Chereads / Battle of Heaven / Chapter 45 - Perang Tiga Faksi

Chapter 45 - Perang Tiga Faksi

***

Setengah jam menuju tengah hari.

Evan berdiri di depan pasukannya, menenteng dua pedang pahlawan yang tersimpan di belakang punggungnya. Di sampingnya setia menunggu Laurentia dengan pakaian militernya, tangan kanannya menggenggam pedang berwarna hitam yang terikat di pinggangnya.

Perlahan, pasukan tiga faksi datang menghadap Evan. Namun, jumlahnya jauh lebih sedikit karena mereka perlu membagi untuk tugas berjaga di sisi gerbang utara. Kabarnya pasukan Evan berhasil menaklukan Kota Alysium dan tengah dalam perjalanan kemari.

"Jumlah mereka jauh lebih sedikit dari kemarin," ucap Laurentia, memerhatikan pasukan musuh.

"Kemungkinan mereka mereka membaginya ke dua tempat, utara dan selatan."

"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Laurentia, kepada Evan.

Pemuda itu memalingkan wajahnya, menatap Laurentia dan tersenyum pelan. Ia segera mengalihkan pandangannya ke pasukan engginer. Evan mengangguk dengan tegas, tanda kalau mereka harus mulai bekerja menyusun trebuchet, senjata berat andalan Evan.

"Jika mereka tidak datang setelah tengah hari, maka batu-batu besar ini akan menghantam gerbang mereka hingga runtuh," jelas Evan, merasa percaya diri seraya menunjuk ketujuh trebuchet miliknya.

"Perang yang sebenarnya akan dimulai, yah?"

Belum tengah hari, tetapi tiga komandan faksi datang bersamaan. Mereka tiba dengan berpakaian militer dan menaiki kuda mereka masing-masing.

Evan berjalan menyambut mereka berdua dengan senyuman lebar yang terkembang di wajahnya, berharap kalau mereka memberikan informasi yang berharga bagi pemuda tersebut. Namun, apa yang diharapkan sepertinya tidak akan terwujud.

"Kita akan melawan sampai titik darah penghabisan. Kami, Pasukan Tiga Faksi dari angkatan darat akan melindungi seluruh warga dan keluarga kerajaan dari ancaman pemberontak," ungkap Ponrak, tegas.

"Kau menginginkan perang denganku?" tanya Evan, dingin dengan tatapan mata yang kuat.

"Apa kau takut?!" ancam Ponrak, kasar.

Evan melangkahkan kakinya mendekati ketiga orang tersebut, wajahnya memerah merasa telah ditipu dengan kesepakatan yang telah mereka sepakati sebelumnya. Lagi, langkah untuk merebut Ibukota Liviel terkendala.

"Aku tidak akan segan menghancurkan gendang telingamu untuk yang kedua kalinya, Nona."

"J-Jadi, kau adalah pria yang waktu itu melumpuhkanku?!" kaget Ponrak, menatap ke arah Evan dengan tatapan tak percaya.

"Pergilah dari sini sebelum aku membunuh kalian bertiga!" titah Evan, membalikan tubuh dan berjalan dengan pelan masuk ke tenda khusus yang berada di dalam pasukannya.

Laurentia memerhatikan wajah Evan, tampak terlihat ketidakpuasan yang muncul dari ekspresi kecut pemuda tersebut. Harapan akan tidak adanya korban jiwa di sebuah peperangan memang mustahil dan Evan kecewa karena berharap akan itu.

"Laurentia!" panggil Evan, tegas.

Wanita itu menghadap dengan cepat seraya memberi hormat kepada pemuda tersebut, "Saya di sini, apa ada yang kau butuhkan, Tuan?"

Tangan kanan Evan menunjuk kastil Alexandre yang berada tepat di dalam gerbang Ibukota, menatap istana megah itu dengan tajam dan sesekali mengatakan cacian untuk mereka yang tak peduli pada nyawa warga mereka di dalam kota.

"Aku ingin kita bisa menduduki istana saat malam hari. Tangkap seluruh warga dan penggal kepala setiap prajurit Liviel," pinta Evan, bengis.

Baru kali ini Laurentia mendengar perintah kejam dari Evan, sebelumnya ia hanya menerima perintah seputar strategi dan pengaturan koordinasi, tetapi kini, ia diberi tugas yang lebih taktis dan penting.

"Bagaimana dengan keluarga kerajaan?" tanya Laurentia.

"Tangkap saja! Aku ingin mereka dalam keadaan hidup," jelas Evan, Laurentia mengangguk.

Tepat tengah hari tiba, dua belah pihak langsung melancarkan serangan mengarah ke Ibukota dan pasukan tiga faksi yang menjadi benteng pertahanan pertama melawan pasukan Evan.

Pemimpin pasukan Kuda Putih, Evan, menyaksikan dengan kedua matanya pertempuran yang dimulai di tanah tersebut, darah tergenang, potongan tubuh tergeletak berserakan, jeritan kesakitan dan penderitaan memenuhi tragedi mengenaskan tersebut.

Masing-masing trebuchet melemparkan batu keras untuk menghantam gerbang dan tembok ibukota yang terkenal kokoh. Persediaan batu tidak akan berkurang mengingat para teknisi sudah dibekali ilmu sihir batu.

"Ignis Ingens Coruscis!"

"Oceanus Aqua!"

"Ars Nexus: Rosa Coil!"

Bak pertunjukan seni, perpaduan sihir berbagai elemen menghiasi medan peperangan siang itu. Mulai dari sihir tunggal hingga ganda ditunjukan di tempat tersebut. Pasukan Kuda Putih berhasil memukul mundur pasukan tiga faksi dan memaksa mereka untuk bersembunyi di dalam gerbang ibukota.

Hanya tersisa tiga komandan faksi di tempat itu, kekuatan mereka berbeda dengan milik pasukan biasa Kuda Putih, setidaknya mereka harus melawan Laurentia atau Evan untuk bisa seimbang.

Evan berjalan mendekati Laurentia yang berada tepat di belakang trebuchet yang terus melempar batu-batu besar untuk menembus dinding tembok yang melindungi Ibukota.

"Bagaimana?" tanya Evan.

"Kita bisa memukul mundur mereka, tetapi jika ketiga orang itu bisa kita bunuh, maka moral Pasukan Liviel akan jatuh," jelas Laurentia.

"Begitu yah. Sudah lama aku tidak merasa sesemangat ini sebelumnya," ungkap Evan, tersenyum lebar menanggapi pertarungan di tempat ini semakin menarik.

Evan menarik dua pedang pahlawan yang tersimpan di punggungnya dan mulai melangkah dengan kaki-kaki cepat menyasar ketiga orang tersebut. Sudah cukup banyak pasukan Evan yang terbunuh oleh mereka, tidak boleh ada lagi yang tewas.

Kedatangan Evan membuat Ponrak semakin bersemangat. Ia ingin mengulang latihan yang pernah mereka lakukan sebelumnya, tentu dengan tujuan lain, bukan melatih Evan, tetapi membunuh pria tersebut.

Evan tiba dengan hentakan kaki yang sontak membuat getaran di daerah tersebut tak terhindarkan, "Kalian mundurlah."

"Kau cukup berani juga melawan kami bertiga seorang diri." Evelyn tersenyum sinis melihat keberadaan Evan di depannya, dari aura yang bisa ia lihat, ia menyadari kalau dirinya tidak akan menang melawan kekuatan yang tersimpan di tubuh Evan.

Belum sempat mundur, Ponrak langsung mendaratkan serangan demi serangan fisik kepada Evan. Tangan kanannya terus menggenggam pedang kecil miliknya seraya terus terayunkan mencoba menyayat tubuh Evan.

Evan mampu membaca setiap gerakan Ponrak dan menangkisnya dengan mudah. Sekali hingga dua kali ayunan pedang Ponrak menghasilkan celah yang mampu untuk dimaksimalkan oleh Evan menjadi serangan darinya.

Hingga celah itu datang kepadanya.

Evan melepas pedang yang ia genggam dan menancapkan benda itu ke atas tanah. Tangan kanannya terkepal; segera terarahkan menuju perut Ponrak yang tak terlindungi.

"Saint Fire!" ucap tegas Evan.

Terasa kepalan tangannya mengenai perut bagian ulu hati Ponrak dengan keras, terdengar suara retakan muncul akibat pukulan tersebut. Sihir kuno yang Evan gunakan mulai memancarkan cahaya merah layaknya dari punggung Ponrak.

"AARRGGHH!"

Teriakan Ponrak membuat orang yang mendengarnya bergidik takut karena kekuatan yang dimiliki Evan. Darah merah muncul dari mulut wanita tersebut dan terus menerus mencoba menyayat Evan dengan keadaan tubuhnya yang terluka parah.

Dengan sigap, Evan menangkis ayunan pedang Evan yang mengarah ke lehernya dengan pedang kiri yang ia pegang, tangan kanan Evan mengambil pedang satunya yang tertancap dan memotong tangan Ponrak yang tengah menggenggam pedang kecil miliknya.

"AAAAARGH!"

Evelyn membelalakkan kedua matanya, tak pernah menduga kalau orang sekuat Ponrak bisa dikalahkan dengan mudah oleh Evan.

Evan berjalan mendekati Ponrak yang meringis kesakitan, air matanya jatuh karena takut akan kematian, wajah cantiknya terlihat pucat akibat darah yang terus keluar. Evelyn dan Albert hendak menyelamatkan Ponrak. Namun, Evan menghalangi mereka dengan menghantam tubuh kedua orang itu dengan sihir angin yang kuat.

"Tolong ... jangan bunuh aku," pinta Ponrak, tersedu ketakutan.

"Evan, kumohon jangan membunuhnya," pinta Evelyn.

Pemuda itu menatap tajam ke arah Ponrak dan Evelyn, mereka meminta sesuatu yang egois di tengah peperangan. Membunuh dan dibunuh adalah hal biasa dalam perang, apakah mereka melihat Evan sebagai sosok pemurah layaknya Tuhan yang mampu mengampuni kesalahan seseorang?

Tidak! Evan hanya manusia biasa yang dibutakan oleh kebencian dan dendam.

"Haruskah aku membunuhmu? Kau sudah berkhianat padaku, mengungkapkan posisiku hingga menyebabkan Sophie dan Altair tertangkap. Kaulah penyebab peperangan ini terjadi, Ponrak."

"Aku melakukannya karena aku ... dipaksa," ungkap Ponrak.

Evan mengacungkan ujung bilahnya ke tenggorokan Ponrak, mengancam wanita itu siapa yang memaksanya hingga berkhianat terhadap Evan.

Ketika Ponrak hendak berbicara, tiba-tiba dari arah langit muncul angin besar yang mengejutkan banyak orang. Di saat mereka tengah fokus terhadap angin puting beliung tersebut, sebuah trisula melesat cepat menghantam leher Ponrak hingga kepalanya terputus dari badannya.

Evan menyadari trisula tersebut, karena hanya dia seorang yang mampu melihat senjata itu di antara banyak orang. Evan membalikan tubuhnya dan melihat dari puncak angin puting beliung, sosok Malaikat Agung yang dulu pernah menampakkan wajahnya di hadapan Evan.

"Kamael," ucap Evan, tajam.

Seketika, angin itu menghilang layaknya tertiup angin. Sosok Malaikat Agung Kamael tak lagi terlihat di tempat itu. Kini, nyawa Ponrak sudah melayang, Evan tidak membunuhnya melainkan Trisula Kamael yang melakukannya.

Sudut mata Evan menajam melirik ke rah Evelyn dan Albert. Mereka berdua masih bersiaga untuk membendung serangan Evan.

"Kau Iblis!" bentak Evelyn.

"Kau bebas memanggilku apa saja," jelas Evan.

Evan mulai menyerang mereka berdua secara membabi buta, Albert yang memiliki tipikal serangan sihir tidak cocok untuk pertarungan jarak dekat, sehingga Evan tidak mengalami kesulitan ketika menebas leher Albert dan melempar tubuh pria itu sejauh mungkin.

Evelyn, menjadi musuh terakhir yang akan Evan hadapi. Wajah pemuda itu dipenuhi darah dari dua orang yang ia habisi dengan keji, tinggal Evelyn saja yang belum menerima sayatan apa pun dari Evan.

"Ars Nexus: Rosa Spina!"

Dari dalam tanah, muncul tanaman mawar merah dan segera melancarkan serangan berduri ke arah Evan. Pemuda itu tertunduk seraya kedua tangannya memegang tanah.

"Wall of Stone!"

"Aku mengagumi kekuatanmu, bagaimana jika kutawarkan lagi bagimu untuk bergabung denganku?" pinta Evan, Evelyn menolaknya dengan tegas.

"Ars Nexus: Rosa Coil Spina!"

Secara mengejutkan tanaman merambat mulai melilit kaki dan tangan Evan, membuat pemuda itu tak berkutik seketika. Evelyn juga langsung menyerang titik vital Evan menggunakan duri mawar yang tajam.

"Wind of Protection!"

Angin besar segera tercipta di sekeliling Evan, membuat duri-duri beracun yang menyerang Evan terpantulkan hingga beberapa terkena Evelyn. Wanita itu terjatuh seketika dengan wajah yang tampak pucat, karena dosis racun yang ia terima cukup tinggi.

Sihir angin menghilang, Evan segera berjalan mendekati Evelyn dan memangku kepala wanita itu di atas pahanya. Inilah yang Evan takutkan, seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya jutsru harus meregang nyawa di tangannya.

"Maafkan aku, maafkan aku," pinta Evan, berkali-kali.

"Tidak apa, setidaknya aku sudah menunaikan ... tugasku," ucap Evelyn, terbata-bata.

"Hanya satu ... pesanku padamu."

Evelyn mulai meregang kesakitan, mulut dan giginya memerah karena darah yang naik ke atas tubuhnya. Tangannya yang dingin mengusap lembut wajah Evan yang tampak sedih harus merelakan temannya tewas di tangannya.

"Jagalah janjimu dan tunaikan kewajibanmu. Mereka mengharapkan sesuatu yang baru dari gerakanmu," jelas Evelyn, berusaha berbicara meski harus menyakiti dirinya.

"Aku titipkan Aletha bersamamu," jawab Evelyn.

Tangannya tergeletak lemas dan perlahan kedua matanya mulai tertutup meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan untuk segera melangkah ke kehidupan baru.

Tiba-tiba Aletha datang menghampiri Evan, ia tidak takut sama sekali dengan kebengisan Evan karena ia sudah tahu sifat Evan yang sebenarnya.

"A-Aletha...?"

"Apa kata-kata terakhirnya?" tanya Aletha, penasaran.

Evan berdiri dengan meletakkan kepala Evelyn perlahan di atas tanah, "Ia menitipkanmu padaku. Kemarilah, Benedict sudah menunggumu di kamp."