti..."
Ucapan bu Rina terputus ketika pak Haris memanggil nama Adrian dan menyuruhnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Adrian mengangguk dan meninggalkan bu Rina yang masih mengerutkan kening. Adrian melihat sekilas bu Rina yang masih berdiri dengan wajah khawatir dan meremas jemarinya. Dia mengerutkan kening pada sikap bu Rina. Ia ingin bertanya tapi saat ini ia harus melakukan pembicaraan pada ayahnya.
Adrian memasuki ruang kerja ayahnya dan melihat kedua orang tuanya serta dua orang kepercayaan ayahnya sudah duduk di sofa kulit di tengah ruangan. Kedua orang itu menoleh pada Adrian dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Adrian membalasnya dan duduk di seberang kedua orang itu.
"Nak, mereka belum menemukan pelakunya." Ujar pak Haris.
Adrian menghela nafas berat dan bersandar pada sofa. Adrian sudah merasa lelah karena pembicaraan yang berulang-ulang. Dia dan ayahnya tahu siapa yang membuat ancaman itu tetapi mereka membutuhkan bukti atau pelaku yang ditangkap. Sayangnya, pelaku ancaman selalu lolos.
"Apakah ada petunjuk apa pun?" tanya Adrian yang kini berbicara pada dua orang di seberangnya.
"Kami yakin bahwa itu adalah ulah dari orang-orang suruhan pak Yama tapi kami belum mendapatkan bukti-buktinya." Ujar salah seorang pria berkulit sawo matang.
Adrian mengangguk. Keadaan hening kembali sebelum ibu Haris mengajukan pertanyaan.
"Pah, apakah menurutmu kecelakaan yang terjadi pada Alexa juga ulah mereka? Maksudku anak kita tidak benar-benar melakukan tindakan bunuh diri."
Adrian melirik ke arah ayahnya yang hanya menatap meja.
"Mah, aku tidak tahu dan tidak yakin. Tapi sebelum kejadian itu, Alexa memiliki perubahan sikap, bukan? Dokter juga mengatakan bahwa amnesia yang dialaminya bukan hanya dari benturan, tetapi juga dari tekanan dan beban pikiran yang dialami Alexa."
Bahu ibu Haris tampak merosot mendengar penjelasan Adrian dan mengangguk lemah. Adrian tahu ibunya tidak bisa menerima bahwa Alexa mencoba bunuh diri. Adrian pun berpikir sama tapi ia tidak ingin mengatakan pada ibunya sampai Alexa ingat apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Adrian mulai berfokus kembali pada pembicaraan ayahnya dengan orang kepercayaan ayahnya tentang bukti-bukti kejahatan pak Yama. Pak Yama adalah seorang pengusaha yang menawari kerja sama dengan ayahnya. Namun ayahnya menolaknya karena tidak mempercayai pak Yama dan itu membuat pak Yama marah. Dia mengancam ayahnya meski dengan ancaman yang tersirat. Awalnya papahnya tidak memedulikannya tetapi beberapa minggu sebelum kecelakaan Alexa, orang tuanya mendapatkan surat ancaman. Hingga sekarang, surat ancaman itu masih datang, entah di rumah atau di kantor. Bukan hanya itu, percobaan pembunuhan juga sempat dialami oleh Adrian ketika mengendarai mobilnya menuju kantor.
Adrian menatap ibunya yang tampak cemas. Pandangannya beralih pada ayahnya yang tampak tenang tetapi matanya menunjukkan sebaliknya. Ia tahu bahwa orang tuanya memikirkan keselamatan keluarga, terutama Alexa.
"Sayang, apa sebaiknya kita tidak menyewa jasa bodyguard saja?" tanya ibunya.
Papahnya menganggukkan kepalanya, "Itu ide yang bagus. Bagaimana menurutmu, Nak?"
"Itu terserah, Pah. Tapi aku tidak ingin menggunakan satu."
"Tapi.."
"Itu keputusanku. Aku hanya akan menggunakan sopir pribadi tapi tidak untuk pengawal pribadi." Ujar Adrian memotong ucapan ibunya.
"Baiklah. Menurutmu bagaimana dengan Alexa?" tanya pak Haris.
"Tidak masalah. Hanya saja kupikir akan lebih baik mereka hanya memantau dari jarak tertentu. Kita tidak ingin Alexa merasa tidak nyaman dan kenyamanan adalah kunci kesembuhannya. Aku yang akan mengantar jemput Alexa. Bagaimana pun, dia juga tanggung jawabku." Jelas Adrian.
Papahnya tersenyum pada Adrian dan menganggukkan kepalanya. Kemudian ia menoleh pada dua orangnya.
"Apa kalian memiliki rekomendasi tertentu untuk pengawal pribadi yang terpercaya?" tanya papahnya.
"Iya, ada satu perusahaan pengawal pribadi yang cukup terkenal di kalangan atas. Namanya adalah Red Moon. CEO mereka bernama Erwin, yang merupakan mantan jenderal tentara angkatan darat. Kudengar pengawal pribadi yang dimilikinya bisa diandalkan." Ujar seorang pria berjaket jeans.
"Oh, benarkah? Kalau begitu bisakah kalian membuat janji temu?"
"Tentu saja, Pak. Aku akan menghubungi. Kapan Bapak ingin bertemu dengannya?"
"Secepatnya."
Pria berjaket jeans itu mengambil ponselnya dan menelepon orang yang dimaksud. Setelah panggilan berakhir, pria itu mengatakan bahwa pak Erwin bersedia bertemu di salah satu restoran yang ditentukan olehnya malam ini. Papahnya setuju dan dia meminta Adrian untuk menemaninya, yang disetujui oleh Adrian.
Sementara di sekolah Alexa, Kay merasa kepalanya terasa berdenyut. Dia baru saja melewati dua jam pelajaran kimia dan kepalanya terasa ingin meledak. Dia memijat pelipisnya dengan kedua tangannya. Sebuah tangan menepuk bahunya dengan pelan. Kay mendongak dan melihat Lily menatapnya khawatir.
"Lex, apa kau baik-baik saja?" bisik Lily.
"Aku baik-baik saja, hanya sakit kepala." Balas Kay dengan senyum lemas.
"Apa? Sakit kepala? Kalau begitu kita pergi ke ruang kesehatan sekarang." Ujar Lily tampak panik.
Lily hendak bangkit dari kursinya namun dihentikan oleh Kay yang menarik tangan Lily untuk kembali duduk.
"Tenanglah, tidak apa-apa. Ini hanya sakit kepala." Bisik Kay, yang tidak mengerti kenapa Lily bisa sepanik itu.
"Kak Adrian bilang padaku, jika kamu mengalami sakit kepala ada kemungkinan itu dari efek amnesiamu." Bisik Lily sambil menatap mata Kay.
Kay berkedip hingga akhirnya menyadari bahwa Lily, seperti keluarga Alexa, berpikir bahwa Alexa mengalami amnesia. Padahal aku hanya sakit kepala karena pelajaran kimia, batin Kay.
"Ini bukan apa-apa. Mungkin karena aku kurang tidur dan telat makan. Kapan jam istirahat?"
"Oh, begitu. Aku pikir terjadi apa-apa denganmu. Istirahat lima menit lagi, bersabarlah."
Kay menghela nafas lalu menganggukkan kepalanya. Ia bersandar pada kursi dan memperhatikan guru wanita yang mulai menjelaskan perhitungan atom di papan tulis dengan tatapan kosong.
Kenapa aku harus masuk ke tubuh seorang gadis yang bersekolah di sekolah mahal ini? Aku harus memeras otakku untuk pelajaran yang pernah kupelajari 14 tahun yang lalu. Batin Kay.
Satu hal yang diyakini oleh Kay adalah entah 14 tahun yang lalu atau sekarang, ia masih bodoh pada pelajaran kimia.
Bel istirahat berbunyi. Kay memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas dengan tergesa-gesa. Ketika ia melihat Lily sudah berdiri dari kursi, Kay berdiri dan menarik tangan Lily untuk keluar dari kelas. Kay mendesah lega ketika angin dingin menerpa wajahnya. Ia mendongak ke arah langit dan melihat awan mendung yang mulai menutupi matahari. Ah, hujan akan turun, batin Kay.
Kay dan Lily berjalan berdampingan dengan Lily menjelaskan tata letak sekolah pada Kay yang hanya menganggukkan kepalanya. Kepalanya masih berdenyut tetapi menghirup udara segar membantu meringankan sedikit. Mereka berdua berjalan ke arah perpustakaan karena Lily ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya. Kay meninggalkan Lily yang mengantre di depan meja informasi setelah ia memberitahu Lily bahwa dia ingin berkeliling. Kay memperhatikan perpustakaan sekolah ini yang cukup nyaman. Beberapa rak buku tersusun rapi. Terdapat beberapa kursi baca yang menghadap ke arah jendela. Tidak seperti perpustakaan sekolah umum yang menggunakan kursi dan meja kayu, sekolah ini menyediakan beberapa sofa yang melingkari meja persegi panjang.
Tentu saja, ini sekolah mahal, apa yang kau harapkan? Batin Kay.
Kay mulai mendekati rak buku dengan tulisan 'Bisnis' yang tertera di bagian atas rak. Ia melihat beberapa buku yang tersusun rapi dan menggerakkan jemarinya untuk memindai judul buku. Dia sibuk memindai judul buku-buku pada rak sehingga tidak memperhatikan seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Tanpa sengaja, Kay menabrak orang itu yang kini jatuh tersungkur. Dia menghisap nafas terkejut dan berlutut untuk membantu salah satu siswa itu.
"Astaga, apa kau baik-baik saja? Aku minta maaf karena tidak melihatmu." Ujar Kay yang membungkuk di hadapan siswa lelaki itu.
Siswa lelaki itu menoleh ke arah Kay dan menatapnya. Siswa itu memiliki mata cokelat tua yang dalam dengan alis tebal. Hidungnya mancung dan bibirnya yang agak tebal dengan warna merah alami menambah kesan tampan padanya. Kay memperhatikan alisnya berkerut setelah melihat bahwa dirinyalah yang menabraknya.
Dia mendengus kasar dan membuat muka.
"Tentu saja harus kamu." Ucapnya pelan tetapi Kay dapat mendengarnya.
"Biar aku membantumu." Ucap Kay dengan sopan sambil mengulurkan tangannya.
"Tidak perlu." Ucap siswa lelaki itu sambil berusaha berdiri sambil menepis tangan Kay.
Kay yang mendapat perlakuan seperti itu hanya mengangkat alisnya.
"Aku benar-benar minta maaf karena tidak melihatmu tadi." Jelas Kay.
Siswa lelaki itu hanya menatap Kay dengan tatapan tajam sebelum berkata
"Apa pun. Menyingkir sajalah dari jalanku." Ucapnya ketus.
"Hei, aku sudah bilang aku minta maaf. Tidak perlu bersikap seperti bajingan."
Siswa lelaki itu sepertinya terkejut dengan ucapan Kay. Dia membuka mulutnya untuk berbicara tetapi Lily datang menghampiri mereka.
"Di sini rupanya, maaf aku..." ucapannya terputus ketika melihat Kay dengan siswa lelaki itu.
"Hai, Miller. Senang bertemu denganmu." Ucap Lily dingin lalu menarik tangan Kay dan membawanya keluar dari perpustakaan.
Kay menatap Lily dengan wajah bingung sebelum akhirnya dia menyadari ucapan Lily.
Miller? Anak lelaki itu yang bernama Miller? Oh tidak, apa yang kulakukan? Aku baru saja memanggil dia bajingan dengan menggunakan tubuh Alexa. Teriak Kay dalam batin.
Lily terus menarik tangan Kay menuju ke suatu tempat tanpa memperhatikan kegelisahan Kay. Kay duduk di sebuah kursi dan menyadari bahwa Lily menariknya ke kantin.
"Tunggu saja di sini, aku akan membawa makanan untuk kita berdua." Ucap Lily sambil tersenyum lembut.
Kay hanya mengangguk dan memperhatikan Lily yang berjalan menuju konter makanan. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Dia benar-benar kacau. Mungkin setelah ini, Alexa akan menjadi jomblo karena perbuatannya.
Oh, gadis yang malang. Aku benar-benar mengacaukannya. Batin Kay.
Beberapa menit kemudian Lily membawa dua nampan makanan yang Kay cukup terkesan karena Lily tampak seperti pelayan restoran padang. Mereka makan dengan tenang sebelum akhirnya Kay memutuskan untuk menanyakan sesuatu.
"Ehm..Lily, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu saja." Jawabnya tanpa mendongak.
"Jadi, dia itu Miller. Dan apa dia dan aku...kau tahu? Memiliki semacam hubungan?"
Lily berhenti mengunyah dan menatap Kay. Ia menurunkan pandangannya seolah memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Kay. Kay mengerutkan alisnya dan menatap Lily dengan berspekulasi bahwa Lily menutupi sesuatu. Kay mendengar Lily mendesah dan menatap mata Kay, yang terakhir hanya mengangkat alis.
"Ehm...begini. Aku akan menjelaskannya nanti setelah kita pulang sekolah."
"Kenapa?" tanya Kay sambil menyandarkan tubuhnya ke depan.
"Kupikir ini adalah cerita panjang dan aku yakin jam istirahat tidak akan cukup." Jelas Lily yang sepertinya puas dengan jawabannya sendiri.
Kay menatap Lily dengan tatapan bosan. Dia tahu Lily menutupi sesuatu, katakanlah ini adalah pengalamannya ketika menginterogasi seseorang. Lily bergeser di kursinya setelah Kay menatapnya. Ia pun menundukkan kepalanya. Kay tahu bahwa Lily tidak nyaman jadi dia hanya menghela nafas.
"Baiklah, tapi aku ingin kau menceritakan semuanya dengan jujur." Ujar Kay.
Lily menghembuskan nafas lega dan mendongak pada Kay.
"Tentu saja." Jawabnya sambil tersenyum cerah.
Mereka menghabiskan makan siang dengan obrolan ringan. Setelah makanan habis, mereka memutuskan kembali ke kelas dengan Lily berjanji bahwa dia akan mengajak Kay berkeliling sekolah setelah boot walker-nya di lepas. Kay hampir melupakan bagian itu karena yang dipikirkannya saat ini adalah bagaimana menyiapkan otak dan kewarasannya untuk melalui pelajaran sekolah menengah atas.