Kanza dan Rega sedang berjalan di jalanan menanjak menuju sebuah bukit, Kaki Kanza tiba-tiba kehilangan pijakan, dengan cekatan tangan Rega menangkap tubuh gadis itu agar tidak terjatuh. Di bawah cahaya sinar bulan
purnama mata mereka kembali bertemu, wajah mereka cukup dekat. Sekuat tenaga Kanza mencoba menyadarkan dirinya sendiri, dan buru-buru menarik dirinya dari dekapan Rega. "Jangan modus, ya?" Ketus Khanza tiba-tiba.
Rega sontak terkekeh geli, "kalo aku modus emang kenapa? Namanya juga cowok."
"Yaudah kalo gitu mending saya balik aja." Ancam Kanza.
"Heuh... Jangan dong, kan dikit lagi sampai. Yang tadi itu maaf ya nona manis." Wajah Kanza kembali merona karena pujian Rega, "tadi kalo aku enggak pegangin kamu, kamu pasti udah jatuh. Udah cuma itu aja." Lanjut Rega dengan lembut.
Kanza terdiam, menatap Rega dengan tatapan merasa sedikit bersalah karena sudah negatif thinking.
"Kalo sekarang pegang tangan aku, biar kamu enggak jatuh lagi. Hem..." Mengulurkan tangan ke arah Kanza.
Kanza menatap Rega sejenak, Rega tersenyum meyakinkan. Kanza Kemudian beralih menatap uluran tangan Rega, detik berikutnya meraih tangan itu meski sedikit ragu. Rega kembali tersenyum dan menuntun gadis itu mencapai puncak bukit.
"Nah ini tempatnya, dari sini kamu bisa melihat bintang yang berkelipan di atas sana." Kata Rega sambil mendongak ke atas. "Dan jika kamu menundukkan kepala kamu, kamu juga akan di suguhi kerlap-kerlip cahaya dari kendaraan yang sedang berjajar di bawah sana, juga cahaya-cahaya dari gedung-gedung pencakar langit. Indah, kan?" Menoleh ke arah Kanza yang berdiri di sampingnya. Gadis itu tampak takjub melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya sambil mengusap-ngusap lengannya sendiri kedinginan.
"Kamu kedinginan, ya?" Rega sigap melepaskan jaketnya dan di pakaikan pada Kanza. Cowok itu benar-benar terlihat sopan.
"Eh... Makasih." Gugup.
Rega tersenyum. "Makasih doang, nih?"
Kanza sontak menatap Rega tajam. "Kamu janji enggak bakalan macem-macem, kan?"
"Cuma becanda doang aja, galak banget, sih." Terkekeh dan mengacak pucuk kepala Kanza gemas.
"Udah... Jangan sentuh." Khanza menatap Rega sedikit risih.
"Ya ampun... Iya... Iya." Tertawa dan berkata dengan nada gemas. Kemudian memasukkan tangannya sendiri ke saku celana. Hening sesaat.
"Coba deh kamu tatap ke gedung yang ada di sebelah sana?" Rega mengeluarkan salah satu tangannya menunjuk ke depan sana.
Kanza mengikuti arah telunjuk Rega. "Memang ada apa?"
"Nanti biasanya ada gambar love menyala di gedung itu, kalo warnanya hijau, bearti petermanan kita akan awet selamanya, kalo yang menyala warna merah berati kita akan di takdirkan untuk saling mencintai selamanya."
Kanza menoleh ke arah Rega, tatapannya ragu, kemudian menoleh ke arah gedung itu lagi.
"Kita lihat, ya? Love warna apa yang akan menyala disana?" Kata Rega antusias.
"Ini konyol." Gumam Kanza.
"Bukan, ini romantis." Timpal Rega sembari tersenyum, membuat Kanza terdiam menatapnya.
Rega balik menatap ke arah gedung. "Yach... Sayang, ya? Yang nyala warna hijau." Pekiknya dengan raut wajah menyesal.
"Baguslah, kita kan jadi bisa berteman selamanya ." Kanza tersenyum sambil turut menatap ke arah gedung.
"Tapi tadi aku berharap warna merah yang menyala."
"Kenapa?"
Rega tersenyum menatap Kanza. "Aku harap saat kita nanti kesini lagi, love warna merah yang akan kita lihat. Dan kamu enggak perlu tanya lagi kenapa, kan? Kan tadi aku udah jelasin."
Kanza buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Tapi kan kita baru kenal." Gumam Kanza ragu.
"Memang kenapa kalo baru kenal? Bisa jadi kan kita ini malah jodoh."
Kepala Kanza sontak terangkat menatap Rega. "Udah deh, jangan ngaco." Mendengus kesal.
Di kira aku enggak tau apa kalo kamu itu sebenernya playboy. Gerutu Kanza dalam hati.
Rega terdiam menatap Kanza. Aku tahu kok, sebenernya kamu di suruh Fira buat deketin aku. Tapi enggak nyangka aja kamu gadis yang menarik.
"Siapa juga yang ngaco? Siapa tahu aja, kan? Di dunia ini, aku percaya tidak ada yang kebetulan, seperti pertemuan aku dan kamu hari ini. Kalo bukan alam semesta yang turut campur tangan, sebuah pertemuan tidak akan terjadi begitu saja." Kanza tertegun menatap Rega yang kini bicara dengan nada serius.
Kanza lagi-lagi mengalihkan pandangannya, kini menatap lurus ke depan. Hatinya tiba-tiba terasa nyeri, terlihat dari ekspresinya yang berubah sedih. "Dan kadang saya benci pertemuan yang akhirnya harus berakhir dengan perpisahan. Meski menyakitkan, saya tetap harus di paksa untuk melewati proses itu. Dan saya sampai pernah berharap tidak akan ada lagi cinta yang datang menyapa saya jika itu hanya untuk menoreh luka di hati saya."
"Kamu ngomong gitu karena belum nemuin orang yang tepat aja." Timpal Rega. "Aku juga pernah berpikir, saat aku menyimpan seseorang di hati aku, itu udah cukup untuk orang itu. Tapi nyatanya enggak, karena aku melupakan satu hal, yaitu menjaga hatinya. Dan karena itu, perpisahan terjadi. Namun darisana aku belajar. Suatu saat aku akan berusaha untuk menjaga hati jika sudah benar-benar menemukan orang yang tepat." Kata Rega dengan senyum miris.
Dan aku tahu kok, pasti orang yang kamu maksud itu Fira. Kanza menatap Rega iba.
"Kita kok jadi ajang curhat gini yach, jadinya." Rega terkekeh geli sendiri, dan itu menular pada Kanza.
"Ya... Enggak apa-apa. Kita kan teman. Ya, kan?" Kanza tersenyum menatap Rega.
"Kamu mau jadi temen aku? Aku orang enggak baik, loh." Seloroh Rega.
"Ya... Mana ada juga orang jahat ngaku jahat." Keduanya kembali terkekeh.
Drrtt... Drrrtt...
Kanza segera merogoh saku celananya meraih ponsel. "Halo." Sahutnya setelah menggeser tombol hijau di layar. "Iya... Bentar lagi gue balik, bawel." Lanjutnya pada orang di ujung telepon sana.
Putri terlihat cekikikan sambil menempelkan HP di telinganya. "Gue khawatir aja, kalo lo enggak buruan pulang, nanti takutnya lo di terkam buaya."
"Apaan sih, gue bisa jaga diri kali. Udah ah. Bentar lagi gue balik." Kanza segera Mematikan ponselnya, ia tidak ingin lagi mendengar celotehan Putri yang terus saja menggodanya.
"Siapa?"
"Oh... Ini tadi si Putri, dia khawatir, nyuruh saya balik kost'an. Udah malem katanya."
"Oh... Yaudah kalo gitu kita balik sekarang."
Kanza mengangguk, saat hendak membalikkan badannya, kakinya seolah kembali kehilangan pijakan dan badannya limbung. Beruntung Rega kembali sigap menangkap tubuhnya. Wajah mereka jadi berjarak sangat dekat. Mata mereka saling menatap. Seperti ada magnet, wajah mereka makin mendekat satu sama lain, dan akhirnya bibir mereka hampir saja saling menempel sebelum akhirnya sedetik kemudian Kanza sekuat tenaga memalingkan wajahnya. Rega memejamkan matanya sejenak, tenggorokannya seolah tercekat, jakunnya terlihat naik turun menelan salivanya dengan kesusahan.
Bersambung