Chereads / Apakah Kita Bisa Menyatu? / Chapter 7 - Chapter 7

Chapter 7 - Chapter 7

Delvin terus menerus berpikir tentang Ilona akhir-akhir ini. Ia ingin sekali menjenguk ke rumah sakit kemarin, dan menanyakan kondisi korban kecelakaan tersebut, yang namanya sangat persis dengan kekasihnya tersebut.

Bayangan Ilona selalu tak henti berputar di dalam otak Delvin.

Bagaikan slide film yang tak terus menerus berulang. Semua waktu yang pernah dilalui bersama, menjadi hal yang paling menyedihkan untuk kembali diingat.

"Aku harus samperin korban itu, dan memastikan jika bukan Ilo yang ada di sana," gumam Delvin yang kini memutuskan.

Pagi-pagi sekali, Delvin sudah rapi dengan setelan jas kantor, lengkap dengan tas laptop yang selalu dibawanya.

Delvin memutuskan untuk menjenguk korban yang namanya sama dengan Ilona--mantan kekasihnya saat jam kerja sudah usai. Karena itu akan sangat leluasa untuk melihat bagaimana kondisinya nanti.

Nikita yang tengah duduk santai di depan rumah, melihat Delvin yang tergesa segera memanggilnya.

"Nak, sini sebentar!" perintah Nikita dengan suara lembutnya.

Delvin kini menoleh kebelakang dan melihat Nikita yang tengah tersenyum kepadanya itu.

"Iya, ada apa, Mami?" tanya Delvin kepada Nikita.

Delvin melangkahkan kakinya untuk menghampiri Nikita yang tengah duduk santai tersebut. Ia menatapnya dengan sedikit kebingungan, karena hanya ada senyum menawan di sana.

"Bagaimana kabarmu hari ini, Nak?" Nikita balik bertanya pada Delvin.

Kemarin, ia sempat melihat jika anaknya itu terlihat urakan dan kacau. Alasannya cukup simple, karena hubungannya dengan gadi itu berakhir.

Gadis yang selama ini tak pernah Nikita sukai sama sekali, hingga tiada hari yang dihabiskan olehnya untuk membujuk Delvin mengakhirinya.

Gadis itu tak lain adalah Ilona.

Delvin mengangguk. "Kabar? Baik kok, Mam."

"Hari ini, aku harus cepat-cepat berangkat menuju kantor. Kalau mau lanjut ngobrol, nanti saja ya, Mami. See you."

Delvin mencium tangan milik Nikita. Tergesa untuk pergi dari rumahnya, dan menuju mobil yang terparkir di halaman.

Delvin melakukan mobilnya untuk menuju jalan raya. Dengan cepat, ia mengendarai agar sampai di kantornya lebih awal.

Mengingat kali ini ada meeting dengan klien yang harus dilaksanakan, dan juga sebuah project besar yang harus digarapnya.

-

Setelah seharian berkelut dengan pekerjaannya, Delvin memiluh untuk pulang ke kantor lebih awal, untuk melihat korban kecelakaan kemarin hari.

Rasa penasaran yang begitu tinggi, membuat Delvin lebih berani untuk kembali bertanya pada resepsionis yang ada di rumah sakit tersebut, mengenai ruang rawat dari korban itu.

"Suster, saya mau bertanya sesuatu," kata Delvin pada resepsionis yang ada di rumah sakit.

"Iya, silahkan, Pak. Mau bertanya apa?"

"Korban kecelakaan kemarin hari, atas nama Ilona, apa masih ada di sini?" Delvin bertanya pada penjaga itu dengan suara seperti berbisik.

Delvin melakukan itu, karena merasa takut jika ada seseorang yang dikenalnya, dan menuduh yang tidak-tidak.

Jangan lupakan penampilannya. Kali ini, Delvin menggunakan masker dan berganti pakaian biasa agar tidak mudah dikenali orang.

"Masih ada, Pak. Beliau berada di kamar mawar, lantai tiga." Suster itu memberitahukan tempat Ilona dirawat saat ini.

"Terima kasih, Sus."

Membalikkan badan untuk pergi meninggalkan resepsionis tersebut. Ia ingin secepatnya berada di ruangan Ilona, dengan dada yang tak henti untuk berdebar.

"Semoga bukan Ilona, semoga bukan dia," racau Delvin dengan tangan yang meremas rambutnya kuat.

Belum juga sampai di ruang rawat Ilona, Delvin sudah gemetar. Seluruh tubuhnya, tidak bisa diajak kerja sama dan terpengaruh dengan hati yang tak menentu.

Delvin berjalan cepat menuju ruangan yang disebutkan oleh resepsionis tersebut.

Sesudah sampai di kamar mawar, Delvin melihat kaca besar untuk melihat isi ruangan yang ada di dalam sana.

"I--Ilona? Apa benar itu kamu?" tanya Delvin dengan suara parau.

Melihat sosok perempuan yang tengah terbaring lemah di dalam sana, dan tangan yang terpasang cairan infus, membuat tubuhnya lemas seketika.

Delvin berulang kali meyakinkan dalam diri, jika yang dilihatnya itu bukan Ilona, melainkann orang lain yang kebetulan mirip.

Namun, sayang sekali, kala matanya semakin dijelaskan dengan kondisi gadis yang dicintainya itu, air mata mengucur begitu saja.

"Gak, gak mungkin! Itu bukan Ilona pasti, bukan dia." Delvin menggelengkan kepalanya kuat.

Delvin melihat Ilona yang tidak berdaya di dalam sana. Kepalanya diperban dengan kasa, dan terlihat darah merembes di sana.

Ada satu selang yang masuk ke dalam mulutnya, entah itu fungsinya untuk apa. Delvin sendiri bahkan tidak mengetahui itu sama sekali.

"Apa di sini ada orang? Atau Kakak Ilo?"

Delvin memperhatikan sekitarnya yang terlihat sepi, dan mungkin tidak ada salahnya jika ia nekat untuk masuk ke dalam.

Setidaknya, Delvin ingin melihat wajah Ilona dari jarak dekat, dan rasa rindunya pada wanita itu yang sama sekali tidak terbendung.

Delvin mulai mengendap-endap untuk masuk ke dalam ruang rawat Ilona dengan kepala celingukan ke sana ke mari. Memastikan jika tempat ini aman, dan sepi dari jangkauan orang-orang.

"Aman! Sekarang aku bisa masuk ke dalam." Delvin mulai masuk ke dalam ruangan tersebut.

Delvin berjalan mendekat ke arah Ilona yang terbaring dengan mulut terbuka karena selang tersebut.

Meneteskan air mata. Ternyata harapan yang selalu dilangitkan, itu tidak sesuai dengan kenyataan apa yang dilihat oleh matanya sekarang.

"Ilo, bangun sayang."

"Ilo, maafkan aku. Aku gak bisa untuk memutuskan apa pun waktu itu, tekanannya terlalu kuat."

"Aku gak bisa memilih antara kalian berdua. Dua orang wanita yang selama ini aku sayang, itu kalian."

Delvin menangis di hadapan Ilona. Baru kali ini, dirinya sangat cengeng seperti ini.

Menangis hingga bahunya terguncang hebat. Hati mana yang merasa baik-baik saja, saat orang yang sangat dicintai olehnya kini terbaring lemah di hadapannya.

"Ilo, bangun, sayang!"

"Aku gak sanggup lihatnya."

Ah, rasanya Delvin semakin gila saja kalau seperti ini caranya. Ia sama sekali tidak mau kehilangan orang yang selama ini disayanginya.

Mau bagaiimanapun caranya, tolong bangun cepat.

Delvin merindukan suaranya. Semua tingkah manja yang kerap menghipnotisnya, dan tawa riang itu seakan menjadi candu.

Kenzo mendapatkan giliran untuk menjaga Ilona. Ia keluar sebentar untuk mencari makanan, karena rasanya lapar sekali.

Hari beranjak sore, sedangkan dari siang tadi belum sempat memakan apa pun. Takut jika, Ilona sewaktu-waktu terbangun dari tidur panjangnya, dan mencari keberadaan mereka.

Namun, saat cacing dalam perutnya terus meronta untuk minta diisi. Maka dengan nekat, Kenzo pergi keluar untuk mencari pedagang makanan yang jaraknya dekat dengan rumah sakit tersebut.

"Delvin? Ngapain dia kemari?"

Kenzo melihat Delvin yang ada di dalam ruang rawat Ilona, dan bahunya terguncang begitu hebat.

'Apa dia menangis?' pikirnya.

Kenzo menepuk bahu dari Delvin dan berucap, "Kamu ada perlu apa ke tempat ini? Delvin Araska!"