Julia POV
Julia berjalan menuju mejanya. Ia menghela napasnya lega dan membuat dirinya secangkir teh hangat. Suara langkah kaki memasuki ruangan tersebut. "Gue bukan orang yang lo maksud, Rene."
Irene menodongkan senjata di kepalanya dan menatapnya dengan tatapan dingin.
Flashback on
Julia mengerjapkan matanya berkali-kali dan melihat Rose masih terlelap dalam tidurnya. Julia beranjak dari tempat tidurnya dan mulai mencuci piring, lalu memanaskan makanan sisa beberapa waktu yang lalu.
Ia langsung memasakan air panas untuk menyeduh teh. Suara ketukan pintu di pagi hari membuat Julia mengerutkan keningnya. Ia melihat jam di dinding. "Siapa sih!?" Gumamnya. Julia membuka pintu dan terlihat Irene mengenakan gaun tidurnya.
Julia mempersilahkannya masuk dan menghela napasnya kasar. Julia mengambil daging rusa dari dalam kulkas, lalu ia memotongnya jadi beberapa bagian. "Lo..."
"Gue... gak bisa tidur." Julia hanya berdehem. Julia langsung mematikan kedua kompornya dan mengaduk-aduk masakan yang ia panaskan. Julia langsung mengambil cangkir teh, dan mulai membuat teh untuk mereka berdua.
Irene menatap sebuah tato lambang dari seorang bangsawan di punggung tangan Julia. Memang, Julia senang mengenakan sarung tangan pada tangan kirinya. Ia beralasan bahwa tangannya terluka.
Irene menghela napasnya lega dan menyesap teh buatannya. Ia berusaha bersikap biasa. "Mending... lo goreng aja dagingnya." Julia hanya melirik Irene dan mengendikkan bahunya.
Irene mengintip dan melihat pie yang ia siapkan untuknya masih utuh dan tak tersentuh sedikit pun. Julia mengambil satu karton besar susu kemasan, lalu ia menuangkannya ke dalam teh. "Gue gak suka daging goreng. Padahal gue kalo makan di resto Padang suka banget ngabisin paru kalo gak ya... otak." Irene hanya menganggukkan kepalanya.
"Yaudah deh, good morning." Julia mengerutkan keningnya bingung ketika ia melihat Irene beranjak dari tempat duduknya.
"Yaudah... salam buat nyokap sama bokap lo." Irene hanya mengangguk pelan dan hilang di depan pintu. Julia mendengkus napasnya kasar dan menghela napasnya. "Sialan!" Julia bergumam.
Flashback off
Irene mendorong Julia ke dalam sebuah tanah lapang dengan tangan yang masih terikat. "Rene. Ini pelanggaran keras! Lo gak bisa nuduh gue yang enggak-enggak!" Irene langsung menarik sarung tangan yang di kenakan Julia. Ia mengkerutkan keningnya.
"Lo..." Julia menghela apasnya kasar. Irene yang tidak percaya, langsung mengusap-usap punggung tangan Julia. Julia mengerang kesakitan dan lukanya mengeluarkan darah. Irene membelalakkan matanya.
"Enggak-enggak.... ini..." Julia hanya mentap Irene.
"Apaan? Cepet lepasin gue! Luna, Luna, Luna.... Luna itu apa? Nama orang? Nama gue kan Julia, bukan Luna!" Irene menghela napasnya kasar. Irene mencengkram kerah jaket milik Julia dan menatapnya tajam.
"Terus..."
"Kalo lo tanya yang itu, gue liat pantulan muka lo di toples! Masa gue boong ke lo sih!?" Julia masih menatapnya, kesal. Irene menghela napasnya kasar.
"Pie yang waktu itu gue kasih?" Tanya Irene.
Julia hanya menghela napasnya kasar, frustasi. Ia menghela napasnya kasar. "Gue kenyang... lagian gue juga lupa kalo masih ada pie." Irene menghela napasnya kasar dan melepaskan ikatan yang membenggu tangannya.
Julia yang sudah terbebas langsung mengambil sarung tangannya dan masuk ke dalam mobilnya. "Ayok masuk!" Irene menghela napasnya. Merasa bersalah, ia langsung masuk ke dalam mobil tanpa ada rasa curiga.
Flashback on
Rose berjalan mondar-mandir dan Julia hanya menatapnya dalam diam. "Kau gila ya!?" Julia menghela napasnya kasar. "Aku akan menemuinya, jika bisa... aku akan membunuhnya." Julia menahan lengan Rose.
"Kau gila!?" Rose mendekus kesal, lalu ia memijat keningnya yang pusing. Julia menghela napasnya kasar, lalu ia menatap cuka yang ada di rak bumbu. Julia mengambil botol tersebut, lalu menuangnya seluruh isinya ke punggung tangannya.
Suara erangan kesakitan terdengar dari suaranya. Rose langsung berlari kecil menghampiri Julia dan menatapnya khawatir. "Lebih baik aku hilangkan tato ini... setelah itu aku akan buat yang baru."
Rose langsung berjalan menghampiri mobil yang terparkir di halaman rumahnya ke rumah sakit.
.
.
.
.
.
.
Julia menyandarkan punggungnya sambil menikmati sarapan bersama Rose. "Lalu... apa rencana mu?"Rose menatap Julia serius.
Julia hanya diam dan menyuapkan sarapannya ke mulutnya dan mengunyahnya perlahan. "Ikuti saja arusnya. Aku yakin dia akan menyergapku di kantor besok. Pastikan para karyawan mu tidak ada yang hadir."
Rose hanya diam dan menganggukkan kepalanya. "Mengapa tidak di rumah mu saja?" Tanya Rose penasaran.
Julia menyandarkan kepalanya di pundak Rose, memejamkan matanya. "Diamlah sebentar..." Julia masih memejamkan matanya untuk beberapa saat. Tangannya menggenggam erat tangan Rose, lalu ia membuka matanya perlahan.
"Ia akan di tangkap oleh Polisi. Para bodyguard ku akan membunuhnya di tempat." Rose hanya menganggukkaan kepalanya, mengerti.
"Lalu... pie yang ada di dalam kulkas?" Julia menggaruk alisnya.
"Lebih baik bawalah ke tabib. Aku ingin tahu racun apa yang ia gunakan. Aku masih bisa melihat asapnya walaupun sudah masuk kulkas." Julia menghela napasnya kasar dan memakan Jell-Onya dengan lahap.
Flashback off
Julia berjalan menghampiri Rose sudah menunggunya di depan teras dengan cemas. Ketika Julia turun bersama dengan Irene yang memasang wajah kesal. Irene segera berjalan menuju rumahnya dengan perasaan yang kesal, malu, dan canggung.
Julia hanya diam dan menatap punggungnya yang hilang dari pandangannya. Rose memeluknya dari belakang dan mengecup pipinya. "Apa kau baik-baik saja?"
Julia menganggukkan kepalanya. Ia melihat bekas luka yang perlahan-lahan sembuh dengan sendiirinya.Julia dan Rose berajalan masuk ke dalam rumahnya dan mereka mulai berdiskusi tentang langkah apa selanjutnaya yang akan mereka ambil.
Julia menghela napasnya dan menyandarkan punggungnya di sofa. Ia mengusap wajahnya frustasi, lalu ia mengmbil napas panjang. "Lebih baik... beristirahatlah terlebih dahulu. Kau baru saja pulang."
Julia menganggukan kepalanya setuju. "Kau benar..." Julia menghela napasnya panjang, lalu ia merebahkan tubuhnya di sofa dengan kepala berada di atas kepala kekasihnya. "Luka ku belum sepunuhnya sembuh, tapi entah kenapa jika bersamamu... aku merasakan kenyamanan yang berbeda."
Rose tersenyum tipis. Tangannya membelai rambut pendek hitam Julia. "Adrian bangga mempunyai adik cerdas seperti mu, Julia. Dia... selalu membangga-banggakan dirimu di hadapan ku." Julia hanya menghela napasnya kasar.
"Dia juga... membangga-banggakan mu di depanku. Memang... dia adalah orang yang begitu berharga." Mereka hanya diam tanpa ada yang ingin memulai percakapan. Perlahan-lahan rasa kantuk memubuat Julia memejamkan matanya dan dengkuran halus terdengar.
Irene POV
Irene membanting pintu rumahnya dan menggeram kesal. "Ada apa, istriku?" Tubuh Irene menegang ketika ia mendengar suara lembut, namun menakutkan. Ia menatap lelaki yang ada di hadapannya, berusaha tersenyum.
"Apakah.... kau bisa memberiku waktu?" Lelaki tersebut langsung meletakkan wine-nya dan menatapnya tajam.
Ia mengusap rambut Irene, lalu ia pergi menghilang dari hadapannya.
TBC