Delvin kembali menuju rumahnya dengan perasaan kacau dan campur aduk tentunya. Ia masih berpikir jika itu bukanlah Ilona, dan sangat berharap hanya sebuah nama saja yang sama.
Delvin masuk ke dalam rumahnya dengan tubuh lunglai. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam! Aden sudah pulang?" Asisten rumah tangga yang ada di rumah Delvin itu yang menjawabnya.
Delvin menatap malas asisten tersebut. Tanpa menjawab sama sekali, langsung saja pergi untuk menuju kamarnya.
Delvin merasa malas untuk mengeluarkan kalimat, meskipun itu singkat. Memilih untuk tetap pergi ke kamarnya dengan kondisi hati yang tak menentu seperti ini.
Asisten rumah tangga itu nampak bingung dengan Delvin yang begitu tak acuh pada sapaan dirinya. Karena ini sangat jarang sekali terjadi, dan hanya pada kondisi tertentu saja.
Nikita berjalan menuju asistennya tersebut. Ia menangkap tatapan yang sangat aneh dari orang itu, dan membuatnya lantas melontarkan pertanyaan.
"Ada apa, Bi Inem?" tanya Nikita pada asisten rumah tangganya tersebut.
Asisten rumah tangga yang bernama Inem pun langsung menoleh ke arah Nikita. Ia mengangguk pelan, dan tersenyum seraya tangan yang menunjuk ke arah Delvin.
"Tadi Den Delvin itu ... seperti murung sekali, Nya. Disapa sama saya diem aja gitu, jadi ngerasa aneh," tutur Inem takut.
Nikita tersenyum dan segera berlalu dari hadapan Inem yang kini mulai menarik napas lega. Ia merasa deg-degan kala melihat majikan perempuannya tersebut, takut jika salah ucap nanti malah terkena ceramah satu abad lamanya, kan mengerikan nanti telinganya.
Nikita berjalan dengan sangat anggun, bak ibu-ibu sosialita. "Ada apa sebenarnya dengan Delvin itu?"
Nikita berjalan menuju kamarnya Delvin yang terletak di lantai atas. berjalan santai dan anggun saat kaki mulai menaiki tangga satu persatu.
Setibanya di depan kamar Delvin, Nikita mengetuk pintu itu dengan cukup keras. Takut tidak terdengar dari dalam, katanya.
"Apa kamu ada di dalam, Nak?" Nikita memanggil nama Delvin dari luar.
Saat tak mendapatkan respon apa pun, tangannya menarik tuas pintu itu dan berharap agar tidak terkunci.
Benar saja sama sekali tidak terkunci dan itu memudahkannya untuk bisa mencari keberadaan Delvin tersebut.
"Delvin!"
"Vin!"
"Kamu ada di mana, Nak?"
Nikita terus mencari dimana keberadaan Delvin saat ini, hingga langkah kakinya terhenti saat mata menangkap kepulan asap dari luar kamar tersebut, dan itu asalnya dari balkon.
Berjalan cepat untuk sampai di balkon, dan betapa terkejutnya Nikita saat mendapati Delvin yang begitu asyik merokok di tempat ini, hingga habis lima batang.
"Kamu ini apa-apaan sih merokok?" bentak Nikita tidak suka melihat anaknya menyentuh rokok.
Menurutnya, rokok itu sangat berbahaya bagi kesehatan, dan juga tidak baik untuk paru-paru. Banyak sekali para peneliti yang membenarkan hal ini, dan sangat disayangkan sangat sulit sekali orang-orang untuk mempercayai hal ini.
Delvin menoleh ke arah Nikita dengan jemarinya yang masih tersemat rokok menyala. "Mami ngapain ke sini?"
"Kamu ini, ditanya malah balik nanya. Bagus banget ya." Nikita menutup hidungnya, karena bisa sesak napas ia kena asap rokok tersebut.
Delvin yang pengertian jika Nikita alergi dengan asap rokok, langsung mematikannya menggunakan lidah.
Nikita merinding melihat hal tersebut. Bayangkan saja jika lidah itu terbakar karena bara yang masih menyala, pasti akan susah untuk makan nantinya.
"Kamu ini sudah badung lagi ternyata. Ada masalah apa sampai ngelakuin itu lagi?" tanya Nikita dengan posisi yang masih berdiri di depan pintu.
Delvin beranjak dari tempat duduknya, dan berniat untuk menghampiri Nikita. Namun, sudah dicegat untuk berdiam di tempat karena tubuhnya pasti sudah penuh dengan asap rokok tersebut.
"Jelaskan di sana. Jangan beranjak atau mendekati Mami, bisa-bisa sesek napas nanti."
"Iya, Mami! Sekarang kenapa bisa ada di sini?"
"Mami itu dapet info dari Bi Inem kalau muka kamu kusut, seperti ada masalah. Sebenarnya ada apa dengan kamu ini?"
Delvin menarik napas. Kakinya mulai melangkah menuju pagar di balkon, dan tatapan matanya lurus ke depan.
"Ilona Mi. Delvin sudah tidak ada hubungan dengan Ilona lagi sekarang," ucap Delvin lemah.
Nikita tersenyum senang mendengar hal tersebut. "Benarkah? Kabar bagus dong itu," kata Nikita dengan bahagia.
Delvin sudah menduga jika perkataan itu akan keluar dari mulut Nikita langsung. Mau bagaimanapun keputusan yang diambil olehnya itu atas desakan orangtuanya yang tidak pernah suka dengan Ilona.
Tidak pernah tahu sama sekali apa yang menjadi alasannya tersebut, dan langsung menekan begitu saja.
"Mungkin Mami bisa bahagia, tapi tidak untuk Delvin," tegas Delvin dan kembali menyalakan rokoknya.
Mengambil bungkus rokok yang didapat dari kantung celananya, dan mulai dinyalakan begitu saja. Delvin menghisapnya perlahan dan seolah takut jika nanti terluka, dan mengeluarkan asap itu dengan lembut.
Nikita menggelengkan kepalanya. "Dasar bocah nakal!"
"Apa sih yang kamu harapkan dari Ilona? Gadis seperti dia, Mami rasa banyak yang lebih darinya," kata Nikita begitu tajam dengan tangan yang bersidekap di depan dada.
Delvin memilih untuk cuek dan sama sekali tidak berniat untuk menanggapi ucapan dari Nikita yang tidak paham dengan perasaannya.
Merasa sangat sia-sia saja jika ia menjelaskan terperinci, seberapa terluka hatinya itu.
"Andai Mami tau jika Ilona itu ... perempuan yang terbaik buatku," gumam Delvin dengan terus menghisap rokoknya hingga habis.
Delvin sebenarnya bukan termasuk ke dalam perokok aktif. Ia akan melakukan itu kala pikirannya sangat stress, dan terdapat masalah yang sukar sekali untuk dipecahkan.
Ibaratnya itu adalah jalan terbaik untuk mencari solusi, atau mungkin sekedar penenang untuk pikirannya yang terus menerus gelisah.
Nikita memilih untuk pergi dari kamar Delvin. Berlama-lama menghirup asap rokok, bisa bahaya untuk pernapasannya yang tidak bisa bersahabat sama sekali dengan hal itu.
"Mama bahagia punya anak yang penurut seperti kamu," ucap Nikita dengana senyum lebar yang terpampang di bibirnya.
Nikita berjalan menjauh dari kamar Delvin dan pergi meninggalkannya sendirian.
Delvin menghabiskan rokok itu dengan cepat, dan setelahnya melamun dengan tatapan kosongnya.
"Aku itu sebenarnya tidak bisa jauh dari kamu, ilo."
"Tapi aku sendiri gak bisa menolak perintah yang ada sama sekali, maafkan aku." Delvin menjatuhkan air matanya.
Merasa dirinya kali ini berada di titik terbawah, jika apa yang didengarnya tadi di rumah sakit itu.
'Nama pasien korban kecelakaan itu adalah ... Ilona."
Kalimat itu seakan berputar-putar begitu saja, dan membuat kepalanya pening.
"Akhh!" Delvin berteriak keras, dengan tangan yang menjambak rambutnya kuat-kuat. "Aku mohon dan berharap kalau itu bukan kamu, Ilo."
"Aku gak akan sanggup denger kenyataan itu, Ilo. Ini lebih menyakitkan ketimbang usainya hubungan kita ini," kata Delvin dengan air mata yang terus jatuh dari pelupuknya.