"Tangkap dia!"
Perintah sang Raja Agung, Alexandre, terdengar menggelegar di ruang aula tersebut. Sesuai dengan perintah darinya, seisi pasukan yang berada di dalam aula segera mengacungkan pedang dan mengurung Evan dengan memutarinya.
Tak hanya pasukan istana, para bangsawan dan pangeran ikut membantu dengan melindungi keberadaan Raja Alexandre. Mereka terlihat begitu ketakutan melihat Evan, bahkan ketika pemuda itu berlutut lemah pucat karena sesak akibat penghalang sihir yang membelenggunya.
"Evan, ini buruk! Kita bisa mati."
Ponrak bangkit dan mengeluarkan pedang kecil yang terselip di belakang punggungnya. Ia berjalan memutar melindungi Evan dari ancaman pedang seluruh orang di tempat tersebut.
"Yang Mulia Raja ... aku meminta pertolonganmu. Aku tidak memiliki niat jahat ... terhadap dunia manusia," ucap Evan terbata-bata, sesak yang ia rasakan di dadanya semakin lama semakin membekapnya erat hingga pemuda itu kesulitan bernapas.
Raja Alexandre memerhatikan ucapan Evan, meskipun wajahnya yang sangar, tetapi ia cukup bijaksana untuk mendengarkan pendapat dari pemuda tersebut. Ia mengangkat tangannya, memberikan tanda agar semua orang mau menurunkan senjata mereka.
"Beritahu aku, kenapa desa itu hanya dihuni oleh kalian berdua? Kemana perginya yang lain?" tanya Raja.
Ia berjalan melewati pagar perlindungan dari para pangeran dan bangsawan untuk semakin dekat dengan Evan. Pria itu tahu betul kalau kondisi Evan sedang tidak baik-baik saja, ia berniat menolongnya karena hanya dia dan wanita itu saja yang tahu kekuatan dari dua malaikat agung yang datang ke desa mereka.
"Mereka ... ah, astaga. Aku tidak bisa ... bernapas."
Evan terjatuh dengan wajah yang membiru, matanya mulai memerah dan pandangan pemuda itu semakin kabur. Ponrak datang dan ia menjatuhkan dua buah pedang kecil yang tengah ia pegang, memeluk kepala Evan dan meletakannya di atas pahanya. Wajahnya terlihat ketakutan, takut jika harus ditinggal oleh Evan meskipun pemuda itu cukup menyebalkan baginya.
"Panggilkan empat orang pendeta kemari," titah Raja Alexandre, seorang pasukan istana langsung menjalankan perintahnya.
Alexandre sudah berada di dekat Evan, pemuda itu juga melihat keberadaan Raja melalui jubahnya yang megah dan berbulu berwarna merah dan lencana emas yang mengikat sudut jubah satu sama lain.
"Aku akan menyelamatkan nyawamu, sebagai gantinya beritahu aku apa pun yang kau ketahui seputar Malaikat Agung," ungkap Raja Alexandre.
"P-Pendeta Agung...."
Ponrak menjadi penghubung antara Evan dengan Raja. Wanita itu meminta keduanya dipertemukan dengan Pendeta Agung, tetapi Raja tidak bisa menyanggupi permintaan Evan.
"Kenapa?" tanya Ponrak, kaget.
"Ada sesuatu yang tak bisa kuberitahu kepada kalian," balas Raja Alexandre, berbalik badan dan memersilakan keempat pendeta itu untuk memberikan mantra khusus kepada Evan.
Keempatnya langsung berdiri dengan menghadap ke Evan, mereka menempati keempat sisi mata angin dengan tongkat besi yang mereka genggam berada di depan tubuh mereka.
Seketika cahaya terang muncul dari keempat tongkat pendeta tersebut, cahaya yang begitu menyilaukan jika seseorang tidak terbiasa melihatnya. Ritual tersebut dinamakan Pembebasan suci, dengan kata lain, mereka bisa membebaskan apa saja yang terkurung atau terkena kutukan sedang.
Keempat pendeta tersebut belum pernah melakukan ritual ini kepada utusan malaikat yang menerobos masuk penghalang sihir istana. Namun, Raja meyakinkan mereka untuk tetap melakukannya.
Evan membukakan kedua matanya dengan tiba-tiba. Ia bisa bernapas secara normal dan melihat seluruh orang kini menatap dirinya dengan sinis. Ponrak tersenyum lebar, matanya yang berkaca-kaca berubah begitu berbinar tatkala melihat Evan yang mulai tersadar.
"Apa kau baik-baik saja, Ponrak?" tanya Evan khawatir.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Bodoh!"
Raja Alexandre tersenyum sembari bertepuk tangan melihat Evan sudah sehat seperti biasa. Ia berjalan menghampiri Evan, tentu dengan batasan keempat pendeta yang mengurung Evan dalam penghalang khusus.
"Singkat saja. Apa yang terjadi di desa itu?" tanya Raja, penasaran.
Evan menceritakan awal kejadian mengerikan itu hingga kedatangan dua malaikat agung yang mengejutkan semua orang. Raja Alexandre mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Evan, begitu juga dengan para bangsawan dan pangeran.
Beberapa bertanya rupa dari dua malaikat agung itu, Evan menjelaskan dengan gamblang yang entah membuat mereka semua kaget hingga merinding ketakutan. Raja mengangguk pelan, cerita Evan sama seperti cerita orang-orang yang tanpa sengaja melihat malaikat agung.
"Sangat langka seseorang bisa melihat malaikat agung, mereka datang dengan tiba-tiba dan pergi dengan secepat kilat," ujar Raja Alexandre, tegas.
"Evan."
Evan memfokuskan pandangannya melihat Raja Alexandre yang menatapnya serius. Tiba-tiba Ponrak ditangkap oleh beberapa pasukan istana dan kepalanya ditutupi kain hitam yang begitu pekat.
"Tunggu! Apa yang kau lakukan padanya?!" bentak Evan, menunjuk wanita tersebut.
"Dia akan ditahan, begitu juga denganmu. Kalian berdua akan dibawa ke kastil Norman, kastil terbesar kedua yang berada di perbatasan utara dunia manusia," jelas Raja Alexandre.
Apa yang dilakukan pria itu tidak sesuai dengan harapan Evan. Ia perlu bertemu dengan Pendeta Agung sekarang juga, Evan tidak akan menemukannya jika pergi ke Kastil Norman.
"Bawa dia pergi."
Raja Alexandre berbalik badan dan pergi meninggalkan Evan. Pemuda yang terkurung mengamuk dengan hebat, semua orang langsung bersiaga dengan mengacungkan pedang mereka kembali.
Angin mulai menyelimuti tubuh Evan, kekuatan dari Jophiel sudah ia rasakan mulai mengalir di pembuluh darahnya, menunggu waktu pas untuk melepaskannya.
"Apa perlu aku menjatuhkan ibukota ini dalam jurang yang dalam?!" bentak Evan, lantang.
Raja Alexandre kembali duduk di atas singgasananya dan tersenyum picik melihat usaha Evan, "Lakukanlah. Aku yakin kau tidak akan mampu bertahan di sini tanpa penghalang dari keempat pendeta tersebut.
Benar apa yang Raja Alexandre katakan, keempat pendeta tersebut menghentikan mantra yang mereka gunakan dan mengembalikan Evan kembali ke penghalang sihir istana untuk segala jenis bentuk kekuatan malaikat agung.
Evan terjatuh berlutut, mencoba bernapas kembali tetapi ia tidak mampu. Tekanan yang berada di aula jauh berbeda dari sebelumnya. Pada akhirnya, Evan terjatuh pingsan tak mampu bertahan.
"Hentikan gosip tentangnya, katakan pada rakyat kalau Evan si utusan malaikat sudah mati karena kehabisan napas," ucap Raja Alexandre kepada Perdana Menteri kerajaan, Maximillian.
Pangeran tertua di kerajaan, Leon, berbalik badan dan berjalan menghadap ayahnya. Ia bertanya kenapa ayahnya tidak memberitahu kondisi Pendeta Agung yang sebenarnya. Raja menghela napas seraya punggungnya bersandar pada kursi singgasana.
"Jika kulakukan, maka mereka akan membentuk kekuatan yang besar dan bisa menjadi ancaman bagi kerajaan," jelas Raja Alexandre.
"Tapi dengan mempertemukan mereka berdua, peluang kita untuk menang peperangan yang akan datang semakin besar, kan?" tanya Leon.
Raja mengangkat satu jarinya di hadapan Leon, tanda kalau dia tidak ingin seseorang menginterupsi perintahnya, bahkan anaknya sendiri.
"Aku yang mengambil keputusan di sini, kau seharusnya tahu hal itu, Leon."
Leon terdiam membisu, dengan kesal, ia berjalan meninggalkan aula dengan perasaan yang berkecambuk. Ketika hendak masuk ke ruangan kerjanya, seorang wanita menyapa Leon dan bertanya tentang kejadian di aula.
"Kau tidak perlu ikut campur, Selena. Ini bukan sesuatu yang bisa dipikirkan dengan mudah oleh seorang wanita," balas Leon, datar.
"Tapi aku juga masih seorang putri, kak. Aku berhak mengetahui apa yang terjadi di sana," ucap Selena, anak bungsu dari Raja Alexandre, masih berusia 20 tahun.
Wajahnya yang cantik dan ayu membuat Leon tak mampu mengabaikannya. Akhirnya, ia membiarkan Selena masuk ke ruang kerjanya dan Leon menceritakan semua yang terjadi di aula kepadanya.
Sedangkan Evan sudah dibawa keluar ibukota dengan kereta kuda. Ia dibawa terpisah dengan Ponrak sehingga Evan tidak akan mengetahui keadaan wanita tersebut.
"Apa kau mendengar semuanya tadi?" tanya pasukan kerajaan tersebut kepada rekannya, pria satunya mengangguk pelan.
"Sangat mengerikan jika harus berada di dekatnya. Berhati-hatilah," jawab rekan pasukan.
Ketika keheningan menghampiri keduanya, tiba-tiba ia merasakan getaran di belakang punggung mereka, tepatnya di dalam kereta yang membawa Evan. Mereka menghentikan kereta tersebut dan mengambil pedang mereka masing-masing.
Dengan hati yang cukup ketakutan, mereka turun dari kemudi dan berjalan ke arah belakang kereta kuda. Seraya menarik napas panjang, salah satu prajurit membuka pintu kereta dan langsung mengacungkan pedang mereka kepada Evan.
Mereka kaget bukan main, Evan yang semula pingsan dan diprediksi tidak akan bangun sampai esok. Kini, pemuda itu sudah bangkit dan duduk dengan nyaman di dalam kereta.
"Kenapa berhenti? Cepatlah! Kita perlu mengejar waktu untuk sampai di utara."