***
Satu bulan kemudian.
Evan bersama Ponrak berhasil keluar setelah bantuan dari ibukota kerajaan datang. Mereka datang setelah mendengar informasi dari pedagang yang tak sengaja melintas dan melihat wujud dua malaikat agung di desa tersebut.
Kini, Evan dan Ponrak dibawa oleh pasukan kerajaan untuk menghadap Raja, Alexandre. Sang Raja ingin mengetahui apa yang terjadi di desa tersebut dan kenapa dua malaikat agung sampai datang ke sana.
Sampai di gerbang Ibukota, Evan merasakan hawa yang berbeda menghinggapi dirinya. Rasanya seperti sesak di dadanya tepat ketika ia sudah melewati tugu selamat datang kerajaan tersebut.
Evan terjatuh dengan tetap bertumpu pada tangan kanannya, mencoba menarik napas panjang dan menenangkan dirinya. Namun, hal itu sia-sia.
"Apa yang terjadi?" Ponrak begitu khawatir, perasaan kesal dan marah akibat keegoisan Evan satu bulan lalu sudah sirna setelah ia mengetahui sikap pemuda itu secara langsung di desanya.
"Hentikan kereta ini!" pinta Ponrak, tegas.
Kusir kuda segera menghentikan kereta dan berjalan ke belakang bagian kereta, membuka pintu kayu tersebut dan melihat Evan tergeletak tak berdaya di atas lantai kereta. Ponrak meminta bantuan kusir tersebut, tetapi pria tua itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Cepat cari dokter!" perintah Ponrak, kusir itu segera berjalan meninggalkan kereta tersebut, beberapa prajurit juga ikut membantu mencarikan dokter bagi Evan.
Menunggu selama lima belas menit, akhirnya dokter itu datang. Seorang wanita tua dengan pakaian serba putih dan mengenakan tudung berwarna hitam. Ia dikenal sebagai dokter handal yang banyak mengobati penyakit-penyakit langka,
"Apa yang kau rasakan?" tanya dokter kepada Evan.
"Dadaku, rasanya sungguh sesak." Evan membuka kancing pakaiannya dan memerlihatkan tubuh bagian atasnya yang tampak tidak begitu atletis, tapi cukup berisi. Dokter tersebut membelalakan kedua matanya, tak sanggup berkedip sesuatu yang tercetak jelas di dada Evan.
"Ini lambang Jophiel," ucap dokter, terkesiap.
"Benarkah?"
Ponrak memerhatikan dengan jelas, garis dan titik yang berada di dada Evan membentuk lambang yang kembali mengundang kenangan buruk pada gadis itu.
Sebelumnya tidak pernah ada kasus lambang malaikat agung yang berpindah tempat, semua orang yang menjadi utusan malaikat hanya memiliki lambang di punggung tangan.
"Bagaimana bisa lambang Jophiel berpindah ke dadamu, Evan?" tanya Ponrak, penasaran dan terkejut.
"Aku ... tidak tahu. Tolonglah, aku tidak kuat lagi," pinta Evan, napasnya terdengar begitu terengah-engah, mencoba bertahan dari rasa sesak yang semakin lama semakin memenuhi rongga dadanya.
Setelah memeriksa, dokter itu tak menemukan sesuatu yang salah dengan tubuh Evan. Ponrak semakin khawatir dengan keadaan Evan, bahkan matanya begitu berkaca-kaca ketika melihat wajah pemuda tersebut sudah begitu pucat.
Datang melintas, dua orang pria muda dengan berpakaian serba hitam melihat keributan di dalam kereta Evan. Mereka berinisiatif untuk menghampiri dan melihat kondisi yang terjadi di sana, ia sama kagetnya dengan dokter tatkala melihat Lambang Jophiel di dada Evan.
"Bagaimana bisa dia...?" tanya salah satu pria seraya menunjuk tubuh Evan.
"Apa kau tahu sesuatu tentang kondisinya?" tanya Ponrak, berharap.
Pria itu menoleh dan memandang wanita tersebut, ia mengangguk untuk menjawab pertanyaan darinya. Situasi yang Evan alami adalah dampak dari penghalang sihir yang dipasang mengelilingi gerbang ibukota.
"Aku tidak membawa obatnya, sebaiknya kalian bawa dia keluar gerbang," ucap pria tersebut, ia menggulung lengan bajunya dan menyuruh rekannya pergi ke akademi untuk membawa obat bagi Evan.
Ponrak tak punya pilihan lain. Ia mengambil salah satu kuda dan membawa Evan bersamanya seraya menunggangi kuda. Kedua orang itu melesat dengan kencang mengabaikan kerumunan orang yang banyak berjalan di jalanan utama ibukota.
"Bertahanlah, Evan."
Evan mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya di punggung Ponrak seraya kedua tangannya memeluk wanita tersebut dengan erat. Terasa tubuh wanita itu begitu hangat dan harum, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan seumur hidupnya.
Tak lama, Evan sudah berada di luar gerbang. Ia mencoba menarik napas panjang dan akhirnya ia bisa bernapas secara normal kembali. Rasa sesak yang semula membelenggunya, kini menghilang begitu saja layaknya jejak kaki di pasir pantai.
"Pria berpakaian hitam itu benar, penghalang di gerbang ibukota membuatku tersiksa."
Evan beristirahat di bawah pohon besar, dekat dengan kedai roti yang cukup ramai oleh pengunjung. Sembari menunggu kehadiran pria tadi, ia terus memerhatikan kemegahan bangunan-bangunan di ibukota, sesuatu yang berbeda dengan bangunan di dunianya.
"Mereka pasti sudah mengetahui kalau aku memiliki hubungan dengannya," ucap Evan, memikirkan tentang reaksi kusir kereta, dokter, dan dua pria yang sempat melihat Lambang Jophiel di dadanya.
"Kemungkinan terburuknya itu, apalagi jika mereka melihat keadaanmu yang kembali normal," balas Ponrak.
Situasi yang dialami Evan cukup rumit. Jika ia terbukti memiliki hubungan dengan Jophiel, maka seisi kerajaan akan memburunya dan bahkan orang-orang tertentu akan menggunakan tubuhnya sebagai media percobaan.
Mereka datang bersama pasukan kerajaan berseragam besi lengkap dengan pedang panjang dan perisai yang menghiasi ketangguhan mereka. Pria tersebut datang bersama seorang pria tua yang berpakaian serba putih dengan memegang tongkat panjang berlapiskan perak.
Penampilan yang cukup eksentrik itu menimbulkan tanya di benak Evan, siapa sebenarnya pria tua tersebut?
"Prajurit! Cepat kepung dia."
Seketika derap langkah yang kuat tercipta seiringan dengan tertangkapnya Evan oleh mereka. Hal buruk pun benar-benar menghampiri Evan akibat Lambang Jophiel yang diketahui umum.
Evan bangkit, ia menatap kedua mata pria tadi dengan tajam. Ponrak berada di belakang punggung pemuda tersebut seraya mengeluarkan belati miliknya.
"Apa maksudnya ini?" tanya Evan.
Pria tua itu berjalan mendekati Evan, wajahnya begitu angkuh dan terlihat aura kebencian terpancar dari kedua matanya. Mereka saling beradu pandang cukup lama sebelum pria di hadapan Evan mengayunkan tangan ke arah pria di belakangnya.
"Tangkap kedua orang itu!" ucap pria tersebut, Ponrak bereaksi setelah mendapatkan perlawanan dari prajurit kerajaan.
Ia mengalahkan beberapa orang dan menarik tangan Evan untuk segera kabur dari tempat tersebut. Evan mengangguk dan pergi dengan berlari bersama Ponrak hingga keduanya tak terkejar.
Mereka bersembunyi di sebuah rumah kosong dekat dengan ladang pertanian. Evan menjadi buronan kerajaan setelah diduga memiliki hubungan dengan Jophiel. Raja mengutus beberapa orang untuk mencari Evan dan menginterogasi pemuda tersebut.
Keadaan ibukota cukup genting. Prajurit kerajaan cukup pandai, mereka tidak mencari Evan di dalam gerbang ibukota karena mereka tahu kalau pemuda itu tidak akan bertahan dengan tekanan dari penghalang sihir yang digunakan istana.
Malam hari pun datang, prajurit kerajaan terus melakukan pencarian tanpa mengenal waktu. Evan dan Ponrak aman di rumah tersebut, mereka terus memikirkan bagaimana cara mereka menghindar dari para prajurit kerajaan.
"Mereka sepertinya menambah pasukan menjadi lebih banyak. Kita akan tertangkap jika tetap berada di sini," balas Evan, memandang obor prajurit kerajaan yang semakin banyak terlihat.
"Ke mana kita akan pergi? Apa kau punya ide?" tanya Ponrak, pasrah.
"Satu-satunya tempat yang aman adalah di dalam gerbang ibukota kerajaan," ujar Evan dengan ekspresi serius.
Ponrak tertawa terkikih mendengar perkataan Evan. Sudah cukup sulit bagi mereka untuk bersembunyi dari kejaran prajurit, tetapi Evan justru ingin mendatangi para prajurit itu. Ponrak yang tidak tahu mau kemana lagi hanya bisa pasrah mengikuti keinginan dari pemuda tersebut.
"Baiklah. Bagaimana kita akan masuk ke sana? Apakah dengan mengetuk gerbang ibukota sambil berkata 'Yoo, utusan Jophiel ingin masuk' kepada mereka?" ucap Ponrak berkelakar.
Evan menutup jendela dengan kain yang ia temukan, "Kita perlu menangkap prajurit kerajaan dan menyamar sebagai mereka masuk ke istana."
"Itu gila!" keluh Ponrak.
"Entahlah apakah hal gila akan kembali terjadi di sini, aku pun tak tahu."