Chereads / The Kingdom Of Zen William / Chapter 9 - 9.Jubah Bordir Bunga Sakura?

Chapter 9 - 9.Jubah Bordir Bunga Sakura?

Sepanjang malam Sofia terus memikirkan seluruh perkataan Thruv Niramon. Bahkan pertemuan mereka juga tidak menghasilkan informasi apa pun tentang Zeno Bridgestone.

Sofia tidak lagi memiliki ide apa pun. Kepergian Zeno benar-benar buntu untuknya. Wanita cantik itu sudah tidak memiliki harapan lagi, mungkin Zeno memang sudah tidak ingin bersamanya kembali.

"Sofia," lirih ibu yang semakin hari sudah semakin parah keadaannya.

"Iya Ibu. Apakah ada yang terasa sakit?" tanya Sofia sembari mendekatkan diri kepada ibunya.

Ibu menggeleng pelan, tubuhnya yang ringkih sudah tidak mampu bangun lagi. "Bagaimana keadaan ayahmu? Apakah sesuatu yang buruk terjadi?" tanyanya.

"Tidak Bu, tidak ada yang serius. Ayah hanya perlu sedikit beristirahat lebih lama agar lekas pulih keadaannya.

Ibu meneteskan air mata, ia ingin memberitahukan semua yang terjadi pada Sofia. Ia takut jika tidak sempat lagi untuk mengatakannya. Karena, semakin hari keadaannya kian memburuk. Namun, ibu juga tidak mengerti harus memulainya dari mana.

"Apa Sofia masih menunggu kedatangan suamimu, Nak?" tanya ibu tiba-tiba.

Wanita hamil yang tengah sibuk mengusap perut besarnya itu menunduk dalam. Ia ingin bilang tidak, tetapi hatinya mana bisa berbohong. "Saya sangat mencintai dia Ibu," lirihnya.

"Lupakan dia, Sofia. Jangan mengharapkan dia kembali, jangan lagi. Percaya pada Ibumu kali ini, besarkan anakmu sendiri. Didik dia dengan sebaik mungkin, karena Ibu tidak bisa berjanji akan menemanimu mengasuhnya."

Ucapan sang ibu tak ayal membuat tubuh Renata gemetar ketakutan. Sedikit pun ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika ia hidup sendirian. Ia tidak akan sanggup, Sofia tidak mau.

"Ibu, harus berapa kali Sofia katakan pada Ibu. Jangan pernah berbicara seperti itu. Memangnya, Ibu tega meninggalkan Sofia sendirian?" tanya wanita cantik dengan wajahnya yang tampak semakin pucat karena kelelahan.

Sofia berdiri perlahan, meninggalkan sangat ibu sendirian. Ia tidak sanggup hanya sekedar membayangkan. Bagaimana pedihnya hidup sendirian, ia tidak bisa.

Di bawah langit yang hari ini tampak sangat cerah. Wanita itu ingin mengeluh sejenak, menumpahkan seluruh lelah yang sudah ia pikul seharian.

Pikirannya tidak bisa bergerak hanya kepada satu arah. Ada ibu di rumah, ayahnya yang juga tengah sakit di bawah pengobatan tabib, Zeno yang menghilang juga biaya untuk melahirkan buah hatinya.

Sofia sudah tidak mengerti, harus dengan cara apalagi ia mendapatkan uang. Perutnya semakin membesar, jika ia nekat bekerja lebih keras lagi, bukankah itu tidak akan adil untuk anaknya?

Namun, jika ia tidak memiliki mendapat penghasilan tambahan, bagaimana tanggung jawabnya sebagai seorang anak?

"Sekarang saya harus apa? Zeno, bisakah kamu kembali? Tolong saya," isak Sofia pilu.

Rambutnya yang tak lagi rapi tampak semakin acak-acakan tertiup angin. Wajah ayunya masih sama, namun ekspresinya sudah jauh berbeda.

Birai ranumnya kini memucat. Senyum tak lagi terukir dari bibir yang dulunya sewarna buah persik.

"Kenapa Zeno? Apakah ada sesuatu yang membuatmu melakukan ini kepada saya? Tolong datang, jawab semua rasa penasaranku ini."

Suaranya lirih, semakin sayup terdengar saat mengudara bersamaan dengan angin malam yang terasa sejuk mendekap raga.

Netra Sofia memejam, berharap saat ia bangun nanti semua yang terjadi saat ini hannyalah sebuah mimpi.

"Saya berharap, ini semua tidak nyata. Saya berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik lagi. Saya berjanji tidak akan menikah seumur saya, jika ini memang benar hanya ilusi."

Mata terpejam, kesadarannya sudah mulai menghilang. Wajah cantiknya dibelai angin dan sesekali daun kering berguguran menyapa pipinya.

Di kejauhan sana, lelaki berambut perak dengan rahangnya yang tegas tengah berdiri tegak. Menatap nanar wanita yang kini tertidur di teras rumah tanpa selimut ditemani oleh rembulan.

Rasa bersalah bersarang dalam hatinya. Jika saja waktu dapat diulang, ia tidak akan menyetujui permintaan adik tirinya. Ia tidak akan ikut andil dalam penderitaan yang Sofia rasakan.

"Maafkan saya, saya memang orang bodoh. Saya selalu menjadi pecundang seperti ini, saya tidak bisa. Saya tidak memiliki kuasa apa pun," ucap Thruv disela lamunannya.

Pria itu mendekat ke arah Sofia. Membuka jubah yang ia kenakan, lalu menyelimutkan pada istri adiknya.

"Selamat tidur, semoga Yang Kuasa sedikit berbaik hati padamu. Maafkan saya," ucap Thruv sebelum berlalu meninggalkan raga ringkih wanita kesayangan Pangeran Mahkota.

***

Sofia membuka mata perlahan, saat merasakan tangan dingin menyentuh pipinya. Sedikit menggeliat kesadaran Sofia telah kembali sepenuhnya.

"Syehrazat? Kamu datang?" ucap Sofia serak.

Sahabat Sofia mengangguk antusias. "Iya, jangan lupa besok datang. Pangeran Mahkota akan menikah, sedekah yang Raja berikan tidak karuan banyaknya."

Sofia menunduk sedikit untuk menatap perutnya, ia bimbang namun ia butuh. "Menurut Syehrazat, ini akan aman untuk saya kan? Sebenarnya ada seseorang yang meminta saya untuk tidak hadir di sana. Namun, saya membutuhkan sedekah yang akan Raja berikan."

Syehrazat tampak bingung, beberapa kali gadis itu mengusap dagu tanda sedang memikirkan solusi untuk sang sahabat.

"Begini saja, saya akan menemani kamu. Hari ini biar bibi saja yang kembali ke Istana. Saya akan menemanimu besok?" ucap Syehrazat antusias.

Sofia menggeleng ribut. "Tidak, jangan lakukan itu. Kamu bisa terkena masalah karena saya."

Syehrazat mencubit pipi Sofia. "Tidak perlu khawatir. Saya kenal dengan anak selir Raja. Saya akan meminta bantuan darinya, bagaimana?"

Binar di wajah Sofia mulai terlihat, wanita itu seperti mendapatkan angin segar dari segala kegundahan hatinya. "Mau! Terima kasih sekali. Tapi, ada hubungan apa kamu dengan anak selir Raja itu, hmm?" godanya.

Syehrazat tampak tersipu malu, "Saya menyukainya sejak lama."

Namun, sedetik kemudian wajah gadis itu muram. "Tetapi, kemarin dia bercerita pada saya. Bahwa dia mencintai wanita yang seharusnya tidak pernah ia cintai."

"Awalnya saya berfikir jika itu saya. Namun, setelah dia sering menceritakan wanita pujaannya, itu bertolak belakang dengan keadaan saya," lanjut Syehrazat sedih.

Sofia melihat dengan jelas binar mata Syehrazat. Sahabatnya itu betulan sedang jatuh cinta. Namun sayangnya, ia belum mendapatkan balasannya.

"Memangnya, lelaki yang kamu cintai itu tampan?" tanya Sofia mencoba memecah suasana yang mulai sendu.

Sang sahabat mengangguk antusias. "Sangat tampan. Rambutnya berwarna perak, rahangnya tegas. Tinggi dan gagah, sangat tampan."

Syehrazat menghirup napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Thruv Niramon. Namanya saja sangat tampan. Iya kan?'

Sofia yang tadinya tersenyum manis, kini berubah menegang. Thruv Niramon? Apakah dia orang yang sama?

"Sofia, jubahmu ini dari siapa? Ini seperti bordir jahitan tangan saya. Saya menjahitnya 3 hari untuk membuat motif sakura ini?"

Sofia mengangkat jubah yang baru ia sadari keberadaannya. Ia juga tidak tahu dari mana benda itu berasal.

"Sofia, apakah kamu mengenal Thruv?"