Duduk tegak sembari mengusap perutnya yang kini sudah mulai membesar. "Tidak terasa, sudah lima bulan saya membawa kamu. Sudah lima bukan kamu menggantungkan hidupmu padaku."
Sofia tersenyum, saat merasakan pergerakan janinnya di dalam sana. Sesekali wanita cantik itu menekannya dengan jari telunjuk, seakan menggoda sang bayi yang sedang tumbuh dan berkembang di dalam rahimnya.
"Apakah kamu, juga merindukan ayahmu, hmm?" gumam Sofia. Wanita itu masih betah menemani sang bayu yang terus menusuk kulitnya dari beberapa jam yang lalu.
Hal seperti ini sudah menjadi kegiatannya semenjak sang suami yang tiba-tiba saja pergi tanpa berpamitan padanya. Perginya juga seperti ditelan bumi, tidak pernah ada kabar sama sekali.
Prak!
Sofia terkejut, saat mendengar suara benda terjatuh yang ia yakini berasal dari kamar kedua orang tuanya. Perlahan wanita itu beranjak dari duduknya untuk melihat sedang ada kejadian apa di dalam sana.
"Ayah, kenapa tidak memanggil Sofia?" tanya sang anak penuh kelembutan. Ia melihat sebuah kendi pecah terjatuh dari nakas sebelah ranjang tidur yang terbuat dari bambu.
"Maafkan Ayahmu ini, Anakku. Ayah dan ibu hanya bisa menyusahkanmu," ucap ayah sangat lirih. Mungkin, jika di dalam tidak sunyi maka suaranya tidak akan terdengar sampai ke telinga Sofia.
Sofia menatap ayah dan ibunya sendu. "Tolong, saya mohon! Jangan mengatakan hal seperti itu. Tidak ada yang merasa terbebani di sini, saya menyayangi kalian sepenuh hati saya."
Kini, kedua netra sepuh itu mengeluarkan tirta bening yang terus mengalir dari empunya. "Kami bersyukur memiliki Sofia dalam hidup kami. Nanti, jika Ayah berpulang terlebih dahulu, tolong jaga dirimu baik-baik ya Ananda?"
Sofia tidak tahan, kini ia melanggar janji untuk tidak menangis di hadapan kedua orang tuanya. "Jangan berkata seperti itu. Ayah dan ibu pasti sembuh, temani saya. Saya ingin memperkenalkan kalian kepada anak saya nanti."
Wajah yang biasanya tampak pucat kini terlihat memerah, akibat tangis yang sudah lama ia tahan telah keluar. Kedua telapak tangannya yang kecil menutup ke area wajah, agar ayah dan ibu tidak bisa menyaksikan dirinya terpuruk.
"Anakku, berjanjilah pada Ibu. Jangan pernah mencari keberadaan suamimu sampai kapan pun. Hiduplah dengan baik di sini Anakku." Ibu Sofia mengatakannya dengan lirih. Selain karena ia sakit, wanita tua itu juga tidak sampai hati mengatakan pada anakknya.
"Kenapa Ibu? Apa yang sedang kalian sembunyikan? Apakah saya tidak berhak mengetahuinya?" tanya Sofia pelan.
Bukan jawaban yang Sofia dapatkan, yang ada hanya tangisan pilu kedua orang tuanya. Ia tidak tega, wanita itu tidak sanggup melihat kedua orang tuanya menderita. Selama ini sudah cukup hidup mereka penuh dengan kesengsaraan. Sekarang, jangan lagi.
"Baiklah, Sofia akan melupakan ini. Sofia tidak akan pernah menanyakan hal ini lagi pada kalian. Ini yang terakhir, Sofia berjanji."
Wanita berambut sewarna arang itu mengela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia hanya sedang mencoba untuk menenangkan hatinya yang gundah.
"Saya berjanji tidak akan mencari suami saya. Tetapi, jika kami tidak sengaja bertemu suatu hari nanti. Maka, saya akan memintanya untuk pulang kembali. Ada seorang anak yang harus ia didik di kemudian hari," lanjut Sofia.
***
Sofia dan beberapa tetangganya tengah mencari kayu bakar di dalam hutan. Sedikit bersusah payah untuk bergerak karena terkendala oleh perutnya.
"Sofia, sebenarnya ke mana suamimu pergi? Katamu dia bekerja ke kota, namun sampai saat ini tidak pernah tampak lagi batang hidungnya," tanya salah satu wanita paruh baya yang tengah menyusui anaknya.
Sofia tersenyum tipis, beberapa bulan lagi ia juga akan sama seperti wanita itu. Menyusui anaknya dengan hati yang bahagia. Walaupun dalam hatinya ia merasa malu jika melakukannya di alam terbuka seperti ini.
"Hey, Sofia?" wanita paruh baya itu kembali menyentuh bahu Sofia untuk menyadarkan wanita muda itu yang sepertinya tengah melamun.
"Sepertinya akan hujan, bagaimana kalau kita pulang? Kasihan anak Anda jika kehujanan nanti," ajak Sofia.
Namun, belum sempat mereka berdiri. Seseorang datang dengan napas terengah, mengabari jika ayah Sofia mengalami kejur dan sulit untuk disadarkan. Untung saja tadi pria paruh baya itu datang untuk memberikan makanan yang berlebih di rumahnya.
"Sofia, ayahmu. Beliau mengalami kejang, sudah dicoba untuk disadarkan namun sulit. Mari pulang, bawa dia ke tabib sesegera mungkin!"
Wanita bernama Sofia itu langsung berjalan tergesa, ia masih tahu diri untuk tidak berlari. Sesampainya di rumah ia segera menghampiri sang ayah, pria tua itu sudah tidak mengalami kejang. Namun, beliau tidak sadarkan diri saat ini.
"Ayah, bukankah tadi Ayah baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Tangis Sofia mengudara, tidak dapat ia bayangkan bagaimana rasa sakit yang ayahnya derita.
"Paman, tolong ayah saya. Bawa dia pada tabib, saya akan mengikuti dari belakang."
Setelah hampir setengah jam perjalanan, kini ayah Sofia sudah diperiksa oleh tabib. "Ananda, harapan untuk sembuh sangat sedikit. Ini juga membutuhkan biaya yang sangat banyak, apakah Ananda yakin ingin melanjutkan metode pengobatan ini?" tanya Tabib.
Sofia mengangguk yakin, "Lanjutkan saja, saya akan pergi untuk mencari biayanya. Setelah dapat, saya akan kembali ke sini."
Setelah berpamitan, Sofia bergegas pulang. Masih ada ibunya yang harus ia rawat di rumah, ia juga harus mencari biaya untuk pengobatan sang ayah nanti.
Di dalam perjalanan, wanita itu beristirahat sejenak di bawah pohon besar yang rindang. Keringat mengucur deras dari pelipis hingga ke wajahnya. "Saya berharap, kamu kuat di dalam sana ya?" gumam Sofia sembari mengusap perutnya dengan sayang.
Mata Sofia memicing saat ia melihat seseorang dari jauh sedang menuntun kudanya. Ia merasa familier dengan pria berambut perak di sana. Sofia segera menunduk, ia menunggu pria itu dekat dengan dirinya.
Saat suara tapak kaki kuda mulai terdengar keras, Sofia mendongak. Netranya bertemu dengan mata seorang pria yang tampak seperti kelereng. "Tuan Thruv Niramon? Itu Anda bukan?"
Tubuh Thruv menegang, ia mengenal betul siapa wanita hamil yang berada di hadapannya saat ini. Hamil? Thruv baru menyadarinya. Lalu, apakah dia anak dari ....
"Tuan? Bisakah Anda memberi tahu saya di mana adik Anda berada?" tanya Sofia senang, ia seperti baru saja merasakan angin segar di kehidupannya.
"Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda. Bisakah memberikan saya jalan? Saya ada urusan yang lebih penting dari ini. Menyingkirlah!" bentak Thruv.
Sofia menegang, ia tidak mungkin salah orang. Bola mata, kulit juga warna rambut, dia masih sama. Seseorang yang Zeno kenalkan sebagai sang kakak saat meminangnya. "Maafkan saya jika begitu adanya. Mungkin saya memang salah mengenali Anda."