Aku berangkat kerja naik motor dengan Mas Hari Abimanyu sedangkan Mbak Syakila naik motor dengan Mas Azkaya Diraja. Pak Cakra merayuku dan Mbak Syakila untuk naik mobil bersama dia tapi kami menolaknya.
"Ayah dan Ibu, Aryna berangkat kerja dulu, ya. Kalian baik-baik di rumah," ujarku mencium punggung tangan mereka silih bergantinya begitu juga dengan Mbak Syakila.
"Om dan Tante, Hari Abimanyu juga pamit, ya." Pacarku memang romantis dan sopan terhadap orang tua dia ikut pamitan dan juga mencium punggung tangan orang tuaku secara bergantian begitu juga dengan Mas Azkaya Diraja.
Ternyata Pak Cakra tak mau kalah, tapi karena dia seumuran jadi hanya pamit.
"Bapak dan Ibu yang betah di rumah, lakukan sesukanya terpenting nyaman, saya tinggal kerja dulu," ujar Pak Cakra Dinata.
"Iya, Pak Cakra terima kasih banyak," sahut Ayah dan Ibuku.
"Oya, Killa dan Aryna naik mobil Bapak mau tidak? Dari pada naik motor kena angin nanti rambut kalian rusak," ucap Pak Cakra membujuk.
"Tidak usah Om, aku naik motor saja dengan Azkaya," sahut Mbak Syakila.
"Aryna juga naik motor saja dengan Mas Hari Abimanyu," jawabku.
"Kamu duluan ya," ujar Mas Hari Abimanyu menyalakan mesin motornya dan aku bergegas membonceng setelah pakai helm.
"Dadah!" Aku melambaikan tangan ke arah orang tuaku dan Pak Cakra, dia pasti cemburu melihatku memeluk Mas Hari Abimanyu di atas motor.
"Kamu biasanya tidak mau peluk, tumben ini peluk tanpa disuruh," kata Mas Hari Abimanyu yang heran atas perbuatanku.
"Kalau peluk kan aman tidak jatuh," sahutku padahal aku sengaja ingin membuat Pak Cakra cemburu dan ikhlas jika wanita yang disuka bersama dengan anak laki-lakinya.
Perjalanan lancar, udara pagi sangat sejuk sekali. Aku bahagia bisa merasakan udara dan hembusan angin yang menerpa wajahku. Kaca helm sengaja aku buka, tetapi aku pakai kaca mata untuk melindungi dari debu.
Aku melihat Mbak Syakila tidak mau memeluk Mas Azkaya Diraja, dia hanya pegangan jaket saja. Mereka masih terlihat malu-malu, aku jadi ingat pertama kali bertemu dengan Mas Hari Abimanyu.
"Semoga lama-lama Mbak Syakila bisa jatuh cinta dengan Mas Azkaya, mereka pasangan serasi," gumamku.
Teringat pacarku begitu peka padahal ada suara kendaraan lain dan juga suara angin tapi dia dengar dengan apa yang aku katakan barusan.
"Aamiin, semoga doa kamu diijabah sama Allah, supaya Mbak Syakila gak jadi nyamuk di antara kita," sahutnya.
"Mas Hari Abimanyu dengar apa yang aku katakan barusan?" tanyaku.
"Iya, dengarlah memangnya aku tuli," jawabnya tertawa kecil.
"Hehe … tapi aku bicara pelan tadi, teruskan ada suara angin dan kendaraan lain," jawabku.
Beberapa menit kemudian
Kami sampai ….
Baru sampai aku sudah dapat sambutan tidak menyenangkan dari Mbak Kelara, tiba-tiba dia menghampiri dengan raut wajah penuh amarah. Hatiku benar-benar merasa tidak enak apa yang ingin dia katakan padaku?
"Dasar perempuan ganjen! Berani kamu menggoda banyak laki-laki! Sok, kecantikan!" pekiknya. Tangannya hendak menampar wajahku tapi Mas Hari Abimanyu langsung menangkap tangan Mbak Kelara.
"Mbak Kelara kesambet setan apa marah tidak jelas?" tanya Mas Hari Abimanyu.
"Abimanyu kamu membela perempuan tidak tahu diri ini? Dia itu munafik!" pekiknya lagi.
"Mbak Kelara maksudnya apa bicara begitu?" tanyaku.
"Jangan pura-pura tidak tahu dan lugu kamu!" Dia memekik.
"Kelara, songong Lo! Adik aku tanya baik-baik malah dibentak. Hidup Lo kurang bahagia ya!" pekik Mbak Syakila membelaku.
"Upik abu sok kecilan banget sih Lo, dulu mepet Hari Abimanyu sekarang Lo sikat juga saudaranya, hah!" pekik Kelara.
"Sudah jangan pada bertengkar, bubar!" pekik Mas Azkaya membela Mbak Syakila.
"Siapa Lo nyuruh-nyuruh," timpal Kelara sinis.
Mas Hari Abimanyu menarik tanganku menjauh dari Mbak Kelara yang ngamuk tidak jelas.
"Kamu dan Mbak Kelara ada masalah apa?" tanya Mas Hari Abimanyu.
"Aku tidak tahu, dia aneh marah tidak jelas," sahutku.
"Jangan dipikirkan, abaikan saja orang yang benci kita, nanti dia lelah sendiri," ujar Mas Hari Abimanyu mengusap pundakku.
"Iya, Chagiya aku juga tidak peduli pada orang yang benci aku, terserah mereka meskipun sakit," jawabku.
"Sudah jangan disimpan dalam hati, buang saja rasa sakit itu. Ingat satu hal ada aku yang selalu sayang," ungkapnya lembut. Pacarku membuat hatiku mencair seperti es krim. Ternyata tatapan matanya mampu menusuk jantungku dan membuat hatiku melayang tinggi ke udara.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya.
"Aku tidak menyangka jika pacarku ternyata sangat romantis," ungkapku.
"Kamu bisa saja," katanya.
"Aku kembali tugas negara dulu, ya. Sampai bertemu nanti siang," ujarnya.
"Siap!" sahutku.
Aku berpikir keras sebenarnya ada apa dengan Mbak Kelara apakah cintanya sudah ditolak oleh Pak Cakra, karena beliau cinta aku? Sehingga dia marah padaku? Memangnya Pak Cakra menyebut nama perempuan yang dia suka di depan Mbak Kelara.
Gawat jika itu benar, Mbak Kelara dan Nirwana akan semakin benci dan memusuhi aku. Padahal siapa juga yang mau dengan Pak Cakra, duda tua yang lebih pantas jadi ayahku. Usiaku terlalu muda masih 18 tahun, astaghfirullah cobaanku berat sekali.
"Jika Mas Hari Abimanyu tahu kalau ayahnya cinta aku bagaimana ya? Apa anak dan ayah akan ribut?" gumamku dalam hati.
Nirwana datang menarik rambutku dengan kasar.
"Eh, munafik! Kamu serakah tahu tidak!"
"Nirwana lepas!" Aku tidak terima diperlakukan kasar, tapi tenaga Nirwana seperti badak begitu kuat mencekram rambutku.
"Lo bilang pacarnya Hari Abimanyu, tapi sama bapaknya kenapa mau juga hah!" ujarnya dengan volume tinggi, orang-orang menatap kami berdua.
"Lepas Nirwana aku mohon, kamu menyakitiku," ucapku.
"Kamu yang menyakiti hati Kakakku terlebih dulu, balasan ini tidak seberapa," sahutnya.
"Lepaskan dia!" pekik Mbak Syakila.
"Jangan ikut campur Lo!"
"Dia adik gua, makanya lepaskan!" jerit Mbak Syakila.
"Jangan ikut campur!" teriak Nirwana.
Mbak Syakila memelintir tangan Nirwana yang menjambak rambutku.
"Sakit!" pekik Nirwana.
"Makanya lepas dari tadi! Ingat ya, siapa pun yang menyakit Adik gua, itu berhadapan dengan Killa!" ucap Mbak Syakila benar-benar melindungi sebagai adiknya.
Bel berbunyi, semua orang bubar.
"Kamu tidak apa-apa kan Aryna? Jangan ragu untuk mengatakan siapa saja orang yang menyakiti," ucapnya.
"Untuk apa aku mengatakan?"
"Untuk menghajar mereka biar jera, selamat kerja dan jangan takut ada Kakakmu di sini," bisik Mbak Syakila sebelum dia menuju tempat kerjanya.
"Aku ingin sekuat Mbak Syakila agar tidak mudah ditindas," gumamku lirih.
Langkah kakiku terasa lunglai, pagi-pagi sudah diamuk oleh dua manusia tidak beradab. Nasibku lagi buruk. Aku menghela napas panjang, sialnya harus kerja bersebelahan dengan Nirwana.
Tuhan tolong bantu aku?
"Sabar Aryna kamu kuat!" ujarku memberi dukungan diri sendiri.