Kanza sedang menikmati sarapan paginya di meja makan, di temani Gio yang juga sudah ada disana. Sedangkan Putri masih terlihat sibuk berdandan di kamarnya. Kedatangan Gio bermaksud untuk mengajak Putri ke kantor sama-sama.
"Gio... Lo udah jadian ya sama Putri?" Tanya Kanza santai sembari menyuapkan potongan roti isi ke mulutnya.
"Belum," sahut Gio tersenyum malu seraya menggeleng pelan.
"Bukannya gue mau kepo nih, ya? Tapi lo beberan suka sama Putri?" Kini mata Kanza memberi perhatian penuh dengan mulut masih sibuk mengunyah makanan.
"Kenapa? Lo cemburu?" Gio malah balik bertanya dengan nada bercanda.
Kanza memutar bola mata malas. "Ngapain juga gue cemburu sama lo, kita kan udah sahabatan dari kecil, dan enggak mungkin--"
"Kanza, gimana kalo kenyataanya, selama ini gue punya perasan enggak biasa ke lo?" Potong Gio cepat sebelum Kanza berhasil menyelesaikan kalimatnya, kemudian tangannya terulur menggenggam satu tangan Kanza di atas meja. Matanya menatap serius, membuat Kanza mematung di tempat.
"Maksud lo apa?" Kanza berusaha menarik tangannya, tapi Gio menahannya.
"Jadi, apa kurang jelas semua perhatian gue selama ini ke lo?" Kata Gio, matanya menatap Kanza lekat-lekat.
Kanza menggeleng bingung. "Lo ngomong apa sih, mendadak ngomong gini, becanda lo enggak lucu, deh." Dengus Kanza mulai kesal.
Gio menghela nafas berat. "Coba lihat baik-baik, apa gue kelihatan lagi becanda?"
Kanza tak pernah menyangka jika Gio akan bicara seserius ini padanya, hatinya gusar, dan tak tahu harus menanggapinya seperti apa. "Ya... Tapi kan... Kita--"
"Gue... Udah rapih nih, berangkat, yuk?" Seru Putri dari dalam kamar. Di saat yang bersamaan, Kanza segera menarik tangannya dari genggaman tangan Gio. Kanza masih menatap Gio tidak percaya.
"Loh... Kalian kenapa tiba-tiba diem-dieman gitu? Hem... Pasti kalian abis ngomongin gue, ya?" Seloroh Putri dengan wajah cerianya. Kini gadis itu sudah ada di antara mereka.
"Enggak kok, kita enggak lagi ngomongin lo, kok." Sahut Kanza dengan wajah tegang.
Putri tertawa cekikikan. "Yaelah... Gue juga becanda kali. Kenapa muka lo tegang gitu?" Dada Kanza mencelos, ia masih tidak habis pikir dengan perkataan Gio padanya. Bagaimana jika Putri tahu semuanya?
"Put... Mending kita cabut sekarang, yuk. daripada telat, lo ada meeting pagi kan hari ini?" Kata Gio seraya tersenyum, ia mencoba mengalihkan perhatian dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Ya... Tapi, gue mau sarapan dulu sebentar." Putri menatap ke arah Gio yang kini sudah beranjak berdiri.
"Udah tenang aja, gue selalu sedia sarapan kok di mobil, kayaknya cukup deh buat kita berdua." Kata Gio lagi. Sedangkan Kanza hanya terdiam di tempat.
Wajah Putri sekita merona merah. "Ih... Pangeran so sweet banget, sih. Yaudah nanti aku yang suapin kamu yach... Yach...? Kan kamu nyetir?" Kata Putri antusias.
Gio melirik ke arah Kanza sebentar, tapi gadis itu menghindari kontak mata dengannya."Ya... Boleh." Kata Gio lembut sembari mengalihkan pandangannya pada Putri.
"Yaudah... Kanza, gue cabut yach? Bye..." Pamit Putri riang, kemudian menautkan tangannya di lengan Gio.
"Bye..." Balas Kanza seraya tersenyum tipis, ia melambaikan tangannya sampai keduanya menghilang di balik pintu.
***
Setelah Putri berangkat kerja, keadaan kembali sepi, Kanza memutuskan untuk kembali ke kamar. Seperti biasanya, Kanza menyibukkan dirinya di depan layar laptopnya. Detik berikutnya ponselnya bergetar. Tadinya, ia ingin mengabaikannya. Tapi ponselnya tidak berhenti bergetar dan akhirnya membuatnya terusik. Dengan terpaksa ia menarik kakinya menuju nakas dan meraih benda pipih itu di sana.
Kanza menatap layar, sebaris nama yang sangat familiar sedang melakukan panggilan. Rega.
"Halo..." Sahut Kanza setelah berhasil menekan tombol hijau di layar.
"Hei... Siang ini kamu ada waktu enggak?"
Kanza berjalan kembali ke arah laptopnya yang ada di atas ranjang, ia menatap layarnya dan wajahnya tampak menimang, pekerjaannya menulis artikel sudah hampir selesai. "Ada kok... Kenapa?" Jawabnya kemudian pada Rega.
Rega tersenyum senang. "Enggak, aku kangen aja sama kamu dan pingin ngajakin makan siang. Kamu mau enggak? Biar aku jemput yach, ke kost'an kamu. Oke deal aku jemput sekarang."
"Eh... Tunggu... Saya kan belum bilang setuju."
Seperti biasanya, Rega selalu saja mematikan sambungan teleponnya sebelum mendengar jawaban dari Kanza, cowok itu suka sekali memaksakan kehendak.
"Eh... Malah main matiin aja, dasar suka seenak jidatnya aja. Ini namanya pemaksaan. Huft..." Dengus Kanza kesal.
Kanza masih berdiri di depan cermin saat klakson mobil Rega terdengar sudah berada di pelataran kost. Ia sudah tampak rapi dengan setelan casual-nya, merapikan rambutnya sebentar, lalu buru-buru berjalan keluar kamar.
Tampak Rega yang sedang menunggunya, berdiri di depan kap mobilnya. "Udah siap?" Tanya Rega saat Kanza sudah mencapai teras. Gadis itu hanya balas mengangguk.
"Oke... Yuk!" Rega bersiap membukakan pintu mobil untuk Kanza.
Kanza segera berjalan menghampirinya dan masuk ke dalam mobil. Rega berlari memutar dan duduk di belakang kemudi.
***
Kanza tidak menyangka, jika hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan baginya. Jujur saja, di dekat Rega, ia merasa jiwanya yang telah mati kembali hidup, ia bisa tertawa lepas lagi, dan yang paling spesial, hatinya bisa kembali merasakan berbunga-bunga.
Seharian ini, ternyata Rega tidak hanya mengajaknya makan siang, tapi cowok itu juga menyempatkan waktu untuk menemani Kanza berjalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan yang sedang mereka kunjungi. Rega mengajaknya memainkan beberapa permainan di arena permainan, setelah itu, mereka mampir ke kedai es krim dan menikmati es krim kesukaannya, vanila. Kanza sangat senang hingga tanpa terasa waktu sudah menjelang malam.
"Makasih, ya." Ujar Kanza ragu-ragu, mencoba memecah keheningan yang terjadi. Keduanya berada dalam mobil yang sedang melaju pulang.
"Makasih untuk apa?" Sahut Rega sembari menoleh ke arah Kanza sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan depan sana.
"Makasih aja untuk hari ini." Kata Kanza. Cowok di sampingnya hanya balas tersenyum penuh arti.
Detik berikutnya, tangan Rega malah terulur menyalakan radio tape-nya. Ia memindah-mindah saluran dan berhenti di sebuah saluran yang sedang memutar sebuah lagu.
Kanza reflek ikut bernyanyi mengikuti lirik lagu yang sedang mengalun. "Aku yang minta maaf walau kau yang salah, aku kan menahan walau kau ingin pisah, karena kamu penting, lebih penting, dari semua yang ku punya... Jika kamu salah, aku akan lupakan, meski belum tentu kau lakukan yang sama. Karena untukku... Kamu lebih penting, dari egoku..."
"Kamu suka lagu itu?" Rega bertanya antusias.
"Iya... Lumayan, lah." Tersenyum.
"Kalo kamu punya cowok, kamu bakalan lakuin hal yang sama enggak kayak yang di lagu itu?"
Khanza menatap Rega bingung. "Maksudnya?"
"Ya... Maksudnya, kamu mau enggak lebih milih ngalahin ego kamu demi kekasih kamu?"
"Ya... Bagi saya, saya bisa saja sangat bertoleransi pada kesalahan pasangan saya, kecuali satu, berhianat, saya enggak bisa toleransi soal itu."
Rega mengangkat alis seraya tersenyum kecut. "Oh... Seperti itu..." Menjeda kalimatnya sebentar. "Semua orang pasti juga mikir gitu. Terlebih lagi kaum hawa. Ya... wajar sih. Tapi asal para cewek tahu, kalo cowok udah ngerasa nyaman sama satu cewek, dia bener-bener nyaman, dia juga enggak bakalan pindah ke lain hati." Jelas Rega dengan sangat yakin.
Kanza mengangkat alisnya ragu. "Ya... Karena semua orang cuma punya satu hati, jadi hanya bisa di isi oleh satu hati, tapi kadang para cowok, kenapa yach, udah tahu hatinya terisi oleh yang satu itu. Tapi tetap aja gitu, cari selingan. Buat apa?" Sindirnya.
"Hehe... Namanya juga cowok. Tapi kalo dia beneran udah cinta sama satu orang, dia juga enggak bakalan berpaling, apalagi dengan cewek yang mau berjuang bersama. Karena cewek kadang maunya cuma di perjuangkan, egois. Padahal kalo cewek juga mau ngertiin maunya kami, memahami kami, kami juga bakalan menetap, juga setia tentunya."
"Halah... Modus." Kanza terkekeh tak peduli.
"Kamu mau bukti?"
"Mulai deh... Ngaco..." Dengus Kanza.
"Lagian kamu tuh kenapa sih, kayak takut banget buka hati buat aku?"
Kanza terdiam, teringat oleh kata-kata Putri...
"Kalo cowok playboy udah mulai nunjukin rasa suka, jangan buru-buru kasih lampu hijau. Lo harus bisa tarik ulur dulu. Biar dia bener-bener penasaran sama lo."
"Ya... Bukan gitu, saya enggak bisa aja langsung terima-terima gitu aja orang yang baru hadir di hidup saya. Kalo nyatanya nanti saya terluka lagi gimana?" Jawab Khanza balik bertanya.
"Oh... Jadi kamu mikir aku bakalan nyakitin kamu gitu?"
"Ya... Ya..." Khanza mulai kebingungan untuk menjawab. "Saya pinginnya kita berteman aja dulu. Ya... Gitu." Lanjutnya sedikit gugup.
"Oke... Rupanya kamu mau lihat dulu kesungguhan aku?"
Kanza mengeriyitkan dahinya, "Ya... Terserah kamu nganggepnya gimana." ujarnya sambil berusaha mengalihkan pandangan ke luar, Ia menajamkan penglihatannya ketika melihat mobil yang berhenti tepat di sampingnya saat lampu merah menyala.
"Gio..." Batinnya ragu. Pandangan Kanza makin terkejut, ketika matanya menangkap sosok wanita yang duduk di sebelah Gio. "Fira...."
Ia jadi teringat kejadian dua hari yang lalu, ketika ia usai makan siang bersama Rega dan Putri. Kanza melihat Fira memasuki restorant bersama seorang cowok. Dan Kanza baru ngeh kalo cowok itu mungkin saja Gio.
Mereka ada hubungan apa? Terus Putri? Batin Kanza makin tak karuan.
Lampu berubah warna hijau. Mobil yang di tumpangi Gio dan Fira melaju lebih dulu. Kanza hanya bisa menatap linglung kepergian mobil berwarna silver tersebut.
"Hei... Kok tiba-tiba bengong, kamu lihat apa?" Rega menyentuh pundak Kanza dan membuat gadis itu tersentak.
"Enggak... Aku enggak apa-apa kok." Sahut Kanza dengan wajah gusar, ia merapikan beberapa helai rambutnya dan menyingkapnya ke telinganya untuk mengurangi rasa gugupnya.
Rega menatapnya sedikit khawatir, "beneran kamu nggak apa-apa?" Ia hanya ingin memastikan, Kanza hanya menggeleng pelan, tapi dari raut wajahnya, Rega yakin Kanza sedang menyembunyikan sesuatu.
"Yaudah kalau gitu," Rega melakukan mobilnya kembali, ia harus menahan diri untuk tidak memaksa Kanza mengatakan yang sebenarnya, meski kini kepalanya di penuhi rasa penasaran. Gadis di sampingnya ini benar-benar misterius.