Seperti perkataannya pada Miranda sebelum pulang sekolah, Mori membuka laci lemari buku yang menyimpan buku khusus seperti album foto tahunan dari SD, SMP dan SMA-nya di tahun kedua atau kenangan menarik lainnya semasa sekolah dikumpulkan dalam satu laci itu.
Album foto masa SD dan SMP pada akhir tahun dikeluarkan oleh Mori yang segera mencari foto kelasnya. Ketika ketemu foto bersama teman satu kelasnya, Mori lalu mencari foto David. Tidak sulit mencari foto David karena foto disusun berdasarkan absen abjad nama.
Dalam keterangan yang tertulis di bagian bawah foto David, selain keterangan nama lengkap, tempat, tanggal, bulan dan tahun lahir juga tertulis nama orang tua. Lalu ada juga tertulis keterangan cita-cita.
Mori mencatat nama orang tua David pada sebuah buku catatan asal-asalan yang berisi bermacam hal di luar pelajarannya dan sekolah. Setelah itu Mori kembali membalik album foto pada bagian foto-foto siswa dan siswi yang berprestasi, karena Mori melihat cita-cita David adalah pemain bola profesional.
Selain karena cita-cita itu, Mori ingat pernah melihat David masuk berita lokal karena tim bolanya berhasil menang final sepak bola antar kota, David terlihat berfoto dengan memegang medali dan dirangkul oleh seorang laki-laki yang tak pernah dilihat Mori selama satu sekolah dengan David. Foto itu dipasang dalam album kenangan di bagian siswa dan siswi berprestasi.
"Apa mungkin orang ini ayah atau keluarganya?" gumam Mori ketika melihat foto David dan seorang laki-laki dewasa yang berfoto bersamanya.
Mori berdiri dari duduknya di lantai kamar yang masih menghadap lemari bukunya. Remaja itu lalu berlari kecil keluar dari kamarnya. Sesampainya di ruang keluarga, Mori segera duduk di samping ayahnya yang masih menonton film dokumenter.
"Mana ibu, yah?" tanya Mori basa basi.
Ayah Mori menoleh melihat anaknya yang baru duduk di dekatnya dengan membawa sesuatu. "Bantu adikmu buat PR. Ada apa? Minta tunjukkan PR juga bawa-bawa buku?"
"Bukan." Jawab Mori cepat, ia lalu memperlihatkan buku yang dipegangnya kepada ayahnya. "Ayah ingat teman Mori yang dulu pernah ikut klub bola dan juara?"
Ayah Mori sebagai penggemar berat bola, mengangguk cepat. "Tentu saja ingat! Dia jago main bolanya, nggak seperti kamu!"
Bahu Mori merosot jatuh mendengar perkataan ayahnya. "Kemampuan dan kelebihan orang itu kan beda-beda, ayah!"
Ayah Mori tertawa lepas mendengar dan melihat ekspresi wajah anaknya. "Tapi kamu kan tetap jagoan ayah nomor satu! Juara lari cepat seratus meter! Tapi kenapa ya, kamu nggak bisa main bola?"
"Nggak minat!" sahut Mori sambil membuang muka.
Ayah Mori kembali tertawa, mengusap-usap kepala anaknya. "Eh, tadi kamu mau apa tanya soal si David?"
"Ayah kenal sama ayahnya?"
Ayah Mori kembali menghadap ke depan. "Ayah tak kenal secara langsung. Tapi pernah bertemu beberapa kali dalam pertemuan rapat orang tua waktu kalian SD dan SMP."
"Apa yang berfoto bersama David ini ayahnya?" Mori memperlihatkan foto David bersama laki-laki dewasa yang ada dalam album sekolah masa ia SMP.
Ayah Mori mengambil album tahunan itu dari tangan Mori untuk melihat lebih jelas. Setelah memperhatikan dengan jelas wajah laki-laki dewasa yang berfoto dengan David, ayah Mori menyandarkan punggungnya dan menarik nafas yang dalam. Ayah Mori lalu mengangguk sekali. "Ya, benar ayahnya. Tapi ayah harap, kamu jangan terlalu akrab dengan David!"
Mori menatap ayahnya dengan tatapan penuh curiga, walau sejak awal Mori memang tidak pernah berteman baik dengan David. "Kebetulan Mori memang tak pernah berteman dengan David. Tapi... kenapa ayah menyuruh Mori jangan terlalu akrab dengan David?"
"Yang membuat kakekmu melepas kemampuannya dan menurunkannya padamu sejak kecil itu adalah karena laki-laki itu!"
"EH." Mori terkejut. "Maksud ayah bagaimana...?"
Ayah Mori kembali menoleh dan menatap langsung wajah anaknya. "Ayah tidak tahu persis permasalahannya, karena tak pernah memiliki kemampuan 'itu', tapi ayah dan ibumu tahu betul, jika kakekmu menitipkan pesan setelah menurunkan kemampuannya padamu. Pesan itu tak lain untuk melarang berteman akrab dengan David sebelum diketahui jika David juga mewarisi kemampuan ayahnya atau tidak! Karena jika sampai kalian terlalu berteman akrab, hal itu akan sangat menyakitkan jika ternyata David mewarisi kemampuan orang tuanya ketika masa pubertasnya tiba!"
Mori terdiam mendengar perkataan ayahnya. "Memangnya ayah David pemilik kemampuan apa, ayah?!"
Ayah Mori menggeleng sekali. "Dari pertanyaanmu yang tiba-tiba ini, ayah bisa menebak pasti terjadi sesuatu antara kamu dan David?!"
"Tak secara langsung ayah. Kebetulan kami tak berteman akrab, hanya saja kemarin secara tidak sengaja kami bersentuhan di lorong kelas dan Mori merasakan ada aura yang aneh dari David!"
"Sebaiknya hari Sabtu ini, tiga hari lagi kamu bermalam di tempat kakek untuk membicarakan masalah kalian. Ayah tidak tahu apa-apa, tapi akan ayah temani kamu ke tempat kakek. Walau tidak tahu apa-apa, ayah tetap orang tua yang bertanggung jawab menjaga keselamatan kamu!"
Mori mengangguk tegas.
***
Sesuai perkataan ayahnya yang meminta untuk tidak mengakrabkan diri dengan David pada pembicaraan mereka malam harinya, kini Mori memilih diam dan menahan diri untuk tidak berdebat dengan David.
Namun saat Mori diam dan menghindari masalah dengan David, guru malah memberikan tugas kelompok yang beranggotakan masing-masing empat orang berdasarkan tempat duduk.
Sialnya karena duduk berseberangan, mereka justru menjadi satu kelompok.
"Bisa Perang Dunia, nih!" sindir teman sekelas yang justru menertawakan kelompok mereka yang terdiri dari Mori, Alysha, David dan Rian yang satu meja.
Karena tidak tahan olok-olokan temannya, Mori keceplosan berkata. "Hei Rian, kamu punya sarung tangan bola kan sebagai kiper?"
"Punya. Kenapa?" Rian yang duduk berseberangan langsung dengan Alysha balik bertanya.
"Suruh temanmu itu pakai biar tak menyentuhku nanti!"
David yang mendengar perkataan Mori langsung naik darah, David berdiri dengan cepat. "Siapa yang mau menyentuhmu?!"
Guru kelas yang mendengar justru menjadi salah paham. "Hei! Apa kalian punya hubungan terlarang?! Hal itu tidak bolehkan anak-anak! Kita itu diciptakan berpasang-pasangan, tapi bukan pasangan sejenis!"
Rian tertunduk dan mengusap kepalanya sekali sambil bergumam. "Ke mana pembicaraan guru ini?"
Sementara itu, teman sekelas lain yang tahu hubungan buruk antara David dan Mori hanya bisa tertawa, andai tiba-tiba terjadi hubungan terlarang pada David dan Mori.
Tapi kesalahpahaman guru itu cukup bisa meredam amarah David.
Mereka lalu saling menyatukan meja untuk membuat tugas kelompok dalam diam. Selama dua jam pelajaran, tugas kelompok itu berjalan damai demi nilai mereka masing-masing.
Ketika bel berbunyi dan mereka harus mengumpulkan tugas, maka tugas kelompok hari itu pun berakhir dan akan disambung pada pertemuan berikutnya. Lalu pada saat menggeser meja kembali ke tempat semula, tanpa sengaja David menyentuh jari tangan kiri Mori ketika menarik ujung mejanya.
Mori cepat menarik tangannya yang tersentuh tanpa sengaja oleh David lalu buru-buru menarik mejanya kembali, karena melihat ekspresi aneh dari mata David setelah menyentuhnya tanpa sengaja.
Dalam diam Mori kembali duduk dan ia merasa aneh karena tumben juga David diam, padahal sebelum mulai tadi ia sudah memperingatkan untuk tidak menyentuhnya. [Apa dia tak merasa menyentuh jariku? Kalau itu benar syukurlah!]
Mori melirik ke arah David dan tanpa sengaja ia melihat mata David juga memperhatikan dirinya dari jauh. Mereka saling bertatapan meski hanya sedetik. Mori menjadi berkeringat dingin, ia segera permisi keluar namun mata David terus mengikuti gerakan Mori.
[Apa dia menyadari sesuatu? Gawat kalau benar, tapi...] Mori mengusap cincin pemberian Idris. [Masih terpasang cincin pemberian Tuan Idris yang bisa menekan auraku!]