Malam ini, hembusan angin begitu kencang berseliweran di kediaman Bramantio. Seolah mewakilkan susana hati Cantika yang mulai mendingin.
Terlihat sepasang suami istri sedang duduk di sofa putih, di ruang tengah. Ketika Bramantio dan Mesya berbincang hangat di ruangan itu, tiba-tiba Cantika menghampiri, masih dengan kondisi wajah yang emosi. Cantika memanggil Sabrina untuk keluar dari kamar dan turut serta duduk di ruang tengah.
"Kenapa ini! ada apa, Dek. Mukanya kok tegang begitu," tanya Mesya, Dahinya sedikit mengkerut terlihat kebingungan.
"Maaf, Ayah, Ibu. Aku hanya ingin klarifikasi. Sebelum pernikahan besok di langsungkan. Aku ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya antara kakak dan Tio," murka Cantika dengan nada tinggi, bola matanya membulat tajam tertuju pada Sabrina.
"Kenapa, Rin. Ada apa ini?" tanya Mesya terperangah.
Sabrina menundukan kepala, mencoba mencerna kata-kata yang harus di ungkapkan. Perasaannya bingung dan dilema, haruskah menjawab jujur atau tidak. Ia seperti tidak punya pilihan selain mengakui kebenarannya.
"Sebelumnya aku minta maaf, aku tidak ada maksud apa-apa. Reyno hanya masa lalu aku semasa SMA. Hanya saja aku lupa untuk membuang poto itu," sanggah Sabrina dengan wajah lesu. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bahwa baru beberapa minggu lalu putus dari Reyno.
Semua orang tercengang di ruangan itu. Termasuk Cantika yang tiba-tiba saja air matanya luruh di pipi. Cantika cukup tersentak mendengar penjelasan Sabrina.
"Tapi itu hanya masa lalu, terlebih itu terjadi sudah cukup lama sewaktu SMA. Hanya cinta monyet bahkan cuma main-main!" tegas Sabrina meyakinkan semua keluarganya agar percaya dengan sanggahannya.
"Tapi kenapa, kakak tidak bilang sama aku!" lirih Cantika air matanya terus menetes seakan tak bisa di bendung, pun bibirnya bergetar seolah tidak percaya dengan keadaan ini.
"Karena itu hanya main-main aja, Dek. selesai SMA semuanya berlalu begitu aja enggak ada kelanjutan apa-apa!" tegas Sabrina meyakinkan Cantika. "Lagian, mana kakak tahu kalo Tio adalah Reyno!" Lanjutnya.
"Aku tidak mau menikah dengan mantan pacar, Kakak!" murka Cantika dengan wajah marah.
"Tolong, Dek. Kamu jangan bicara seperti itu, besok pernikahan kamu. Itu hanya masa lalu, kakak tidak ada perasaan apa-apa sama Reyno, pun sebaliknya dengan Reyno," lirih Sabrina, hatinya berdebar kencang. Seakan takut Cantika membatalkan pernikahannya. Ia tidak mau jika Cantika harus mengalami kejadian yang menyerupainya.
"Dek! itu hanya soal sepele. Itu masa lalu kakak kamu yang sudah lampau. Jangan kamu hancurkan kebahagiaan kamu, hanya oleh masa yang sudah terlewat," tegas Mesya meyakinkan Cantika, agar menarik kata-katanya.
"Iya, Dek. kamu pikirkan baik-baik. Yang paling penting di sini tidak ada yang tersakiti. Kakak kamu sudah menjelaskannya, kamu harus percaya," tegas Bramantio meyakinkan kembali hati Cantika agar tak membatalkan rencana pernikahan yang sudah terlanjur di depan mata.
"Ya sudah lah, aku mau istirahat. Besok pernikahan akan tetap berjalan," rajuk Cantika kemudian bergegas pergi ke kamar, Langkah kakinya begitu cepat meninggalkan ruang tengah.
Perasaan tidak karuan turut berkecamuk di dalam pikiran Cantika. Emosi, kesal bercampur sesal 'andai saja aku kenalkan Tio dari awal pada kakak, mungkin tak akan sejauh ini,' gumam Cantika di dalam hati yang turut menyesali keadaan.
Sabrina menatap sedu Ayahnya dengan wajah bersalah. Ia yang baru saja bangkit dari keterpurukan, kembali lagi harus membuka kisah pilunya bersama Reyno, 'Semoga saja, Reyno tak pernah membahas masa lalu kita kepada siapapun' resahnya di dalam hati.
Malam yang semakin hening, tidak nampak satu orang pun yang masih membuka kelopak matanya. Semuanya beristirahat, agar esok terlihat fresh di acara pernikahan.
Namun, berbeda dengan Sabrina, gadis lugu itu masih saja termenung sendirian di sofa biru, dekat kolam rumahnya.
Andai saja bisa memilih, dia lebih baik tidak hadir pada acara besok. Akan tetapi, pilihan itu tidak di berikan padanya. Tidak ada pilihan yang bisa membuatnya lebih terasa nyaman. Siap ataupun tidak, Sabrina harus menghadapinya dengan lapang dada.
'Aku sudah janji pada diriku. Aku harus menjadi wanita kuat. Aku harus bisa, Pasti bisa' Lirihnya di dalam hati. Sabrina mengepalkan kedua telapak tangannya seakan menguatkan dirinya.
Tidak jauh berbeda dengan Sabrina. Pemandangan yang sama juga nampak di kediaman Reyno. Ia terlihat dilema. Satu sisi, 5 bulan terakhir semenjak mengenal Cantika, ia memang sudah berpaling perasaannya kepada Cantika. Wanita yang hanya 5 bulan saja dia kenal mampu meyakinkan hatinya untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Di sisi lain, pipinya seakan di tampar keras oleh gelombang ombak di laut. Bagaimana tidak, ia telah terang-terangan menyakiti perasaan wanita yang telah 3 tahun bersabar menjalani hubungan dengannya. Hanya saja ketika badai menerjang hubungan mereka, hati Reyno goyah. Dia seperti tidak mampu melewatinya dan memilih berpaling pada Cantika. Wanita yang baru beberapa bulan saja dia kenal, yang ternyata adik tiri Sabrina.
Pagi ini, mentari bersinar begitu cerah. Semua orang bersiap-siap, mengenakan pakaian terbaiknya.
Bagi Sabrina, perjalanannya masih panjang. Masih banyak hal yang harus ia perjuangkan.
Takdir bukan berdiam diri saja, ia tengah menunggu kita memainkan ceritanya.
Dalam cinta, jika rasa sakit karena bertahan lebih besar dari pada rasa sakit karena melepaskan, maka ia akan belajar merelakan.
Sabrina sudah ikhlas menerima takdirnya. Ketika Reyno memang tercipta bukan untuknya melainkan untuk adiknya sendiri.
"Rin! Kok kamu masih santai aja sih, orang-orang udah pada sibuk makeup yang cantik. Eh kamu, malah bengong," ujar Mesya yang nampak sibuk memilah baju kebaya.
"Iya, Bu. Masih pagi kok. Acaranya kan jam 10," sahut Sabrina tersenyum hambar.
"Ya udah. Mandi sana, siap-siap. Nanti kalo udah mandi langsung ke ruang makeup ya," balas Mesya dengan wajah ceria seraya pergi ke ruang makeup.
"Iya, Bu," sahut Sabrina. Dia menghelas nafas pendek, kemudian bergegas pergi untuk mandi dan siap-siap.
'Dalam hidup, kadang kamu harus menerima bahwa tak semua harapan jadi kenyataan. Dan yang Sabrina butuhkan adalah keberanian untuk merelakan. Sakit memang ketika harus merelakan orang yang kita cintai pergi, namun berbesar hatilah untuk tidak membatasi pilihan hidupnya.'
Warna-warni hiasan bunga serta dekorasi pelaminan yang sangat indah. Nampak jelas di sana terduduk pengantin perempuan yang sangan cantik sesuai namanya, Cantika Jaipahusna.
Dengan balutan gaun kebaya putih dan mahkota siger sunda serta makeup yang cantik, seketika mengubah wajah cantika bak boneka barbie.
Sementata di samping Cantika, Sabrina sebagai pendamping pengantin, dengan balutan kebaya pink gold, Terlihat sangat cantik natural. Make up yang tidak begitu tebal. Membuat sabrina terlihat cantik alami.
Acara adat sunda pun di mulai. Menyambut rombongan calon pengantin pria yakni keluarga Reyno yang kerap di sapa Tio, telah tiba di gedung pernikahan. Semuanya menyambut dengan penuh suka cita.