Mori terlihat takjub melihat sebuah bangunan istana bergaya Melayu lama yang sangat besar berdiri megah di hadapannya. Istana itu terlihat berwarna hitam yang mungkin karena malam, bunga lawang emas terlihat menghiasi pintu, ukiran pucuk rebung dan pakis emas juga menghiasi setiap tiang-tiang istana empat lantai yang sangat megah itu.
"Ini di mana? Ada istana sebesar dan semegah ini?!" kagum Mori ketika berjalan dengan kepala yang sibuk menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan istana.
"Ini tempat tinggal saya." Sahut Idris ketika mereka berjalan beriringan.
"Apa?! Tuan Idris tinggal di sini?! Hua... luar biasa!!"
"Ini hal biasa bagi saya, karena dari baru lahir sudah tinggal di sini." Komentar Idris dengan senyuman ramah.
Mori sedikit memanyunkan bibirnya. "Tapi ini bukan hal biasa bagi saya!"
"Betul." Sambut Vino.
"Itu karena kita hanya manusia biasa!" tambah Miranda.
Mori melihat telinga Harimau di kepala Miranda. "Manusia biasa?"
Miranda mengerutkan dahi melihat arah tatapan mata Mori kepada telinga Cindakunya. "Maksudku itu, status kita. Mengerti?!"
"Iya."
Pintu masuk utama berwarna hitam berdaun dua, dengan ukiran bunga lawang emas itu terbuka perlahan. Mori yang melihat tidak ada orang yang membuka pintu itu menjadi bertanya-tanya bagaimana pintu itu bisa terbuka sendiri.
Idris masuk terlebih dahulu lalu diikuti Miranda, Mori, Hanas dan Vino. Begitu semuanya masuk, pintu kembali tertutup sendiri. Mori menoleh ke belakang ketika pintu tertutup tanpa ada orang yang terlihat menutupnya.
Pada bagian dalam istana walau masih lorong yang dilewati, Mori melihat lebih banyak lagi hiasan berupa ukiran-ukiran emas, bunga beserta vas besar yang juga dari emas . Hal itu dapat terlihat dengan jelas karena lampu penerangan yang ada di dalam istana. Cahaya lampu kristal di langit-langit dan dinding membuat pantulan cahaya keemasan dari ukiran-ukiran serta hiasan lain yang terbuat dari emas membuat kesan elegan pada lorong istana.
Setelah melewati lorong yang cukup panjang, rombongan kecil itu akhirnya sampai pada sebuah ruangan yang sangat luas. Ruangan yang sangat luas seperti aula dengan tiang-tiang besar dilengkapi hiasan ukiran emas sebagai penyangga langit-langit ruangan yang tinggi.
Langit-langit ruangan itu pada bagian tengahnya diberi hiasan kain-kain berwarna kuning berlipit-lipit membentuk persegi panjang dalam tiga lapis, lampu-lampu gantung dari kristal yang sangat indah menambah kesan mewah ruangan itu.
Sebelum memasuki ruangan itu, setiap tamu harus menaiki tiga anak tangga. Pada sisi kiri dan kanan tangga terdapat pagar setinggi satu meter yang juga dihiasi ukiran emas sebagai pembatas ruangan dengan lorong istana. Di kiri dan kanan tangga itu pula terdapat masing-masing dua buah gong tembaga besar.
Karpet kuning terbentang dari tangga teratas sampai pada ujung ruangan yang sangat besar itu. Pada ujung ruangan terlihat lima anak tangga membentuk setengah lingkaran yang juga dihiasi ukiran emas. Di kiri dan kanannya yang berjarak dua meter dari tangga terdapat dua buah kursi sepanjang satu meter dengan ukiran emas pula dan alas yang empuk.
Di atas tangga terlihat singgasana yang sungguh megah berdiri. Singgasana itu hampir keseluruhan materialnya terbuat dari emas, kecuali alas duduknya yang sangat empuk dan dua bantal untuk tambahan pada sandaran singgasana.
"WAH!!!" kagum Mori melihat ruangan itu. Mori baru melihat ruang singgasana istana seperti itu dari visual istana lama pada masa kejayaan Kesultanan lima ratus tahun lalu. "Kita akan ke ruangan itu?"
"Ekspresi yang sangat menarik!" Komentar Vino melihat kehebohan Mori.
Miranda menoleh sekilas kepada Vino. "Menarik, karena sama noraknya dengan kamu."
"Tidak apa-apa. Itu namanya Mori sangat manusiawi." Sahut Idris.
"Ahahahaha..." Mori tiba-tiba tertawa lepas sambil menunjuk Miranda. "Berarti Miranda tidak manusiawi! Hehehe..."
"Mori!" jerit manja Miranda.
"Oh. Ya ampun, merdu sekali suara jeritan manja Miranda! Aku ingin selalu mendengarnya dalam perubahan setengah manusia Cindaku, Miranda! Kalau bisa setiap hari!" seru Vino sambil menangkupkan kedua telapak tangannya dan tersenyum ceria.
"Bermimpilah di neraka! Makhluk mitos sungguhan!" sahut Miranda.
"Sudah, sudah. Jangan berdebat." Ucap Idris santai diiringi senyuman ramah berusaha membuat Miranda, Vino dan Mori untuk tenang. Setelah itu sambungnya kepada Mori ."Apa kamu mau masuk ke ruangan itu Mori?"
Mori tentu saja sangat tertarik memasuki ruangan megah itu, tapi Mori segera teringat jika ruangan itu bukan tempat sembarangan untuk dimasuki. "Kalau diizinkan dan kalau memang ada keperluan kita di sana tuan."
"Sebenarnya kita tidak ada keperluan di sana, kita akan minum teh di ruang tamu. Tapi kalau kamu mau masuk boleh saja."
"Tidak usah tuan. Kita ke tempat tujuan utama tuan mengundang kami saja."
Idris tersenyum lebar. "Baiklah. Mari kita minum teh sambil membicarakan tentang status barumu, ras Garuda seperti Vino dan juga ras makhluk mitos lainnya!"
***
Dalam sebuah ruangan yang juga besar, namun tidak sebesar ruang singgasana yang sangat megah dan berkali lipat luasnya dari ruangan yang juga bergaya Melayu lama. Meja bulat setinggi satu meter, dengan beberapa bangku yang juga bulat, tidak lebih tinggi dari batas lutut.
Di ruangan itulah kini duduk bersama Miranda, Idris, Hanas, Mori dan Vino menikmati teh serta camilan. Miranda sangat menyukai cookies coklat dengan taburan butiran coklat yang dihidangkan Hanas. Sementara Mori sangat suka dengan brownies coklat.
"Aku sangat heran, kenapa anak-anak sangat suka dengan coklat yang manis-manis?!" gumam Vino yang sedang menyesap teh sambil memperhatikan Miranda dan Mori yang sangat menikmati kue mereka.
"Bukan hanya anak-anak. Saya juga suka, karena itulah Hanas menyiapkannya." Sahut Idris lalu menikmati gigitannya pada brownies.
Vino berdehem karena sudah salah bicara kali ini.
Miranda dan Mori tersenyum penuh kemenangan mendengar perkataan Idris karena mereka tidak perlu berdebat dengan Vino yang merasa dirinya paling dewasa.
Mori melirik Idris sekilas, kagum karena Vino dari ras Garuda sangat menghormatinya.
"Baiklah. Mari kita mulai pembicaraan kita sambil menikmati hidangan ini." Idris membuka pembicaraan setelah menikmati sepotong brownies.
Miranda dan Vino mengangguk dan menjawab bersamaan. "Baik tuan!"
Mori melihat Miranda dan Vino bergantian, yang terlihat sangat kompak oleh Mori. Tapi kemudian Mori mengangguk sekali dan terlihat canggung.
"Pertama-tama. Vino akan memperkenalkan Mori dengan ras Garuda." Ucap Idris.
"Baik tuan." Vino mengangguk sekali. Ia meneguk tehnya sekali sebelum memulai ceritanya. "Ras Garuda adalah salah satu makhluk dari mitologi Indonesia yang terkenal dengan bentuknya yang sangat besar, menyerupai burung Garuda atau setengah Garuda dengan tubuh dan tangan manusia, namun memiliki sayap di punggung, kepala Garuda serta kaki burung. Semua itu memang benar adanya, seperti yang terlihat. Selain itu, Garuda juga diceritakan gemar membuat kekacauan dan menangkap manusia sebagai makanannya. Tapi sebenarnya ras Garuda tidak pernah melakukan hal itu, menangkap manusia untuk dijadikan makanan! Yang sebenarnya, adalah ras Garuda memang gemar menangkap manusia lalu menjatuhkannya dari ketinggian jika membuat masalah dengan Garuda!"
"Itulah yang kamu lakukan kepadaku tadi!" komentar Mori.
Vino tertawa kecil. "Itu sangat menyenangkan. Kebiasaan lama tidak bisa diubah. Oh ya, hampir lupa. Asal kamu tahu Mori, ras Garuda sepertiku bukanlah manusia biasa seperti kamu dan Miranda! Ras Garuda memiliki umur panjang dan sangat sedikit. Keberadaan kami tidak pernah bertambah. Kalau ada yang gugur dari kami, barulah Garuda selanjutnya muncul. Selama rentang waktu itu, jika kami tidak memiliki keturunan, maka bisa dipastikan tidak akan ada Garuda baru yang muncul. Tidak seperti kalian, yang bebas menerima warisan kekuatan Cindaku kapan saja tanpa menunggu pemilik sebelumnya meninggal."