Berita tentang rencana pernikahan Pangeran Zen Williams sudah tersebar di seluruh penjuru dunia. Seluruh rakyat ikut merayakan dan berbahagia dengan kabar yang tersebar dari istana.
Namun yang Sofia tidak mengerti, setelah kabar sampai ke telinga kedua orang tuanya. Mereka berdua jatuh sakit secara bersamaan. Kini, sudah hampir 3 minggu, uang simpanan mereka sebentar lagi akan habis. Padahal Sofia sudah mulai bekerja, membantu tetangganya berjualan di pasar.
Sofia sedikit kebingungan, bagaimana caranya ia menghasilkan uang lebih dengan keadaannya yang tengah hamil saat ini. Terlebih perutnya sudah mulai membesar, tentu ia sudah tidak bebas bergerak ke sana kemari dengan cekatan seperti biasanya.
"Ibu, minum obatnya dulu. Setelah itu baru Sofia bantu ayah."
Wanita berparas cantik itu dengan telaten menyuapi, membersihkan kedua orang tuanya dari kotoran. Karena keduanya sudah tidak mampu bangun dari tempat tidur.
"Ibu, apakah ada sesuatu yang kalian sembunyikan dari saya? Kalian, seperti tengah memikul beban yang sangat berat. Bisakah kalian berbagi denganku? Jangan menyimpannya sendirian. Biarkan saya membantu menyelesaikan jika ada masalah."
Sofia mengusap pipi yang kian hari semakin tirus, tubuh kedua orang tuanya kian kurus seakan hanya kulit dan tulang yang tertinggal.
Tak jarang, wanita itu menangis sendirian di malam hari. Cobaan yang datang, bahkan tidak memberinya jeda banyak untuk sekedar menghela napas.
Seandainya saja, sang Suami masih berada di sampingnya. Mungkin mungkin Sofia tidak akan menderita sendirian seperti saat ini. Sampai sekarang pun wanita cantik berkulit putih itu masih terus mengharapkan sang suami untuk pulang. Barangkali ada sesuatu hal yang tidak ia mengerti.
"Ke mana lagi saya harus mencari kamu, suamiku? Bahkan, sampai saat ini ini saya tidak mendengar kabarmu barang sedikit saja. Seandainya kamu telah pergi dari dunia ini setidaknya berikan saya petunjuk. Namun, Jika kamu masih hidup tolong muncullah. Setidaknya, berikan saya penjelasan tentang Kepergianmu yang sangat mendadak tempo hari."
Sofia bergegas pergi, dia sudah tidak sanggup lagi menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia harus menyembunyikan tangisnya, agar tidak menjadi beban untuk kedua orang tuanya yang tengah sakit keras.
Andai saja Sophia tidak bertemu dengan Zen, mungkin semua kepedihan ini tidak akan terjadi pada keluarganya. Harusnya Sofia mampu menjaga diri, dan tidak tertipu oleh rayuan manis pria bermata tajam itu.
Sofia tersentak dari lamunannya, tiba-tiba saja wanita itu mengingat perkataan shehrazat bawa raja akan membagikan sedekah saat pernikahan putra mahkota Zen William nanti.
Mungkin saja, ia bisa datang untuk menerima berkat dan sedekah yang akan mereka bagikan nanti. Ini akan sangat berguna untuk membantu biaya pengobatan kedua orang tua Sofia.
Walaupun ia harus berjalan kaki yang sangat jauh dalam keadaan hamil, namun itu sepadan jika digantikan dengan kesembuhan orang tuanya nanti. Semoga saja.
"Barangkali saat saya keluar nanti, saya bisa menemukan kamu. Saya harap kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada. Saya tidak akan pernah lelah berharap, saya akan terus berdoa untuk keselamatanmu."
"Sebentar lagi, bayi kita akan lahir dan kamu akan menjadi seorang ayah. Saya mohon kembalilah, lihat anakmu. Dia pasti akan menanyakan Keberadaanmu nanti."
Sofia menghela napas lelah, sesungguhnya ia tidak yakin tentang keberadaan sang suami namun ia harus tetap berpikir positif agar kehamilannya tidak terganggu.
Tidak masalah jika harus membohongi dirinya sendiri untuk saat ini, yang terpenting ia masih mempunyai semangat untuk menjalani kehidupan di hari-hari selanjutnya.
Sang anak tidak boleh tahu Betapa sulitnya hidup yang ibunya rasaka. Saat ia lahir ke dunia, sang anak haruslah bahagia. Tidak boleh ada yang menyakiti, termasuk jika itu ayahnya sendiri.
Lamunan Sofia buyar saat terdengar suara erangan kesakitan dari dalam kamar. Tidak salah lagi itu pasti suara sang ayah, karena pria itu yang paling sering mengeluh kesakitan.
Saat Sofia menanyai ada apa, atau apa yang beliau rasakan. Sang ayah tidak pernah menjawab dengan pasti, hanya tangisan pilu yang keluar dari matanya.
Sofia tidak pernah tahu masalah apa yang orang tuanya pikul, yang ia yakini jika masalah itu pasti sangat berat sehingga membuat kedua orang tuanya jatuh sakit secara bersamaan seperti sekarang.
Andai saja mereka mau membagi sedikit saja keluh kesahnya kepada Sofia, mungkin saja Sofia bisa membantunya atau sekedar memberikan sedikit solusi.
"Ayah, coba katakan pada Sofia. Apa yang membuat ayah begitu bersedih? Apa yang membuat ayah begitu menderita seperti saat ini?" Tidak bisakah kalian membagi kesedihan kalian sedikit saja padaku?"
"Jika kalian diam saja seperti ini, Sofia bisa apa apa? Biarkan Sofia membantu kalian, biarkan Sofia ikut meringankan beban yang kalian tanggung," lirih Sofia.
Wanita cantik yang tengah mengelus pelipis sang ayah, seraya sesekali mengusap air mata yang terus mengalir dari mata tua ayahnya.
"Sofia sudah besar, Sofia sudah dewasa. Bukankah sudah saatnya, jika Sophia ikut memikul beban berat yang kalian rasakan?"
Sang ayah hanya diam dengan mata yang berkedip sesekali. Namun, pria tua itu masih enggan untuk membuka mulutnya, yaang ada hanya air mata yang mengalir deras juga isak tangis yang terkadang keluar namun tertahan.
Yang bisa Sofia lakukan saat ini ini hanya bisa menangis mengikuti kedua orangtuanya. Wajah Mereka tampak sangat kesakitan, kekecewaan tergambar jelas di kedua netra juga kulitnya yang semakin mengeriput.
"Apa, sebegitu tidak percayanya kalian pada Sofia? Hingga kalian menyembunyikan masalah yang tampaknya sangat besar dariku. Sofia sebentar lagi akan menjadi seorang ibu, berikan contoh kepada Sofia caranya menjadi orang tua yang baik."
Sofia mendongakkan wajahnya, ia tidak mau menambah beban sang ayah jika melihatnya menangis saat ini.
"Bagikan segala keluh kesah kepada buah hatinya. Sofia hanya ingin membantu meringankan beban kalian. Apakah permintaan Sofia terlalu berat untuk kalian berdua? Tolong jangan membuat Sofia kebingungan seperti ini."
Sofia tidak tahan lagi, setelah selesai membantu sang ayah meminum ramuan obat yang ia buat ala kadarnya karena bahan yang terbatas. Wanita itu segera keluar.
Dengan tekad yang sangat kuat, Sofia berjalan ke arah hutan. Ia meyakinkan hatinya untuk masuk ke dalam sana.
Ia akan mendatangi tempat, di mana ia pertama kali bertemu dengan Zen Bridgestone.
Sesampainya di tempat tujuan, Sofia terduduk di tanah kotor dan basah. Tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya.
"Zen! Tolong saya! Jangan perlakukan saya seburuk ini! Kesalahan saya apa?" teriak Sofia pilu.
"Jika kamu ingin membunuh saya secara perlahan, sepertinya kamu berhasil, Zen!"
Tubuh wanita itu terkulai lemas tidak sadarkan diri. Terlalu penat membuat kesadarannya menghilang.