"Katakan padaku. Apa kau menikmatinya?"
Raja duduk berhadapan Evan di meja makan tersebut, tak hanya Raja, tetapi seluruh pejabat Liviel mulai dari komandan faksi militer hingga Pangeran Mahkota duduk bersama menikmati hidangan yang disajikan.
Pemuda yang ditanya tersenyum seraya meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Makanan yang mereka sajikan hampir mirip dengan makanan sehari-hari Evan, tidak ada bedanya.
"Ini lezat."
Raja mengangguk senang, setidaknya Evan merasa nyaman berada di istananya. Sebagai tuan rumah, tidak elok rasanya jika ia membiarkan para pejabatnya menatap Evan dengan pandangan sinis.
"Perdana Menteri," pinta Raja Alexandre, dengan sigap pria tua bersetelan kemeja lengan panjang berwarna biru laut segera menundukan kepala dan menghadap ke rajanya.
"Tolong ambilkan berkas yang kutanda tangani kemarin," pinta Raja.
Ia segera bangkit dan melangkah dengan tegap menuju ruang kerjanya sesuai dengan perintah dari Raja Alexandre. Terdapat tiga berkas yang sudah dibuat dan ditanda tangani olehnya, ketiga berkas tersebut berisikan permintaan kerja sama dan pernyataan sikap bagi Evan.
"Aku harap kau tidak buru-buru. Ada beberapa berkas yang ingin kami diskusikan denganmu," jelas Raja Alexandre, tersenyum palsu kepada Evan.
Ia hanya terdiam, tidak mengangguk atau pun berbicara. Sembari menunggu, kedua manik matanya sesekali melirik cepat ke arah Sophie yang duduk di barisan kanan dari meja makan istana.
Evan masih belum bisa menerima kenyataan kalau Sophie sudah memiliki anak hasil cintanya dengan Maximillian ke-7. Begitu juga dengan Altair yang terlihat dingin dan cuek dengan keberadaan Evan, bahkan ketika pemuda tersebut terus menerus meliriknya dengan tujuan untuk mendapatkan atensi darinya.
Dari pintu samping istana, muncul pria tua yang membawa tiga gulungan kertas yang tersusun rapi di atas nampan kaca berwarna putih. Kaki-kakinya terhenti tepat di samping Raja Alexandre yang langsung meraih gulungan tersebut mulai dari atas.
"Kita akan beralih ke acara utama, diplomasi dan pernyataan penyerahan diri."
Evan memicingkan kedua matanya, memfokuskan atensinya kepada Raja Alexandre yang tak lagi menunjukan sikap ramahnya. Tak hanya dia, tetapi orang-orang di sampingnya juga demikian.
"Pertama, kami meminta kelompok Kuda Putih untuk tunduk dan setia kepada Kerajaan Liviel, menyerahkan sebagian kekuatan militer ke istana dan membayar pajak kerajaan layaknya warga biasa."
Permintaan yang tidak masuk akal, mereka yang membutuhkan kelompok Evan tetapi mereka juga meminta kelompok itu untuk tunduk setia. Lelucon yang sangat menggelikan bagi pemuda itu.
"Kedua, Istana akan menguasai semua sumber daya di Cassariel, baik alam atau pun manusia guna dimanfaatkan untuk kesejahteraan Rakyat Liviel," jelas Raja Alexandre.
Mereka dipastikan tidak akan mau kembali ke Liviel setelah penindasan selama bertahun-tahun. Kebencian, kemarahan, dan trauma mendalam atas sistem kasta di Liviel menyebabkan hati mereka sudah tertutup rapat untuk kembali mencintai tanah kelahirannya.
"Ketiga, seluruh pejabat Cassariel akan ditempatkan di posisi strategis di lingkup Istana, termasuk Evan yang akan mengisi jabatan Perdana Menteri," tegas Alexandre.
Mendengar perkataan Sang Raja membuat seluruh orang di meja makan sontak berteriak tak setuju, hanya pria tua si Perdana Menteri dan Evan saja yang bergeming setelah mendengar pernyataan dari Alexandre.
BRAK!
Raja menggebrak meja makan hingga membuat piring-piring yang tersaji bergetar dan berubah posisi dari semula. Wajah Alexandre memerah, lengkungan alis yang runcing dengan sudut mata tajam menghiasi kemarahan pria paling ditakuti di antara raja-raja terdahulu.
"Apa kalian berani membantahku?" tanya Alexandre, dingin.
Sontak, mulut para pejabatnya terkunci rapat, pandangannya tertungkul dalam menyesali sikap keras kepala yang mereka tunjukan. Pangeran Mahkota Leon mengangkat tangannya dan meminta untuk Raja mendengarkan pendapatnya.
"Kita tidak bisa memberikan pemerintahan kepada para pemberontak. Itu sama saja menjadikan Cassariel baru di tempat ini. Aku mohon dengan sangat untuk mempertimbangkan keputusanmu, Yang Mulia," pinta Leon, tegas.
"Jika aku tidak mengangkatnya, lalu bagaimana kalian akan makan?" tanya Alexandre, menguji pola pikir mereka.
"Apa maksudmu, Yang Mulia?" tanya Perdana Menteri.
Tangan Alexandre menunjuk dengan cepat ke arah Evan yang duduk berhadapan dengannya di meja makan panjang tersebut, "Ia mengubah tempat kosong tak terjamah itu menjadi ladang gandum terbaik dari sebelumnya. Apakah salah jika aku ingin menerapkan hal yang sama di sini?"
Mereka sontak terdiam membisu, fakta yang berbicara kalau roti, kue kering, dan sereal yang mereka makan dan sajikan kepada anak-anaknya adalah gandum yang berasal dari Cassariel.
Evan mengangkat tangannya, menjadikan dirinya pusat perhatian dari seluruh orang yang berada di tempat tersebut. Alexandre tersenyum dan mempersilakan pemuda itu untuk berbicara.
"Aku menolak ketiga permintaan yang kau berikan."
Satu persatu orang yang menatap Evan segera menunjukan ekspresi kecut. Raja Alexandre pun demikian, bibirnya yang semula terangkat, kini terbentuk berlawanan arah dengan mata tajam memandang sikap integritas yang Evan tunjukan.
"Sebaiknya kau berikan alasan yang jelas," pinta Alexandre, meletakkan kembali tiga gulungan tersebut.
Evan mendorong kursi dan segera mengangkat tubuhnya berdiri di hadapan mereka semua. Kebetulan sekali menurutnya, ia akan mengungkapkan semua permasalahan yang ia dan masyarakat Cassariel alami seputar perlakuan para bangsawan dan sistem pemerintahan Liviel.
"Kami, Kelompok Kuda Putih bukanlah kelompok sembarangan. Aku membentuknya sendiri berdasarkan kilas balik yang ditunjukan Pahlawan Maximillian kepadaku," jelas Evan, tegas.
"Apa maksudmu Pahlawan Maximillian?" tanya Sophie.
Evan membelalakkan kedua matanya memandang wanita tersebut yang secara mengejutkan bertanya hal tersebut kepada dirinya. Hati Evan senang ketika mendapatkan perhatian dari wanita tersebut.
"Orang pertama yang membebaskan Manusia dari jeratan Iblis dan Malaikat. Masyarakat memanggilnya Pahlawan Pertama Manusia, Maximillian."
"Aku tahu itu. Yang kumaksud adalah kenapa kau mendapatkan kilas balik darinya? Memangnya apa yang sudah kau lakukan?" tanya Sophie.
Evan baru sadar, artefak pahlawan sudah lama tertimbun di dasar goa yang sulit dijangkau oleh manusia lain. Muncul pertanyaan demikian pasti didasarkan kalau mereka beranggapan artefak pahlawan belum terbuka saat ini, padahal Evan sudah lama menyanding gelar kehormatan reinkarnasi pahlawan.
"Karena aku memegang pedang pahlawan dan menyimpannya."
"Jangan bercanda! Belum pernah ada orang yang berhasil menembus ruang artefak di goa pahlawan saat ini," ketus Leon, tak memercayai ucapan Evan.
Evan tidak menyanggahnya karena itu bukanlah hal yang diperlukan. Melihat sikap diam Evan membuat mereka sontak membuka lebar-lebar kedua matanya, menyadari sesuatu hal berkaitan dengan pernyataan Leon.
"J-Jadi, kau sudah membuka tempat itu?" tanya Leon, gelisah.
"Hmm. Aku bersama dua muridku berhasil membawa senjata-senjata milik pahlawan, begitu juga barang lain seperti jurnal harian dan buku-buku miliknya."
Mereka semua sontak berdiri kaget, ada yang menatap Evan dengan kedua matanya terbuka lebar, ada juga yang menutup mulutnya yang menganga, ada juga yang bersikap biasa menatap Evan penuh kekaguman.
"Duduklah kalian semua."
Lamunan mereka terpecah ketika Raja Alexandre meminta mereka semua untuk duduk di tempatnya kembali. Pria penguasa Liviel itu meminta Evan melanjutkan kembali penjelasannya tentang penolakan atas tiga permintan Alexandre.
"Kelompok Kuda Putih didirikan atas dasar ketidakpercayaan para pendukung Maximillian kepada Liviel yang berkhianat pada pahlawan," jelas Evan.
"Jika menurut sejarah, pahlawan tewas karena pertempuran dengan iblis di perbatasan," jelas Perdana Menteri.
"Itu tidak benar! Maximillian tertangkap oleh pasukan istana sebelum berangkat ke perbatasan. Ia didakwa atas tuduhan pemberontakan karena pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat miskin," ungkap Evan, pria tua itu tak bisa menyangkal apa pun jika itu kebenaran yang ditunjukan pahlawan melalui kilas balik di pikiran Evan.
Alexandre bangkit dari posisi duduknya, diikuti oleh orang-orang di sampingnya. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang punggung dengan tetap memandang Evan dengan tatapan yang berbeda, lebih ke sinis dan tajam.
"Lalu, apa tujuan kalian, Kelompok Kuda Putih?" tanya Alexandre, dingin.
Evan tersenyum puas dengan mata terpejam, cukup lama ia terdiam karena jawaban atas pertanyaan Alexandre sangat sensitif.
Pemuda itu langsung membuka kedua matanya dan bersiap. Tangannya terjulur kuat menunjuk singgasana Raja yang berlapiskan emas dan terlihat begitu empuk dan nyaman.
"Menghancurkan Liviel dan mengembalikan tahta kerajaan kembali ke tangan yang seharusnya," ungkap Evan.
Suasana mulai riuh, beberapa orang langsung bertindak dengan mencabut pedang mereka dari sarungnya. Altair mulai merapalkan sihir dan segera membelenggu leher, tangan dan kaki Evan dengan rantai sihir yang cukup kuat.
Karena berat rantai membuat tubuh Evan seketika terjatuh dan tak kuasa untuk bangkit. Hal ini buruk, jika mereka berniat memenjarakannya, maka Laurentia akan memimpin Kelompok Kuda Putih untuk memulai invasi.
"Beraninya kau mengatakan akan menghancurkan kerajaan ini!" bentak Ponrak, lantang.
Leon memandang Raja Alexandre yang sekaligus ayahnya, meminta agar Evan ditangkap dan dipenjara atas tuduhan pemberontakan dan makar.
Kedua manik Alexandre masih memandang Evan dengan sendu, ia tidak menduga kalau pemuda tersebut akan berbalik melawannya, bukan mendukungnya.
Raja Alexandre berbalik badan dan meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya. Ia juga mengatakan kepada anaknya, Leon, untuk melakukan hal yang ia minta.
Tanpa mendengarkan penjelasan untuk permintaan kedua dan ketiga, Evan segera dibawa dengan cara tangannya diseret oleh dua penjaga bertubuh besar untuk masuk ke ruang bawah tanah. Pertemuan mereka selesai dalam satu pernyataan Evan.
Mereka berdua melemparkan Evan ke dalam penjara, menguncinya rapat dan pergi dengan ucapan tak mengenakkan yang muncul dari kedua mulut mereka.
"Mereka tidak mendengarkanku," keluh Evan.
"Aku mendengarkanmu."
Evan segera membalikan tubuhnya dan memandang suara lembut wanita yang berada di balik jeruji besi. Si pemilik suara tak lain adalah Sophie yang datang bersama dengan anaknya.