Deon benar-benar bingung dan syok atas kejadian yang menimpa keluarga James. Namun, polisi mengatakan jika pelaku bisa saja dari orang terdekat James seperti pegawai kantornya atau semacamnya.
"Kakak, apa yang terjadi disana?" tanya Lia saat Deon baru saja pulang dari tetangganya yang terjadi adegan mengerikan itu.
"Ah, tidak ada apa-apa. Hanya arisan kampung saja, Lia," sahut Deon berbohong.
"Benarkah? Kenapa ada polisi disana dan garis jalur kuning yang di film biasanya tak boleh untuk dilewati siapapun?" tanya Lia curiga pada Deon.
"Tidak, itu.. Eum.. Hanya permainan mereka saja, mereka sedang bermain bersama. Oh ya, lagipula kau harus bersiap sekolah. Ini sudah siang!" ujar Deon mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
"Ah? Iya, aku hampir saja lupa. Baiklah, aku akan mandi. Kau pun mandi, kulihat matamu masih banyak beleknya!" sahut Lia kemudian berlari menuju ke kamar mandi.
Deon kemudian mencolek ujung matanya dan tersenyum. Cih, memalukan sekali dirinya keluar dengan keadaan seperti ini. Tapi, ya sudahlah. Yang penting ia bisa meyakinkan Lia jika itu semua bukan masalah besar agar Lia tidak takut lagi.
-The Silent In Midnight-
"Halo, ayah dan ibu akan pulang lebih telat. Kami butuh beberapa minggu lebih lama lagi disini," jelas Ayah Deon dari seberang telepon.
"Ah? Masih lama ya? Tapi, Lia merindukan kalian. Dia sempat mogok makan juga," jelas Deon. Sejujurnya, ia takut dengan kejadian pembunuhan itu sehingga ia menginginkan ayah dan ibunya pulang segera.
"Sabarlah, usahakan Lia agar dewasa tanpa kami. Seperti halnya dirimu waktu muda, ajarkanlah adikmu agar sepertimu," ucap Ibu Deon.
"Hm, baiklah," sahut Deon pasrah.
"Jaga diri kalian baik-baik ya! Kami usahakan untuk pulang cepat pastinya," ucap Ibu mencoba memberikan Deon semangat.
"Iya Bu, kalian juga hati-hati disana. Jangan lupa makan dan istirahat dengan baik," ujar Deon mengingatkan.
"Iya, kami tutup ya! Sampai jumpa!"
Tut... Tut... Tut...
Belum juga menjawab, panggilan itu sudah diputuskan sepihak oleh orang tuanya. Deon hanya bisa menatap pasrah pada telepon genggamnya. Ia sejujurnya memiliki firasat buruk akhir-akhir ini, tapi tak akan bisa ia pastikan jika itu benar-benar terjadi.
"Hei, cepatlah mandi! Aku tak mau kesiangan hanya karena kau bermain dengan burungmu di kamar mandi, ya!" seru Lia menyadarkan lamunan Deon.
Sial, sejak kapan anak itu tahu jika dirinya pernah melakukan hal menggelikan itu? Tapi, bukankah itu normal bagi anak laki-laki yang menuju dewasa? Shit, dia benar-benar malu sekarang.
Deon bergegas ke kamar mandi dan bersiap menuju sekolah. Tak butuh waktu lama, ia pun sudah siap bersama dengan Lia yang sudah menunggunya di meja makan.
"Hari ini apa kau tidak masak?" tanya Lia kala melihat Deon masih kebingungan di pantry dapurnya.
"Eum.. Apa tak masalah kita makan mie di sarapan kali ini?" tanya Deon bingung.
"Aku tak masalah! Itu lebih cepat dan praktis!" seru Lia.
"Baiklah," Deon pun mengambil dua cup ramyeon yang sempat ia beli di supermarket saat berbelanja bahan bulanan.
Ia tak pernah memakan makanan orang korea namun pada kali ini ia tertarik dengan mienya yang sepertinya menggugah selera itu. Ia pun segera memanaskan air dan memasukkan bumbu-bumbu yang disediakan ke dalam cup bersama dengan mie.
Tak butuh waktu lama, air pun mendidih kemudian Deon menuangkan air itu sedikit demi sedikit ke dalam cup yang sudah menyediakan takaran air yang pas untuk memasak ramyeon tersebut.
Selepas itu, ia pun membawa dua cup mie instant itu ke meja makan. Baru kali ini mereka makan mie instant di pagi hari sebagai sarapan. Jika ayah dan ibunya tahu, jelas mereka akan dimarahi habis-habisan.
Beruntungnya, kali ini mereka tengah bebas tanpa kendali orang tuanya. Sehingga mereka bisa melakukan banyak hal yang tak bisa mereka lakukan selama hidupnya.
Seperti memakan mie di pagi hari dan pergi bermain ke taman pada sore hari. Ayah dan ibu mereka terlalu menekan mereka untuk terus belajar dan belajar.
10 menit berlalu..
Mereka pun selesai makan pagi hari ini. Lia pun bergegas mengenakan sepatunya dan Deon pun mengeluarkan motornya dari garasi. Ia menarik motor matic milik ayahnya yang jarang digunakan itu.
Lia mengunci pintunya dengan rapat kemudian berlari menuju Deon yang sudah menunggunya sedari tadi. Mereka kemudian langsung pergi melajukan motor matic tersebut menuju tempat dimana Lia dan Deon sekolah.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Deon sampai di gerbang sekolah Lia.
"Lia, kamu jaga diri baik-baik! Jangan pernah mau diajak pulang oleh orang asing dan jadilah anak yang baik. Telepon aku jika kau mau pulang dengan telepon genggammu, ya? Aku akan datang menjemputmu," jelas Deon.
"Baik kak, aku berangkat ya! Dadaah!!" seru Lia kemudian menyalami tangan Deon dan berlari berhamburan dengan siswa-siswi SD yang lain.
Sedangkan Deon, ia tersenyum melihat Lia yang seceria itu. Ia kemudian bergegas menuju ke sekolahnya yang memiliki rute perjalanan cukup jauh. Ia melajukan motornya membelah jalanan kota ini dengan tenang dan santai.
Sekali seumur hidupnya, ia pergi sekolah menggunakan kendaraan sendiri. Biasanya, ia akan menaiki bus jemputan sekolah dan pulang mengenakan bis. Namun, karena kedua orang tuanya tak ada di rumah jadi dirinya dan Lia bisa bebas semau mereka.
Deon pun sampai di sekolahnya kemudian segera memarkirkan motornya dengan rapi bersama jajaran motor siswa-siswi lain yang datang ke sekolah ini.
Baru saja Deon masuk dan menyusuri koridor. Banyak sekali tatapan dan majalah dinding yang memberitakan soal kematian James yang mengenaskan dan mengejutkan. Deon menatap sendu mading tersebut.
Namun, seseorang menepuk Deon dari belakang dan membuatnya berbalik.
"Apakah itu tetanggamu? Benarkah dia mati hanya tersisa kepalanya saja?" tanya Aldi, teman kelasnya.
"Be.. nar.. " jawab Deon ragu.
"Apakah pelakunya sudah ketemu? Aku benar-benar penasaran siapa pembunuh sadis itu!" tukas Feri, salah satu teman eskulnya dari kelas sebelah.
"Berhati-hatilah, Deon. Aku takut dia adalah pembunuh berantai, karena itu akan menjadi bahaya bagimu. Dia akan menargetkanmu juga," jelas Aldi.
"Hey, kenapa kau menakut-nakutinya? Deon, tak perlu dengarkan dia. Lagipula, bisa saja orang yang membunuhnya itu tetangganya atau teman kerja yang iri padanya. Jangan buatnya takut seperti itu, bodoh!" seru Feri kesal.
Deon termangu, apa yang Aldi katakan baru saja merupakan salah satu ketakutannya. Pasalnya, akhir-akhir ini marak sekali pembunuhan berantai disiarkan dalam berita. Ia takut jika dirinya akan menjadi target selanjutnya, lantas bagaimana dengan Lia nanti?
Deon lantas bergegas menuju kelasnya meninggalkan kedua temannya yang tengah berdebat. Ia benar-benar memikirkan kejadian itu dan hal yang membuat Lia trauma akhir-akhir ini. Semuanya, benar-benar aneh.