Kreek~! Brak!
"Matilah dengan tersiksa wanita terkutuk!" Pekikan prajurit yang nyaring sembari menghempaskanku ke tanah dengan kuat.
"Aaakh!" aku berusaha untuk tidak merintih dengan perihnya luka yang memenuhi kaki dan tanganku.
Mereka berlalu dan derapan kuda mulai sirna.
Perih. Hanya itu yang dapat aku rasakan. Tangan dan tungkaiku masih di telikung, dengan teganya mereka melemparku tanpa melepas ikatan kuat di dua bagian tubuhku ini.
Saat diriku sudah mulai akur dengan keperihan luka ini barulah aku memperhatikan sekitarku.
"Batu, batu, tanah. Haah! tempat ini benar-benar tidak memiliki kehidupan. Nenek? Apa yang harus aku lakukan?"
Tangisanku mulai pecah karena meratapi nasib yang selalu melenceng dari harapanku. Kau berusaha beringsut untuk mencari cara agar dapat melepas ikatan ini.
Baru 5 meter aku sudah tidak dapat lagi melanjutkannya.
"Tuhan, cepat ambil nyawaku!" pinta lirihku.
Baru saja aku berharap kematian datang padaku, sebuah jelaga mulai beterbangan dan membentuk sebuah garis seakan dia ingin aku mengikutinya.
Dengan lunglai dan terseok-seok bagai ulat aku berusaha mengikutinya. Aku cukup berusaha untuk itu, hingga akhirnya sebuah lubang kecil merebakkan jelaga sihirnya dengan kuat dari dalam.
"Apa di sini?" Dengan rasa penasaran aku mencoba untuk mengintip apa yang ada di dalam lubang itu.
"Gelap sekali, aku tidak melihat apa-apa. Tunggu!" Aku mengingat sesuatu yang mungkin akan membantuku untuk melihat akar dari jelaga sihir ini.
Dengan pikiran yang menggebu-gebu akan penasaran, aku memberanikan diri untuk memasukkan kepalaku ke dalam lubang.
"Mungkin saja ini akan berhasil."
Dengan perlahan namun pasti akhirnya aku dapat memasukkan kepalaku dan bagus, Ternyata rencanaku ini membuahkan hasil.
Aku melihat sebuah cincin yang di bersinar. Aku tidak tahu cincin apa itu yang dapatku pastikan adalah itu adalah sebuah cincin dilihat dari bentuk sihir yang menyelimutinya.
Krek!
"Eh?! Haaa! Sial aku tidak dapat mengeluarkan kepalaku!"
Nasib sial selalu saja datang di tengah keseruan hidupku. Aku merasa semua akan mulus saat kepalaku dapat masuk dengan baik, namun nyatanya kenapa kepalaku tidak dapat keluar kembali?
Tekanan ke putus asaanku mulai bertambah dan bertalu-talu hingga membuatku menangis dalam lubang itu sampai akhirnya air mataku kering dan kantuk mulai mendatangiku.
"Ngantuk." Aku pun tertidur dengan santainya.
Saat terbangun pandanganku benar-benar terlipur. Hitam nan gelap yang hanya aku lihat, tempat cincin yang berada di bawahku mulai memancarkan cahaya sihir yang lebih kuat dari sebelumnya.
Ssst!
Suara desisan ular memenuhi gendangku. Tubuhku bergidik ketakutan.
"Cahaya terang ini bukan dari cincin tersebut. melainkan ular!" bisikku ketakutan sembari berusaha mengeluarkan kepalaku yang masih tersangkut.
Cahaya sihir ular itu semakin mendekat, tak ada yang dapat aku pikirkan kecuali hanya keluar dari lubang tersebut. aku sudah berkelok, beringsut hingga membenturkan kepalaku. Namun semua itu hanya menambah luka di wajahku.
Tuk!
Kerikil kecil mulai berjatuhan dari atas kepalaku. Saat aku memutar kepalaku langit-langit lubang tersebut di penuhi cahaya sihir yang menggusar.
"Itu pasti cahaya sihir ular!" batinku.
Aku tergopoh-gopoh mengeluarkan kepalaku.
"Nenek, tolong aku! Nenek!"
"Ssssttaa!"
Para ular yang tenang langsung menerjang wajahku.
"TIDAK ...!!!" raunganku cukup kuat saat ular itu memenuhi kepalaku.
Gigitan demi gigitan terus menghujani kepalaku.
"Tidak! Sakit! Sakit! Nenek! Akh! tolo—"
Tusukan gigi ular yang terus menghunjam kepalaku dan bisa panas yang masuk ke dalam urat sarafku sangat membebani tubuhku.
Tubuhku terus meronta tanpa henti hingga aku tidak dapat merasakan wajahku. Rambutku mulai berjatuhan, kepalaku terasa besar, dan leherku mulai lemas.
Aku tidak mendengar lagi.
Aku tidak dapat melihat lagi.
Aku tidak dapat mencium lagi.
Hanya rasa panas bagai lahar yang menjalar di kepalaku hingga merongrong tubuhku.
"Apa ini kuburan terakhirku? Nenek, aku datang." Tanpa sadar aku pun pingsan.
***
Pagi tiba cahaya matahari mulai memasuki rongga-rongga lubang batu tersebut. kilauannya membuat mataku sakit, namun aku tidak dapat membuka mataku kembali.
"Apa ini surga?" hanya kalimat itu yang terbetik di benakku.
Anehnya aku tidak merasakan lagi ganjalan lubang yang berada di leherku. Dan sepenuhnya aku menganggap diriku telah mati.
Setelah beberapa saat aku mulai merasakan tenaga pada pelupuk mataku dan mulai mengangkat kelopak mata hingga setengah terbuka.
Aku terkesima.
Ular yang telah menyerang kepala dan leherku telah terkapar mati di bawah wajahku.
"Apa yang terjadi?" aku membatin.
Dengan sisa tenaga aku mengangkat tubuhku dengan ke dua tanganku.
"Tunggu? Tangan?" Dengan cepat aku melirik ke arah tangan dan kakiku yang telah terlepas dari belenggu ikatan kuat prajurit.
Sesak. Napasku benar-benar sesak. Aku berusaha mengatur napasku hingga tubuhku mulai merasakan oksigen yang telah aku hirup perlahan.
Aku berusaha tenang dan aku mulai mencoba untuk meraba wajahku dengan perlahan.
"Hoek ...! Hoek ...!"
Tidak! Ini benar-benar tidak dapat diterima. Sentuhan tangan pada wajahku yang penuh dengan lubang gigitan ular membuatku terbayang bagaimana bentuk wajahku saat ini. Tak cukup di situ aku pun mulai meraba kepalaku dan benar, hanya kulit yang di hiasi lubang di kepalaku yang aku rasakan.
Aku berusaha melihat tanganku namun hanya cahaya yang dapat aku tangkap. Dengan terseok-seok aku berusaha mencari air atau apa pun yang dapat menghilangkan dahaga dan debu yang berada di mataku.
"Hera, tenanglah!"
Aku terkesiap. Sebuah suara mulai mengejutkanku.
"Siapa kau?!" pekikku dengan jeri mendengar suara yang tidak tahu datang dari mana arahnya.
"Ini aku Black Pearl! Sekarang kau harus tenang dan ikut arahanku," ucapnya.
Tak ada pilihan lain selain mengikuti ucapan Black Pearl hanya dia yang dapat membantuku saat ini dan tak ada alasan lain untuk tidak mengikuti perkataannya.
"Berdirilah! Berputar dan maju sebanyak 100 langkah!"
Ia terus membimbingku yang buta ini, dalam langkahku aku menanyakan keadaan diriku untuk meyakinkah hatiku bahwa aku sudah tidak layak lagi sebagai manusia.
"Nah, Black Pearl. Apa semua indraku hilang?" tanyaku padanya dengan mempersiapkan jawaban terburuk darinya.
"Tidak, justru indramu lebih kuat dari sebelumnya."
Dengan terkejut aku pun melaung, "Bagaimana bisa? Aku tidak dapat melihat! Aku buta! Aku tuli! Aku tidak mencium apa pun! aku cacat!" teriakku melampiaskan kemalanganku padanya.
Dia hanya mendengar keluh kesahku yang terus menolak pernyataannya padaku. Aku sangat kesal saat dirinya menyanjungku dengan ke cacatanku saat ini.
"Kita sampai," tukasnya.
Pikiranku mulai kalut kembali.
"Apa ini di tepi jurang?" tanyaku dengan sedikit menertawakan hidupku.
"Apa yang kau pikirkan?" Dia justru melempar pertanyaan lagi padaku.
Dengan yakin bahwa yang kuhadapi adalah sebuah jurang aku langsung melompat kuat ke depan.
Byur!
"Air?"
Rasa dingin yang menyegarkan kepala dan pikiranku mulai membuatku tenang.
"Ya, setidaknya ini akan membuatmu tersadar," jawabnya.
"Puah!"
Pandanganku mulai merambat jelas. Warna dan bentuk mulai terlihat, hidungku mulai mencium aroma pohon. Saat aku melihat cerminan tubuhku dalam air.
"Ah, ini sudah pasti," celetukku.
"Apa kau tidak terkesiap melihat wujudmu ini?" tanya Black Pearl dengan nada datar.
"Aku sudah menyangka hal ini akan terjadi."
Aku merebahkan diriku di atas air. Sisa darah mulai mengalir dari setiap lubang di wajahku. Namun aku tak lagi merasakan panas dan perih lagi.
"Nah Black Pearl, aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Apa?" tanyanya.
"Apa yang terjadi dengan ular-ular itu?" tanyaku sembari memandang langit dengan tatapan kosong.
"Hmm, apa kau tidak ingat kekuatanku?" tanya Black Pearl kembali.
Aku mulai mengingat-ingat kekuatan yang ia punya namun otakku tak menemukan jawaban atas pertanyaannya.
"Haaah! Bagaimana bisa kau melupakan hal penting itu? Ingatlah apa yang terjadi pada si vampir yang menyerangmu. Hera kekuatanku tidak dapat menyembuhkanmu, kekuatanku tidak akan membalikkan tubuhmu seperti semula," terangnya mengutarakan fakta yang mendera perasaanku semudah membalikkan telapak tangan.
"Jadi apa kekuatanmu?" tanyaku kembali yang terus memandang langit.
"Destruction!"
Kemudian waktu mulai berlalu terbawa arus. Kemudian Black Pearl mulai membuka kembali percakapan kami.
"Hera, maafkan aku!"
"Untuk apa?" tanyaku.
"Aku ... aku tidak dapat menyembuhkanmu." Jawabnya dengan nada bersalah.
Aku hanya menghela napas.
"Tapi kau telah melindungiku dari kematian, bukan?"
Dia hanya terdiam.
"Jangan khawatir jika kita menemukan saudara-saudariku aku pastikan kau akan kembali seperti semula. Aku hanya dapat menyerap dan menghancurkan tanpa memperbaiki apa pun," Ucapannya membuatku sedikit lega.
Setidaknya sekarang aku tidak sendiri lagi.