***
Rombongan Evan tiba di Kastil Norman, ia tiba lebih cepat dibanding Ponrak. Hawa dan cuaca daerah utara jauh lebih berbeda dengan ibukota, Evan merasakan angin dingin khas utara mulai berhembus menusuk kulit pemuda tersebut, salju putih yang tak pernah dilihat Evan mulai menarik perhatiannya.
Ia masuk ke dalam kastil, terasa begitu hangat karena obor yang terus menyala di setiap dinding istana. Ketika masuk lebih dalam, ia melihat pemandangan yang tak pernah ia duga.
Aula besar dengan tinggi 5 meter dan luas hampir seukuran lapangan bola dipenuhi sesak oleh orang-orang yang menderita luka. Beberapa perawat dan tenaga medis kerepotan karena hampir tidak ada istirahat bagi mereka.
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Evan, kaget.
"Inilah dampak buruk yang langsung diterima pasukan manusia ketika menghadapi konfrontasi dari para malaikat," ujar salah satu pasukan istana yang berjalan menemani Evan.
"Benarkah? Lalu bagaimana dampak yang diterima dari kubu musuh?" tanya Evan.
Pria di sampingnya menggelengkan kepala seraya menghembuskan napasnya, pelan. Evan menganga kaget, ia tidak menduga kalau manusia tidak memberi dampak apa pun terhadap para malaikat.
"Para malaikat itu sama sekali tidak terluka?" tanya Evan, memastikan.
"Ada yang terluka, tapi jumlahnya tidak sebanyak kita."
Evan berjalan ke tengah aula tersebut, ia merasakan bagaimana suasana menegangkan dan mencekam di tempat tersebut. Persediaan obat-obatan hampir habis dan para pasukan itu masih mengerang kesakitan, beberapa dari mereka menangis karena takut akan kematian yang menghampiri.
"Apa kau tidak bisa membantu menyembuhkan luka mereka? Bukankah kau mendapatkan kekuatan dari Jophiel?" tanya pria di samping Evan dengan nada bicara yang cukup tinggi, beberapa orang yang terluka mendengar sehingga menciptakan keributan di aula tersebut.
"KAU UTUSAN MALAIKAT?!" bentak seorang pria dengan keadaan tangan yang patah dan mata kirinya yang diperban.
"Kau tahu bagaimana penderitaan kami karena malaikatmu itu, Hah?!" sambungnya lagi dengan emosi yang memuncak.
Kekacauan semakin tak terkendali, beberapa orang melempar kursi ke arah Evan. Namun, pria di samping Evan langsung menangkis dan melindungi pria itu dari hujaman kursi.
"Maafkan aku. Sebaiknya kita kembali ke luar," balas pria tersebut, Evan mengangguk dan pergi dengan meninggalkan para pasukan di ruang aula diliputi kemarahan.
Evan merasa bersalah, meskipun ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia menanggung kekuatan yang besar dan kekuatan itu masih belum bisa menyelamatkan mereka. Pendeta Agung yang harus ia temui tidak pernah diketahui di mana keberadaannya dan tampaknya akan sangat sulit bagi Evan mengetahuinya.
"Aku akan pergi, beristirahatlah di ruangan pojok di sebelah sana." Pria itu menunjuk salah satu ruangan tempat Evan akan beristirahat, pemuda itu memerhatikan dengan seksama, tempat itu tidak lebih seperti kandang hewan dibandingkan tempat istirahat.
"Aku akan mencari tempat lain untuk beristirahat."
Dua pasukan itu pergi dengan bergegas, memacu kuda mereka dan melesat dengan cepat meninggal Kastil Norman. Kini, Evan ditinggal seorang diri di tempat tersebut, ia masih belum mendapatkan informasi tentang keberadaan Ponrak.
Ketika hendak memutari kastil, ia mendapati sekelebat bayangan hitam yang begitu cepat melintas di area tengah aula. Awalnya ia mengira jika itu bayangan dari perawat yang bolak-balik untuk mengambil obat-obatan. Namun, kecurigaannya semakin besar ketika mendengar jeritan dari dalam aula tempat para pasukan dirawat.
Evan berlari sekencang angin, membuka gerbang aula dan mendapati sesosok pria bertudung hitam dan bersayap hitam tengah melayang santai di ruangan tersebut. Sebuah tongkat sabit tergenggam di tangan kanan makhluk tersebut.
"Siapa kau?!" bentak Evan, menunjuk makhluk tersebut.
Makhluk hitam itu berhenti dan membalikan tubuhnya, melihat ke arah Evan yang berdiri di depan pintu aula dengan sikap pemberaninya. Pemuda itu tidak mengetahui kalau sosok yang ia panggil tak lain adalah Azrael.
"Bagaimana kau bisa melihatku?" tanya Azrael, dingin.
"Kau terlihat jelas dengan kedua sayapmu itu! Aku yakin mereka semua ketakutan ketika melihatmu," balas Evan, tegas.
Tangan kiri Azrael terangkat dan menunjuk ke beberapa orang di ruang aula, "Para manusia ini tidak bisa melihatku."
"Jangan bercanda! Tidak ada orang gila yang—"
"Hei, Sialan!" sela seorang prajurit yang terbaring di atas meja.
"Kau bicara dengan siapa?!" sambung pria itu lagi dengan nada menghina.
Evan tertegun mendengar ucapan dari pria tersebut, mereka semua memandangi Evan dengan tatapan aneh dan sinis. Benar yang dikatakan Azrael, mereka tidak bisa melihatnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Evan.
"Apa aku perlu memberitahumu? Aku akan datang ketika ajalmu sudah tiba."
"Azrael?" tanya kembali Evan.
Malaikat maut itu kembali ke posisi semula, menghentakkan beberapa kali tongkat sabitnya di atas lantai aula hingga terpancarlah aura hitam yang muncul dari setiap sudut aula. Aura hitam itu akan membunuh beberapa orang yang menurut Azrael pantas untuk dicabut nyawanya.
"Awalnya aku akan membunuh semua orang di sini sesuai perintah Michael. Namun, kau sangat menggangguku. Aku akan memberimu hadiah atas keberanianmu bertanya kepadaku," jelas Azrael.
Tak seperti malaikat lainnya, Azrael pergi menghilang dengan sendirinya layaknya uap panas. Seketika, beberapa orang berteriak dengan kencang, memegangi tenggorokannya seperti tengah tercekik dan tewas setelah beberapa menit bertahan.
Dari 1000 pasukan yang dirawat, sekitar sepertiga pasukan tewas serentak selepas kepergian Azrael dan hal itu membuat sisa pasukan yang masih hidup mulai menyalahkan keberadaan Evan di sana, pasalnya kematian itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Pergilah kau pembawa sial!" bentak salah satu prajurit.
"Kenapa kau menyalahkanku?" tanya Evan.
"Karena kematian ini tiba-tiba datang seiringan dengan kedatanganmu. Apa ini bukan kebetulan, Tuan?" sambung prajurit tersebut.
Tiba-tiba pintu aula diketuk dengan pelan, seseorang dari luar meminta izin kepada para perawat untuk masuk. Setelah diizinkan, orang itu pun segera masuk seraya membawa buku kitab yang cukup tebal. Sorak sorai prajurit terdengar meriah menyambut kedatangan wanita berpakaian gaun putih dengan selendang berwarna biru tua terpasang di kedua pundaknya.
"Permisi, Tuan."
Wanita itu melintas dan seketika berdiri di tengah aula, memegang buku kitabnya dan membacakan mantra yang tak diketahui Evan. Muncul udara entah dari mana yang semakin menghangat menyelimuti tubuh orang di tempat tersebut.
Seketika, para pasukan itu tertidur dengan lelap tanpa memikirkan luka yang mereka dapatkan. Kedatangan wanita itu tak lain sebagai seseorang yang menghilangkan rasa sakit dan trauma di para prajurit.
"Terima kasih atas kedatanganmu, Nyonya Pendeta Suci," ucap salah satu perawat, beberapa kali menundukkan kepala berterima kasih.
"Ini sudah tugasku, ketika Pendeta Agung diasingkan, aku harus berada di sini membantunya sebagai representasi beliau," ungkap wanita tersebut, lemah lembut.
Mendengar perkataan darinya membuat Evan terkejut bukan main. Pemuda itu segera menghampiri Pendeta Suci tersebut seraya memegang tangan wanita itu secara tiba-tiba.
"Kau kenal dengan Pendeta Agung?" tanya Evan, mendadak.
Perawat dan tenaga medis di aula tersebut tak mampu menyembunyikan rasa kaget mereka setelah Evan secara berani menyentuh wanita paling suci di seluruh daratan manusia. Ia dipanggil Pendeta Suci karena dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki mana pun kecuali ayahnya, bahkan ia tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki lain.
Hari ini, Evan menjadi pria pertama yang menyentuh Pendeta Suci sepanjang hidup wanita tersebut. Dengan geram dan marah, ia membuka lembaran buku kitab dan membacakan mantra khusus yang tak Evan ketahui.
Tangan Evan merasa seperti terbakar dan benar saja. Pemuda itu mengerang kesakitan dan melepaskan pegangannya dari tangan Pendeta Suci. Ia bisa melihat telapak tangan kanannya melempuh karena mantra yang dibacakan oleh wanita tersebut.
"Menjijikan! Pria yang tidak punya etika!" hardik Pendeta Suci tersebut, geram.
Tangan Evan merasa kesemutan, untuk sementara waktu, ia tidak bisa menggunakan tangan kanannya karena memerlukan perawatan khusus. Ia masih tidak mengerti kenapa wanita itu membakar tangannya dengan sengaja.
"Argh! Kenapa kau membakar tanganku?!" erang Evan, kesal.
"Kau sudah buat kesalahan besar, Tuan."
"Pendeta Suci sepertinya pantang untuk disentuh oleh seorang lelaki, bahkan orang yang mencobanya saja bisa dihukum penjara."
Penjelasan kedua perawat yang menolong Evan membukakan pikirannya. Ia memang bersalah karena menyentuh wanita itu tanpa izin.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau adalah Pendeta Suci." Evan menundukan kepalanya ketika terduduk lemas di atas lantai aula, ia sesekali mengerang kesakitan tatkala perawat itu mengoleskan salep di telapak tangannya.
"Tak beretika dan pendusta! Seharusnya kau dibakar hidup-hidup di ibukota, Pria busuk!" ancam Pendeta Suci.
"Aku tidak berbohong. Aku bukan berasal dari dunia ini," balas Evan, pasrah.
Pendeta Suci itu terdiam dan memilih meninggalkan Evan dengan perasaan hati yang kacau. Ia tidak ingin berbalik menoleh kepada Evan meskipun tampang pemuda itu cukup tampan.
"Maafkan aku. Namun, bisakah kau menolongku untuk satu hal?" tanya Evan, memohon.
Pendeta Suci itu masih terdiam dan memilih mengabaikan pertanyaan Evan.
"Aku harus bertemu dengan Pendeta Agung untuk menyampaikan pesan Jophiel kepadanya," jawab Evan, tegas.
Langkah wanita itu terhenti, matanya membelalak dan tubuhnya berbalik kembali memandang Evan yang masih terduduk di lantai aula tak berdaya.
"Jophiel? Jangan berbicara yang tidak-tidak, Tuan," ucap Pendeta Suci, tak percaya.
"Aku tidak mengada-ada, ini benar." Evan membuka pakaiannya secara mendadak, membuat para perawat dan Pendeta Suci serentak memalingkan wajahnya, wajah mereka memerah karena sikap absurd yang ditunjukan oleh Evan.
"Sungguh! Aku tidak ingin melihatmu lagi seumur hidupku!" bentak Pendeta Suci, merasa ternodai.
"Nyonya."
Perawat tadi melihat dada Evan dengan seksama, mereka tak mampu berkata-kata tatkala melihat lambang Jophiel yang tercetak jelas di tubuh Evan. Pendeta Suci juga ikut melihat dada Evan, meski dengan mengintip.
Wanita suci itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Ia benar-benar salah tanggap terhadap Evan, tetapi ia masih terpikirkan bagaimana Evan bisa mendapatkan kekuatan dari Jophiel.
"Bagaimana bisa kau mendapatkan lambang itu?"