Chereads / Apakah Kita Bisa Menyatu? / Chapter 10 - Chapter 10

Chapter 10 - Chapter 10

Delvin duduk di ruang makan, dan tengah menyantap sarapannya saat ini. Pikirannya selalu saja menerawang pada sosok wanita yang kini tengah terbaring tidak berdaya di ranjang kesakitan.

Iya, Delvin kembali memikirkan Ilona yang saat ini tengah sakit dengan berbagai macam alat terpasang di tubuhnya.

Hati terasa sangat miris sekali ketika melihat keadaannya itu, tapi mau bagaimana lagi, Delvin sendiri tidak bisa melakukan apa pun selain dengan doa.

Semua akses untuk pergi menemui Ilona, kini sudah ditutup begitu saja oleh ibunya.

"Nak, kamu kalau makan itu yang bener dong," tegur Nikita saat melihat Delvin yang tengah sarapan yang hanya diacak-acak saja.

Delvin menoleh dan sedikit memberikan senyuman yang dipaksakan. Ia baru sadar jika sedari tadi hanya mengacak makanan di dalam piringnya saja, sama sekali belum menyuap ke dalam mulutnya.

"Iya, Mam," ucap Delvin yang kini mulai menikmati sarapannya.

Nikita pun kembali menikmati makanannya, dengan sesekali memperhatikan Delvin dari ujung ekor matanya.

Pagi hari ini, terasa sedikit santai untuk Delvin karena tidak begitu terburu untuk masuk kantor, atas perintah dari Nikita.

Delvin masih duduk di atas meja makan, dan menatap Nikita juga Agung yang seperti orang hendak berbicara penting. Ia mulai merasa tidak nyaman sekali, karena ketakutannya hanya satu, dijodohkan.

"Nak, Papi sama Mami mau bicara serius sama kamu. Tolong dengarkan baik-baik, dan harap jangan menolak sama sekali."

Delvin menghela napasnya yang terasa sangat berat. Mengeluarkan kalimat tersebut, berarti tandanya ia kembali ditekan untuk melakukan apa yang sangat tidak disukai.

"Iya, Pa. Emang apa yang mau kalian berdua bicarakan sama, Delvin?"

Nikita menoleh ke arah Agung untuk meminta persetujuan untuk membicarakan hal ini, dan saat sudah mendapatkan anggukan, baru ia angkat bicara.

"Mam, kalian berdua mau bicara apa sama, Delvin?"

"Sebentar, Nak! Kita berdua ingin kamu menikah secepatnya."

Delvin menatap tidak percaya kepada dua orangtuanya itu. Bagaimana bisa menikah, jika pasangan pun tidak ada sama sekali?

Selang beberapa detik, Delvin termenung karena rasa terkejutnya pada pernyataan dari orangtuanya itu. Ia tertawa keras, karena menganggap semua itu adalah omong kosong dan hal paling konyol yang ia dengar.

Nikita heran dengan kelakuan Delvin. Seharusnya itu bertanya, dengan siapa nanti akan menikah, tapi respon hanya tertawa keras seperti itu.

"Kamu kenapa malah tertawa, Nak?"

"Abis Mami sama Papi beneran konyol deh kalau begitu. Mana bisa aku itu nikah, Ilo aja lagi sakit."

Delvin masih berharap jika dirinya akan menikah dengan Ilona, masa bodoh dengan statusnya yang kini sudah bukan lagi kekasih dari gadis tersebut. Namun, tetap saja yang ada di hatinya penuh adalah nama tersebut, dan sepertinya tidak bisa digantikan sama sekali.

"Apa kamu melihat kita sedang bergurau, Delvin!" Nikita kini menatap tajam Delvin yang menghentikan tawanya.

Agung langsung membelai lembut punggung Nikita--istrinya yang kalau sudah marah, maka tidak perduli siapa orangnya.

Delvin diam dan menunduk. Ia tidak mengerti dengan rencana dari kedua orangtuanya itu, kenapa bisa mereka untuk menyuruhnya nikah dengan cepat, sedangkan Ilona sendiri belum benar-benar siuman.

"Kenapa Mami malah marah seperti itu?"

"Sudah! Kamu akan Mami jodohkan dengan ... Lavanya. Mau atau tidak mau, kamu harus mau."

"Mam, gak bisa begitu! Delvin hanya mencintai Ilo, bukan dia." Delvin menggeleng pelan.

Agung kini menatap wajah putranya yang sudah memerah menahan amarah. "Nak, kami tahu dengan baik apa yang membuat kamu bahagia, jadi, jangan membantah. Papi harap, kamuu terima keputusan ini."

Delvin tertawa keras dan sudut matanya mengembun. "Sejak kapan kalian berdua tahu apa yang terbaik untuk aku? Sejak kapan?"

"Ah iya, apa kalian berdua tahu sejak kecil akan hal itu?"

"Atau sejak kapan? Cobaa kasih tahu Delvin, ingin sekali mendengarnya secara langsung."

Nikita menatap Delvin tajam. "Jaga cara bicara kamu! Delvin Araska!"

Delvin masih saja tertawa, sedangkan Agung sendiri bingung untuk mencairkan suasana agar tidak begitu tegang seperti ini.

Bagaimana sih rasanya dijodohkan dengan seseorang yang sama sekali tidak pernah kita cintai? Sakit bukan? Apalagi saat mengetahui, dia yang selama ini kita inginkan, tengah berjuang keras untuk bertahan hidup.

"Mam, Delvin harap dan untuk kali ini, jangan paksa apa yang tidak disuka lagi," pinta Delvin pada Nikita dengan memelas.

"Nak, kamu itu ... gak perlu memohon seperti itu, karena mau bagaimanapun perjodohan itu tetap akan terlaksana."

"Benar itu, Pa. Semua omongan kamu itu gak penting untuk kita, yang penting kamu mau dan Mami yakin, Lavanya itu terbaik untuk kamu." Nikita berbicara dengan mantap.

Delvin menggeleng. Ternyata sudah sejauh ini kehidupannya diatur oleh orangtua sendiri, apa pun yang menjadi pilihannya tidak pernah dianggap baik dan menurut mereka berdua itu salah.

Apa pun diatur, hingga menentukan pasangan hidup pun masih sama. Rasanya muak juga, terlalu berlebihan sekali.

Delvin enggan untuk melanjutkan pembahasan ini. Bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan meja makan tersebut.

"Sial! Sampai kapan aku harus mengikuti apa mau mereka?" Delvin membatin.

Berjalan keluar rumah, dan langsung menaiki mobilnya. Ia melesat pergi ke mana pun tempatnya, yang jelas sangat ingin untuk mendamaikan diri sendiri.

Lavanya--gadis yang pernah menjadi kekasih Delvin sebelum Ilona, dia adalah tukang selingkuh dan menurut Nikita adalah wanita baik.

Ck, diambil dari mana penilaian bodoh seperti itu? Benar-benar konyol.

"Argh! Ilo, aku rindu kamu, sungguh!"

"Hari ini, buruk sekali. Mereka kembali memaksa aku, yang bahkann tidak akan pernah bisa untuk dilakukan."

"Ilo! Aku masih mencintai kamu, rasanya gak mungkin untuk mencintai seseorang lagi dan ditambah orangnya itu adalah dia. Aku gak akan pernah mau."

Delvin berbicara sendiri saat mengendarai mobilnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa bercerita pada orang yang selama ini selalu menjadi tempat pulangnya.

Delvin kini berinsiatif untuk pergi menuju rumah sakit, tempat di mana Ilona dirawat. Ia ingin bercerita semua tentang kondisi hatinya, di hadapan orang yang dicintainya, meskipun memang tidak bisa memberikan respon apa pun.

"Suster, kok ruangan ini sepi sekali," ucap Delvin saat sudah sampai di depan ruangan milik Ilona.

Delvin melongok dari kaca jendela dan sudah tidak ada Ilona yang terbaring di ranjang itu. Kini pikarannya semakin dibuat kacau, dengan tiadanya perempuan itu entah apa yang terjadi dengan kehidupannya.

"Iya, Mas. Ruangan itu sudah kosong semenjak kemarin," jelas suster yang kebetulan lewat dari depan ruangan Ilona.

Delvin diam dan mencerna apa yang dikatakan suster itu. Tiba-tiba pikirannya mendadak kosong, dan seolah buntu.

"Ilona pergi ke mana? Apa dia sudah siuman? Tapi kenapa tidak memberikan kabar?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja pada benak Delvin.