"Sialan banget lo, mukul gue keras banget, sengaja lo, ya?"
Gendon tertawa terbahak. "Itu namanya gue mendalami peran, biar akting gue meyakinkan. Bener nggak?"
"Iya juga sih... Tapi kan nggak harus keras banget, kan? Coba... Kalo ketampanan gue berkurang gimana? Aset nih aset...." Keluh Rega lagi sembari tangannya menunjuk-nunjuk wajahnya yang masih tampak memar. Saat ini ia sedang bersama cowok gembul di ruang kerjanya.
Gendon sontak mencebikkan bibir bawahnya. "Aset jadi buaya maksudnya? Cari mangsa sampe segitunya." Ucap cowok gembul yang ternyata bernama Gendon dengan nada mengejek. Dan ternyata mereka bersahabat.
"Hei... Itu namanya skill, buat narik perhatian cewek-cewek. Kita harus bisa membuat mereka terkesan." Rega beranjak dari duduknya dan berdiri bersandar di meja kerjanya.
Gendon kembali mengejek, "dasar playboy cap kadal. Ati-ati lo kena karma."
"Lo nyumpahin gue?" Menatap horor ke arah Gendon .
"Bukan nyumpahin, itu sebagai temen gue cuma ngingetin aja. Jangan sampai lo di buat patah hati sama cewek. Lagian cewek kemarin itu kayaknya cewek baik-baik, udah mah manis banget lagi senyumnya. Sayang aja kalo cuma jadi mangsa lo yang berikutnya."
Mata Rega terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Mana ada cewek baik sengaja ngedeketin gue, pasti dia juga ada maksud terselubung."
Gendon menatap Rega bingung. "Maksudnya?"
Rega tersenyum penuh arti. "Gue sebenernya udah curiga sama tuh cewek dari awal. Gue udah coba selidiki dan kecurigaan gue ternyata bener."
"Udah deh, to the point aja, enggak usah pake muter-muter. Gue temen lo nih, bukan mangsa." Protes Gendon tak sabar.
Rega sontak tak bisa menahan tawanya, "Haha... Ikan buntal kalo lagi marah serem juga ya ternyata." Candanya yang membuat Gendon makin sewot.
"Lo mau nyobain bogem mentah dari gue lagi nih ceritanya?" Ancam Gendon.
"Ampun boskuu... jangan, yang ini aja memarnya masih nyeri banget."
"Yaudah buruan cerita, jangan bikin gue penasaran." Burunya.
"Oke ... Gue paham otak lo kan kayak petrik." Ejek Rega sembari tertawa. Mata Gendon sontak melebar. "Oke... Oke... Ampun bosku."
"Dasar playboy gesrek." Gendon mendengus kesal.
Rega mencoba menghentikan tawanya dan berusaha bicara dengan nada serius. "Jadi gue udah selidiki cewek yang namanya Kanza itu, ternyata dia itu sahabat sekaligus karyawannya Fira. Gue udah curiga semenjak gue pertama kali ketemu tuh cewek di kantor Fira. Dan pertemuan-pertemuan berikutnya, kayaknya udah dia atur sebelumnya, seolah-olah dia sama gue ketemu secara kebetulan, padahal mah aslinya enggak."
"Oke... Itu analisa lo, terus buktinya apa?"
Rega mengeluarkan selembar kertas dari saku kemejanya. "Nih... Buktinya." Meletakkan benda tersebut di atas meja tepat di hadapan Gendon.
Gendon ragu, meraih secarik kertas tersebut dan membacanya. "Sulit di percaya." Gumamnya tak yakin.
Rega mengangkat dagunya sembari tersenyum licik. "Untuk itu gue mau balikin permainan Fira."
***
"Ngapain kamu dateng kesini lagi?" Fira berkata dengan nada ketus.
"Aku kangen sama kamu dan sekalian mau jemput kamu." Ucap Rega santai sembari menampilkan senyum mempesonanya.
Fira memutar bola matanya ke atas, merasa jengah. "Kamu itu hilang ingatan atau otak kamu udah geser. Kita itu udah enggak ada hubungan apa-apa. Udah bubar, udah putus, Ngerti?!" Kata Fira penuh penekanan.
"Tapi aku enggak mau putus dan aku masih sayang sama kamu." Menatap lembut ke arah Fira.
Tapi tidak dengan Fira, gadis itu membalas dengan tatapan tajam. "Cih... Omong kosong. Kamu pikir aku bodoh apa? Kayak cewek-cewek di luar sana yang bisa dengan mudah kamu bodohi. Kamu pikir kalo kamu bilang sayang, kangen, cinta sama aku, aku bisa langsung luluh gitu? Kamu salah Rega. Kita itu udah putus, jadi tolong berhenti ganggu hidup aku!" Mata Fira terlihat sungguh-sungguh saat mengatakannya.
"Justru karena kamu beda, aku jadi enggak mudah move on dari kamu. Tapi pasti kamu enggak bakal percaya dengan apa yang aku omongin." Tersenyum miris. "Aku cuma mau bilang, jangan sampai kamu nyesel, kalo nantinya, bener-bener ada cewek lain, yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku." Lanjutnya dengan suara lemah. Membuat Fira menatap tak percaya, sorot matanya tampak khawatir saat mendengarkan ucapan dari Rega.
Sementara itu, di luar pintu ruang kerja Fira yang sedikit terbuka, berdiri seorang Kanza yang sejak tadi sudah mendengar percakapan mereka berdua. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya agar tidak menimbulkan suara. Saat mendengar langkah Rega yang hendak keluar dari ruangan, Kanza buru-buru menghindar dari depan Pintu dan pindah ke sisi tembok yang tak jauh dari sana. Detik berikutnya tampak Rega yang keluar dari ruangan Fira dengan raut wajah kecewa. Kanza merasa sedikit iba melihat keadaan Rega.
***
Kanza sedang duduk melamun di depan meja kerjanya sambil menatapi layar laptopnya yang masih tampak kosong. Sebuah slide bayangan tentang percakapan antara Rega dan Fira di kantor tadi siang menggema dalam pikirannya. Perasaanya mendadak menjadi gusar.
Setelahnya, slide bayangan pertemuan demi pertemuannya bersama Rega bermunculan satu per satu di benaknya.
Kanza mengulas senyum tipis, kemudian tatapannya teralih pada jas Rega yang masih menggantung di sisi dinding kamarnya. Ia belum sempat mengembalikannya pada cowok itu. Perlahan ia beranjak dari duduknya dan meraih benda tersebut masih dengan sudut bibir yang terangkat membentuk senyuman.
Derrtt... Derrtt...
Kanza terhenyak, suara getar ponsel
membuatnya tersadar dari lamunannya, seketika pandangannya teralih pada ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Kanza segera menghampiri dengan masih menenteng jas hitam itu di tangannya.
Wajahnya seketika berbinar ketika melihat siapa yang tengah mengadakan panggilan telepon untuknya.
"Rega..." Kanza memekik. Kemudian menggeser tombol hijau di ponsel dan mulai menempelkan di telinganya dengan hati-hati.
"Hai... Aku ganggu enggak?" Suara di seberang sana menyahut. Rega tampak merebahkan tubuhnya di ranjang dan pandangannya menghadap ke langit-langit.
"Enggak kok. Santai aja." Kata Kanza mencoba mengeluarkan suara senormal mungkin, meskipun kali ini wajahnya sudah tampak memerah, dan debaran jantungnya mulai tak beraturan.
"Besok kamu ada acara enggak? Jalan, yuk?"
Kanza terdiam, wajahnya bingung tidak tahu harus memberi jawaban apa.
"Kamu kan punya hutang janji sama aku, inget kan? Pokoknya besok kamu enggak boleh nolak. Besok kita ketemu di restorant waktu itu jam tujuh malam, titik. Oke... bye." Rega sengaja buru-buru menutup teleponnya seraya tersenyum puas.
"Eh... Tunggu..." Namun kata-kata Kanza hanya di jawab dengan bunyi Tut... Tut... Tut.... Dari telepon yang terputus. "Yach... Kok main tutup aja sih. Padahal gue kan belum bilang setuju." Gerutunya sambil menatap layar hp-nya dengan muka masam. Matanya tampak berpikir sebentar. "Ah... Gue mau konsultasi dulu sama Putri." Beranjak dari tidurnya dan segera berjalan keluar kamar.
Bersambung