Mereka menunggu, malam semakin larut dan tenaga prajurit itu pasti sudah terkuras. Berat seragam militer yang mereka kenakan saja lebih dari 7 kilogram, sangat sulit bagi mereka untuk tetap berjalan tanpa istirahat di malam gelap seperti ini.
Ponrak mengincar satu kelompok kecil prajurit yang berisikan lima orang, mereka tampak berjalan mendekati tempat persembunyian Evan dilihat dari obor api yang terus mendekat di kegelapan malam.
"Apa kau siap?" tanya Evan, memastikan kepada Ponrak.
"Apa kau meragukanku?" Ponrak kesal seraya kedua matanya memandang tajam ke arah Evan.
"Kenapa kau marah? Aku hanya bertanya apakah kau sudah siap?" tanya Evan, semakin kesal setelah melihat respon dari Ponrak yang di luar dugaannya.
"Aku selalu dan akan siap, jangan pernah meragukan hal itu."
"Baiklah, baik. Kau ternyata wanita yang sensitif," keluh Evan.
Ponrak berdecak lidah. Wanita itu masih memandang barisan obor yang menyala di dekat tempat persembunyiannya. Perlahan demi perlahan, mereka mulai mendekat dan memeriksa setiap tempat tanpa terkecuali.
Seorang prajurit datang ke tempat Evan, ia mendapati pemuda tersebut tengah duduk di atas kayu dengan ditemani nyala api unggun kecil yang menghangatkan.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini?" tanya prajurit tersebut.
Ia mengacungkan pedang yang ia genggam ke arah Evan. Hatinya cukup ketakutan melihat pemuda di depan api unggun itu masih belum merespon dirinya. Ponrak sudah bersiap di lantai dua untuk menyergap prajurit itu dari belakang.
"Aku adalah orang asing di dunia ini, mereka menyeretku kemari tanpa kusadari. Kini, seisi dunia mencariku layaknya rusa dalam perburuan."
Evan menambahkan kayu bakar di api unggun tersebut, api semakin menyala terang beriringan dengan tubuh Evan yang mulai menghangat.
"Apa kau Evan?" tanya prajurit.
"Iya, aku Evan, utusan Malaikat Agung Jophiel."
Prajurit itu mengacungkan pedang tajam miliknya ke hadapan Evan, melalui sorot mata dari topeng yang ia kenakan, tersirat kemarahan yang amat besar terhadap utusan malaikat.
Evan tak tahu alasan mereka begitu membenci utusan malaikat, tetapi ia yakin doktrin dari istanalah yang membuat manusia di dunia ini serentak membenci utusan malaikat.
"Atas nama Yang Mulia Raja, kau ditahan atas tuduhan bersengkongkol dengan musuh."
"Dengan ini, aku akan—"
Ponrak menjatuhkan tubuh prajurit tersebut hingga telungkup di atas lantai. Pria itu melihat di belakang punggungnya, seorang wanita antek dari Evan yang tengah mendudukinya. Pria itu mencoba meronta untuk lepas dari terjangan Ponrak, tetapi wanita itu justru mengancamnya akan menggorok lehernya jika ia memberontak atau berteriak.
"Seragam itu terbuat dari besi," ucap Evan, berjalan seraya memegang obor milik prajurit tersebut.
"Iya, aku sudah tahu karena melihat dan merasakannya." Ponrak tersenyum kesal sambil memandang Evan, betis dan lututnya cukup ngilu ketika terkena seragam militer milik prajurit tersebut.
"Baiklah. Siapa namamu?" tanya Evan kepada prajurit.
"Untuk apa kau mengetahui namaku?!" bentak prajurit tak mau mengalah.
Evan menghela napas seraya memandang obor di tangan kanannya, tak lama ia mendekatkan obor itu ke kepala prajurit dan terasa pria itu mulai menggeram sakit karena panas. Mulutnya dibekap oleh Ponrak agar tidak berteriak.
Evan menjauhkan obor tersebut dan membiarkan pria tersebut berbicara. Napasnya terengah ketika Ponrak melepaskan kain yang sedari tadi membekap mulutnya. Alis matanya meruncing, tanda dia begitu kesal dan geram dengan perlakuan dari Evan.
"Kau tidak akan mengetahui namaku, bahkan ketika aku mati sekali pun!" ancam prajurit tersebut, Evan mengangguk dan mengayunkan tangan kanannya ke arah Ponrak.
Dengan satu kali hentakan, wanita itu langsung memukul leher prajurit tadi dan membuat pria itu jatuh pingsan. Tak mau membuang waktu lama, Evan segera mempreteli seragam yang dikenakan prajurit dan memasangkannya di tubuh pemuda tersebut.
"Tubuh pria itu cukup besar ternyata, seragam ini masih longgar padaku."
"Kau terlihat mirip dengan para prajurit itu, mereka tidak akan mencurigaimu," balas Ponrak setelah memandang keseluruhan tubuh Evan yang terbalut seragam militer kerajaan.
"Kini kita harus mencarikan seragam lain untukmu, apa pakaian ini cukup?" tanya Evan.
Ia menemukan pakaian bekas milik seseorang wanita dewasa yang dulu tinggal di rumah kosong tersebut. Awalnya Ponrak enggan mengenakan pakaian itu padanya. Namun, ia akhirnya menyanggupinya setelah mendengar rencana Evan untuk masuk ke dalam gerbang ibukota.
"Pakaian ini membuatku terlihat lebih tua," ujar Ponrak, ia sudah berbalutkan gaun panjang berwarna hijau tua yang tampak sudah sobek di beberapa sisi.
"Apa kau yakin baik-baik saja? Jika kau melewati gerbang, maka kau akan mendapatkan penderitaan yang menyakitkan." Ponrak masih khawatir dengan kondisi Evan, ia tidak ingin melihat Evan yang mengerang kesakitan akibat penghalang sihir yang digunakan oleh kerajaan.
Tetapi tidak ada pilihan lain. Evan harus bertemu dengan Pendeta Agung untuk menceritakan semua yang ia ketahui dari Jophiel. Pemuda itu harus bisa bertahan selama mungkin dalam penghalang tersebut agar seseorang tidak mencurigainya.
"Aku sudah mempersiapkan diri untuk ini."
***
Hari esok pun tiba.
Pornak akan masuk terlebih dahulu ke dalam gerbang ibukota, wanita itu akan menunggu Evan di sana sambil mencari kuda untuk mereka pergi ke istana Raja. Evan sendiri akan masuk setelah tiga jam sejak Pornak masuk, ia akan ikut bersama rombongan prajurit pengintai yang selesai tugas pengintaiannya.
Rencana pertama berhasil, Ponrak bisa masuk meskipun di depan gerbang istana terdapat pemeriksaan yang ketat oleh pasukan istana. Hal ini berkat hiasan yang dilakukan oleh Evan dengan menggunakan arang hitam dan beberapa injuk bekas sapu.
Setelah masuk gerbang, Ponrak segera mencarikan kuda untuk mereka tumpangi. Hal ini untuk menghemat perjalanan mereka, pasalnya jarak yang ditempuh dari gerbang hingga istana cukup jauh jika dilakukan dengan berjalan kaki.
Ponrak kini menunggu kehadiran Evan. Ia terus berdoa agar Evan bisa melewati gerbang pemeriksaan dan kuat menghadapi penderitaan yang akan ia rasakan.
Rombongan pengintai datang dan masuk, mereka berjumlah lebih dari dua puluh orang termasuk Evan di dalamnya. Pemuda itu melihat Ponrak dengan jelas, wanita itu tengah berdiri di depan toko souvenir seraya melambaikan tangan setinggi dada kepada Evan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ponrak, khawatir.
"Aku baik, memang rasa sesak itu kembali muncul tapi aku masih bisa menahannya untuk beberapa menit."
Ponrak memegang tangan dan punggung Evan, mengantarkannya ke belakang toko tersebut seraya menunjukan kuda yang berhasil ia dapatkan dari seorang bangsawan kerajaan. Kuda yang sangat besar dan kekar, tampaknya pemilik kuda sangat menyayangi kuda tersebut.
"Sebaiknya kita segera berangkat," usul Ponrak, tetapi Evan meminta waktu untuk menarik napas terlebih dahulu.
Setelah satu menit menunggu, akhirnya pemuda itu siap. Ia duduk di bagian belakang Ponrak karena ia masih belum bisa menunggangi kuda. Melesatlah kuda tersebut bersama kedua orang tadi melintasi jalanan ibukota untuk sampai di istana Raja.
Tampaknya tidak ada yang melarang seseorang menaiki kuda di dalam ibukota, pasalnya Ponrak dan Evan tidak diberhentikan oleh prajurit kerajaan meskipun mereka melewati beberapa pos pemeriksaan.
"Tunggu," perintah pasukan istana bersenjata lengkap.
Ponrak menghentikan laju kudanya, memandang dua orang pasukan yang menjaga pos pemeriksaan terakhir. Mereka mengatakan jika sembarang orang dilarang masuk begitu saja ke istana Raja tanpa persetujuan.
"Oh begitu, baiklah."
Wanita itu turun dari atas kudanya dan meminta kedua pasukan istana itu untuk berdiskusi. Ia berkata kalau dirinya menemukan prajurit yang terkulai lemas setelah bertarung dengan Evan. Prajurit yang Ponrak maksud adalah Evan sendiri.
"Apa yang membuatnya harus bertemu dengan Raja?" tanya salah satu pasukan istana.
"Ia membawakan pesan yang hanya diketahui olehnya. Evan memberitahu kepada prajurit tersebut dan dia terkena kutukan karena itu."
"K-Kutukan?" tanya rekan pasukan istana lainnya, isu tentang kutukan, penyakit mewabah, dan hal-hal seputar iblis selalu membuat manusia penasaran sekaligus ketakutan.
"Jika kita tidak cepat membawanya menghadap Raja, dikhawatirkan dia akan terbunuh bersama pesan khusus yang disampaikan Evan," jelas Ponrak, bersiasat.
Kedua pasukan istana itu berdiskusi lama. Mereka masih berat hati untuk membiarkan Ponrak masuk setelah beberapa hari lalu mereka kecolongan karena seorang utusan malaikat bisa masuk ke gerbang istana tanpa diketahui.
Tetapi setelah cukup lama memohon, akhirnya mereka menyetujuinya dengan syarat kedua pasukan istana itu harus ikut bersama mereka.
Ponrak senang bukan main, ia membantu Evan turun dan memanggul pemuda itu untuk berjalan menaiki anak tangga hingga sampai di aula istana Raja. Pasukan istana berjaga jarak dengan prajurit yang dipanggul Ponrak, mereka enggan tertimpa kesialan seperti yang dialami olehnya.
"Mohon izin, Yang Mulia Raja."
"Saya membawakan pesan khusus dari utusan malaikat Jophiel, Evan, untuk Yang Mulia Raja."
Kedua pasukan istana itu masuk setelah diperintahkan oleh Raja. Mereka berjalan dengan menundukan kepala, tak berani menatap kedua mata sang Raja secara langsung. Evan bisa melihat keramaian aula istana, penuh dengan orang-orang yang berpakaian aneh dan eksentrik.
"Pesan apa yang hendak kau sampaikan?" tanya Raja, Alexandre.
"Bukan hamba, Yang Mulia, melainkan prajurit ini yang terkena kutukan oleh Evan."
Evan berlutut di atas lantai aula istana, memandang wajah Raja Alexandre dengan kedua matanya. Wajah sang Raja tampak begitu berwibawa dan penuh kharisma, tidak aneh jika ia memiliki banyak wanita yang menemaninya duduk di sisi kanan dan kiri.
Evan membuka topeng penutup wajahnya dan menampilkan wajah sang utusan malaikat Jophiel di hadapan seluruh bangsawan dan Raja Alexandre. Semuanya terkejut karena mereka hapal betul bagaimana bentuk wajah dari Evan.
"D-Dia Evan!" seru seorang pria paruh baya seraya menunjuk Evan.
"Apa?! Jangan bilang kau pemuda yang memiliki hubungan dengan Jophiel?" tanya Raja, tegas.
"Senang bertemu denganmu ... Yang Mulia Raja."