Chereads / Battle of Heaven / Chapter 36 - Daerah Otonom

Chapter 36 - Daerah Otonom

Negosiasi berakhir dengan jalan buntu, keduanya tidak mencapai kesepakatan apa pun. Benedict tetap dalam keputusannya melindungi kerajaan, bahkan ketika Evan menawari sesuatu seperti jabatan dan kekayaan, serta kedamaian kerajan. Ia tetap menolak dan berpegang teguh untuk setia kepada Kerajaan Liviel.

"Kau sudah menjadi kelompok pengkhianat kerajaan. Aku bisa saja langsung menangkap dan menjebloskanmu ke penjara. Namun, aku akan tetap membiarkanmu bebas. Anggap kebebasan yang kuberikan untuk membalas budi Aletha padamu," jelas Benedict, Evan sama sekali tidak keberatan akan itu.

Pintu rumah depan Benedict terbuka, Evan memandang landscape kota yang memukau di depan matanya. Sangat disayangkan jika kota ini harus hancur karena keegoisan yang ditunjukan oleh Benedict.

"Kau sudah menutup mata akan kesengsaraan yang melanda rakyatmu sendiri. Aku tidak bisa membiarkan ketidakadilan ini terus berlanjut," jelas Evan, tegas.

"Pergilah sebelum aku panggil pasukanku untuk menangkapmu!" titah Benedict, lantang.

Evan melangkah dengan perlahan, menuruni anak tangga dengan tetap pandangannya tertuju kepada jalan berkeramik hitam di rumah Bangsawan Endeavour tersebut.

Ia melihat Laurentia sudah bersiap dengan kereta kudanya. Keduanya saling pandang dan tidak ada ekspresi kebahagiaan terukir di wajah Evan, malam itu.

"Sesuatu terjadi tidak sesuai rencana, bukan benar begitu?" tanya Laurentia, memastikan.

"Kita harus pergi dari sini," pinta Evan.

Segera Laurentia naik ke bangku kemudi dan membawa kereta kuda tersebut keluar dari kota ini. Terlihat pemukiman kumuh masih menjamur dan berdiri di sudut kota, tempat yang biasanya tidak terjamah oleh perhatian pemerintah.

Miris, Evan melihatnya dengan hati terluka. Orang-orang tergeletak lemas di atas tanah basah dengan hanya mengenakkan celana pendek, bertelanjang dada dan terlihat begitu kurus layaknya seseorang yang kekurangan gizi.

"Laurentia. Berhenti sejenak," pinta Evan, kereta kuda yang membawa Evan akhirnya berhenti di salah satu pemukiman yang dekat dengan sungai.

Pintu kereta kuda terbuka dan Evan langsung berjalan menghampiri mereka semua, rakyat yang putus asa karena krisis yang terjadi akibat ambisi perang istana. Evan bertemu dengan seorang wanita, bertubuh kurus dan rambut panjang.

Tergendong bayi berusia sekitar satu tahun di pangkuan wanita tersebut. Ia terus menerus menangis meskipun sudah ditenangkan oleh Evan. Namun, itu bukanlah sesuatu yang bayi butuhkan.

"Dia butuh air susu," ucap wanita tersebut.

"Karena tidak ada makanan, air susuku sudah berhenti keluar." Terlihat guratan kesedihan di wajah wanita itu terasa hingga hati Evan. Ia menyadari betapa sulitnya rakyat di sini untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan pribadinya.

"Apa para pria tidak pergi bekerja?"

"Untuk apa bekerja jika semua barang yang dibawa kerajaan bernilai murah, lebih murah dari harga pasar pada umumnya."

"Tetapi setidaknya kalian memiliki uang untuk makan dan minum," ujar Evan, wanita di depannya melirik tajam ke arah Evan, pemuda itu tak tahu apa-apa tentang keadaan rakyat di tempat itu.

Alisnya meruncing, kedua manik matanya terus memancing atensi Evan. Tangan kurusnya menunjuk-nunjuk dada pemuda tersebut, mencaci maki dengan sebutan tak pantas. Mereka mengira kalau Evan adalah salah satu bangsawan yang hidup enak di tengah krisis kerajaan.

"Kau yang hidup enak, tidur di atas kasur dan makan makanan hangat setiap malam tidak berhak menasihati kami!" bentak wanita tersebut, ucapannya justru mengundang kemarahan lebih besar dari seluruh penduduk yang berada di tempat tersebut.

Laurentia datang menghampiri, meminta Evan untuk kembali masuk dan melanjutkan perjalanan. Namun, pemuda itu menolak dengan alasan ada sesuatu hal yang harus ia lakukan terhadap penduduk-penduduk ini.

"Aku bukanlah bangsawan. Aku sama seperti kalian, rakyat biasa yang terdampak atas perang ini. Teman-temanku, orang yang kusuka, mereka direnggut dariku."

"Lalu apa maksudmu datang kemari?" tanya wanita di depan Evan, kasar.

Evan berdiri tegap, membalikan tubuhnya dan melirik pelan ke arah Laurentia. Di bagian bagasi kereta kuda, Evan membawa dua peti berisikan emas yang awalnya hendak diberikan kepada Benedict sebagai hadiah aliansi. Namun, sesuatu tidak berjalan lancar.

"Berikan satu orang satu keping emas."

Laurentia mengangguk tanpa membantah. Ia segera menghitung jumlah keseluruhan orang yang ada di tempat itu, termasuk bayi dan anak-anak. Total mereka berjumlah 120 orang.

"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya wanita tadi, kebetulan posisinya berada di belakang punggung Evan.

"Aku tidak bisa memberi kalian makanan hangat. Namun, aku bisa memberikan kalian uang untuk memenuhi kebutuhan paling penting kalian."

Laurentia sudah mengumpulkan 120 keping emas tersebut, wanita itu segera membagi-bagikan koin emas kepada seluruh orang di tempat itu tanpa terkecuali. Siasat ini Evan sebut sebagai siasat balas budi.

"Kau akan mendapatkan lebih jika datang ke Pulau Casariel. Aku akan menyambut kalian di sana," ujar Evan, ini sangat menguntungkan Evan, karena mereka akan lebih patuh padanya. Evan bisa menggunakan satu persatu orang di pemukiman ini sebagai pasukannya.

Evan berpamitan, begitu juga dengan Laurentia. Mereka pergi tanpa meninggalkan senyuman apa pun kepada para penduduk tersebut, justru mereka berbalik bahagia dan senang seraya melambaikan tangan kepada kereta kuda Evan.

"Apa yang kau rencanakan?"

"Orang yang patuh lebih berharga dibandingkan orang yang cerdas."

Laurentia terdiam dalam beberapa menit. Dirinya kembali menimpal ucapan Evan dan menebak apakah yang ia pikirkan benar dan sesuai dengan perkataan Evan barusan.

"Kurang lebih seperti itu. Kita akan membuat benteng kita sendiri di Casariel dan mereka semua yang tidak menjadi pasukan, akan bekerja sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan makan kita," ucap Evan, menyandarkan kepalanya di bantal empuk yang menjadi sandaran kepalanya.

Terlihat kereta kudanya sudah melewati gerbang Kota Ilfheim. Cukup sedih ketika aliansi yang ia inginkan tidak terbentuk, tetapi itu memberikannya satu perlajaran penting dalam kehidupan.

Jangan terlalu berharap banyak pada manusia!

***

Satu tahun kemudian.

"Kapal utusan diplomasi Kerajaan sudah sampai," ucap Laurentia, memberikan jadwal pertemuan antara Evan dengan perwakilan Kerajaan Liviel.

Kapal berlabuh di pelabuhan Pulau Casariel, penjagaan di tempat itu jauh lebih ketat dari sebelumnya, ini mencegah seseorang untuk menyelinap masuk dan menyerang warga di sini.

Keluar dari dalam kapal, dua orang utusan berjenis kelamin berbeda berjalan menghampiri penjaga pelabuhan, meskipun masih di wilayah otoritasnya sendiri, tetapi Casariel dianggap sebagai daerah otonom yang masih diduduki oleh Kelompok pimpinan Evan, Kuda putih.

"Berkasnya lengkap, ikutlah denganku."

Mereka diantar menggunakan kereta kuda yang memang disediakan khusus oleh penjaga pelabuhan untuk perwakilan atau orang penting.

"Apakah kehidupan rakyat Casariel di dalam tembok terjamin kebebasannya?" tanya salah satu utusan kerajaan.

"Kau lihat saja sendiri."

Terowongan berakhir dan terpampanglah daerah yang tidak pernah keduanya duga. Pulau Casariel yang mereka kenal sebagai daerah tak terjamah berubah menjadi tempat penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan.

Layaknya Ibukota Liviel, semua yang dibutuhkan oleh rakyat dapat dijumpai di sini, mulai dari pemandian air panas, taman bermain, hingga pusat perbelanjaan.

"Bagaimana tempat ini bisa berkembang sehebat ini?" tanya salah satu utusan wanita, mengagumi Casariel yang sudah jauh berbeda dari sebelumnya.

Kereta kuda yang mengantar keduanya berhenti di salah satu kantor megah, berlantai tiga dengan berdindingkan marmer putih yang terkenal mahal. Di halaman depan, terlihat taman asri penuh dengan bunga dan tanaman hijau terjaga rapi menambah kesan hijau tempat tersebut.

Salah satu yang menjadi kekesalan para utusan diplomasi adalah bendera. Mereka masih mengibarkan bendera kelompoknya di atas kantor megah ini, mereka berdua tidak melihat keberadaan satu pun bendera kerajaan di pulau ini.

"Tunggu sebentar."

Penjaga tadi pergi meninggalkan kedua utusan kerajaan tersebut untuk memanggil Evan. Tak terduga ternyata Evan berada di belakang punggung kedua utusan tersebut, saking terkejutnya salah satu utusan bahkan sampai mengacungkan belati kecil yang berhasil ia sembunyikan dari pemeriksaan.

"Bagaimana benda itu bisa sampai di sini?" tanya Evan, menunjuk belati kecil yang tengah digenggam pria utusan tersebut.

Para pengawal yang menjaga Evan segera menjatuhkan pria utusan tersebut dan merampas belati kecil yang berhasil sampai di depan kantor pemerintahan Casariel. Mereka meminta persetujuan Evan untuk memenggal kepala utusan pria tersebut, tetapi Evan menolak.

"Pertumpahan darah hanya akan memperburuk diplomasi baik yang sudah kita bangun. Bukan benar begitu?" tanya Evan, pada utusan wanita di sampingnya. Wanita itu mengangguk setuju atas ucapan Evan.

Sudah dua bulan ini, pasokan dana dan sumber daya untuk perang yang dilakukan kerajaan dilakukan oleh Casariel. Ini menunjukan kredibilitas Liviel sebagai kerajaan besar dipertaruhkan, mereka bahkan tidak mampu mengelola hal kecil sekecil sumber daya alam untuk kebutuhan mereka sendiri.

"Apakah kau bisa mengibarkan bendera Liviel berdampingan dengan benderamu?" tanya utusan wanita.

"Bukankah sudah kubilang sebelumnya kalau Casariel sudah lepas hubungan dengan kerajaan? Kita berdiri sendiri sebagai kerajaan yang mandiri."

"Itu tindak pemberontakan dan sikap ketidaksetiaan!" ketus utusan wanita di hadapan Evan.

Pemuda itu hanya tersenyum sembari berkacak pinggang, pemberontakan dan ketidaksetiaan sudah ia lakukan jauh-jauh hari sebelum wanita itu mengatakannya hari ini.

"Jika kau menganggapnya begitu, maka aku dengan senang hati akan memulai invasiku ke daerah sekitar. Di mulai dari Ilfheim."