Sofia terduduk di halaman rumahnya, ditemani bintang juga embusan angin malam yang menyapu kulit putihnya.
Wajah yang pucat, mata sedikit menghitam kini menjadi ciri khasnya. Perutnya kini tak lagi datar, ada bayi berusia 3 bulan di dalam sana.
"Ayahmu, kira-kira ke mana dia pergi?" tanya Sofia pada perut yang sedang ia usap pelan.
Wanita itu menatap langit yang tampak mendung, sinar bintang perlahan meredup. Seperti suasana hati Sofia yang tidak pernah baik-baik saja semenjak kepergian sang suami.
"Zeno, setidaknya beri saya petunjuk. Saya harus bagaimana? Jika kamu berada di suatu tempat, tolong beri saja arahan agar bisa menyusulmu," lirih Sofia teredam suara burung hantu yang terbang tepat di hadapan netra madunya.
Air mata Sofia mengalir deras, lebih deras dari rintik hujan yang mulai turun membasahi dedaunan.
Wanita berambut panjang itu menyandarkan tubuhnya pada tiang yang sudah tampak tua di belakangnya. Memejamkan mata, menikmati percik hujan yang menyapa wajah indah tanpa cacat yang Sofia punya.
Hingga suara sang ibu terpaksa harus membuatnya membuka mata perlahan.
"Sofia, masuk ya. Sebentar lagi hujan deras, nanti kamu sakit terus bayinya juga ikut sakit. Kasihan kan, dia masih kecil, hmm?" ucap sang ibu dengan lembut.
Wanita tua yang mulai sakit-sakitan itu merapikan rambut Sofia agar tidak mengganggu wajah cantiknya.
"Ibu, dia sudah sebesar apa kira-kira?" tanya Sofia saat sang ibu menyentuh perutnya.
"Ibu lupa, Nak. Tapi, mungkin saja sudah sebesar kentang kerajaan yang berkualitas bagus," jawab wanita tua itu diiringi gurauan.
Sofia tersenyum, di depan ayah dan ibunya ia tampak baik-baik saja. Namun, dia menangis pilu saat sedang sendirian.
"Bagaimana rasanya mengandung? Apa ada kesulitan?" tanya sang ibu kembali, wanita itu sering menciptakan obrolan agar Sofia tidak merasa kesepian.
"Seperti sebuah keajaiban, katanya ada makhluk mungil yang hidup di perut saya. Namun, hingga saat ini saya tidak merasakan kehadirannya. Apa itu normal, Bu?" gumam Sofia sembari mengerucutkan birai persiknya akibat hujan yang tak jadi datang.
"Satu bulan lagi, dia akan bergerak. Dia akan menyapa ibunya, kamu bisa mengajaknya bercanda. Menurutmu, dia lelaki atau perempuan?"
Sofia mengedikkan bahunya, ia tidak pernah memikirkan jenis kelamin buah hatinya bersama sang suami.
"Apakah, dia akan mencari ayahnya?" lirih Sofia tanpa sadar.
"Sofia, mari masuk. Cuacanya sedang tidak baik. Nanti kamu sakit," ajak sang ibu yang langsung dituruti olehnya, angin malam tidak baik untuk sang ibu.
Sesampainya di dalam, Sofia mengunjungi kamar sang ayah untuk melihat keadaannya yang kian hari semakin menurun.
Wanita cantik itu menatap nanar ke arah pria yang sudah menyayangi dan menghidupinya hingga sebesar ini.
Sofia mendekat, tidak berani menyentuh karena takut membuat ayahnya terbangun. "Ayah, Maaf kak Sofia. Di usia Sofia saat ini, harusnya Sofia tidak lagi menyusahkanmu. Tapi, takdir mempermainkan hidupku, Ayah."
Tirta di netranya mulai turun, menyapa pipi Sofia yang tampak mulai berisi. Kesedihan juga kekecewaan terpancar dari mata sewarna madu yang tengah menatap sendu ke arah ayahnya.
"Ayah, Sofia berjanji akan menemukan Zeno. Sofia yakin, dia bukan pria yang buruk. Pasti, ada sesuatu yang membuatnya harus pergi begitu saja tanpa berpamitan. Sofia harap, Ayah masih bisa bersabar sedikit lagi, hmm?" lirih Sofia.
Wanita itu berdiri perlahan meninggalkan sang ayah yang tertidur sendirian, yang tanpa Sofia tahu jika sang ayah tidak lagi tertidur. Pria tua itu mendengar semua yang buah hatinya katakan.
"Maafkan Ayah, karena sudah menyembunyikan fakta besar tentang siapa suamimu yang sesungguhnya. Ayah tidak punya nyali untuk menceritakan semuanya," isaknya.
***
Sofia membuka papan kayu tempat ia menata pakaiannya. Wanita itu menarik sehelai dan memeluknya erat.
Aroma tubuh Zeno masih menempel di sana, Sofia masih bisa merasakan kehadirannya.
"Apakah kamu baik-baik saja saat ini? Berikan saya jawaban sedikit saja, saya merindukanmu suamiku," rintih Sofia yang tetap setia mendekap helai pakaian di pelukannya.
Sofia membawa benda mati itu tidur di sampingnya. Seolah sang suami menemani sepi malamnya bersama dengan jam pasir yang berada di dekat kepala.
"Selamat tidur suamiku, datanglah di mimpiku sebagai pengobat rindu. Cepatlah pulang jika urusanmu sudah selesai. Saya dan bayi kita menunggu kehadiranmu."
Sofia memejamkan mata, sang bayu tampak malu-malu ingin mengganggu. Sepertinya alam tahu, jika Sofia tengah merindukan kekasih hatinya. Seolah langit paham jika Sofia tengah dilanda keresahan dalam benaknya.
Mereka mulai tenang dan menciptakan kesunyian, membuat tidur Sofia tampak hening dan juga lena.
"Sofia, Shehrazat mencarimu." Sang ibu menggoyangkan bahu anaknya perlahan.
Mentari fajar tampak mengintip malu, sedikit demi sedikit mulai menampakkan eksistensinya.
"Sudah pagi, Bu?" Sofia meregangkan raganya, wanita itu tampak lebih hidup dari hari sebelumnya.
"Shehrazat, dia mencarimu. Dia menunggu di luar."
Sofia tersenyum cerah, secerah cuaca yang tampaknya akan sangat bagus untuk hari ini.
Sofia menghampiri sahabatnya sedari kecil, wanita itu jarang sekali pulang. Shehrazat mengabdikan diri bersama sang bibi di Kerajaan sebagai pelayan.
Sofia memukul pelan bahu sang sahabat. "Jahat sekali, kamu tidak pernah pulang. Hanya memberikan kabar lewat surat yang belum tentu satu bulan sekali kamu kirimkan."
Shehrazat tertawa, "Saya dengar Sofia menikah, dan apa ini? Kamu sedang mengandung? Kenalkan saya pada suamimu!"
Senyum manis Sofia luntur begitu saja saat mendengar ucapan antusias dari sang sahabat. "Dia, sedang bekerja jauh. Nanti, saat dia pulang, saya akan perkenalkan padamu."
Shehrazat mengangguk ribut, "Baiklah, tapi saya juga membawa kabar baik. Pangeran Mahkota Zen Williams akan menikah dua bulan lagi."
"Raja akan memberikan sedekah besar-besaran untuk rakyatnya. Saya harap kamu datang, dan kita bisa bertemu di sana. Izinlah dulu pada suamimu, jangan lupa!" ujar Shehrazat semangat.
Sofia tersenyum, walaupun pucat namun wajahnya tetaplah terlihat sangat indah. Tiga tahi lalat di wajahnya, yang jika dihubungkan akan membentuk sebuah rasi bintang.
"Saya tidak yakin, bukankah dua bulan lagi kandungan saya menginjak usia 5 bulan. Itu akan sangat sulit untuk bepergian jauh, apalagi berjalan kaki," jelas Sofia.
Shehrazat mengangguk pelan, ia setuju dengan perkataan Sofia. "Benar juga. Tapi, barangkali jika berjumpa dengan Pangeran Mahkota, bayimu bisa setampan dia jika berjenis kelamin laki-laki?"
"Memangnya, setampan apa Pangeran Mahkota itu?" tanya Sofia penasaran.
Shehrazat mengedikkan bahunya, "Saya juga tidak tahu, tidak ada yang berani melihat wajah sang Pangeran. Sampai saat ini, saya juga penasaran."
"Setampan apa pun wajah Pangeran, namun saya lebih suka jika wajah bayiku mirip dengan ayahnya."
Sofia tersenyum, ia masih menyimpan harapan besar tentang sosok lelaki tampan dengan tahi lalat di bawah matanya. Lelaki yang menikahi lalu meninggalkannya tanpa pesan beberapa bulan lalu.
"Saya harap, kamu baik-baik saja di mana pun tempatmu berada."