Chereads / The Enchanter (Black Pearl) / Chapter 13 - DEWI KEMATIAN

Chapter 13 - DEWI KEMATIAN

Dalam desiran angin yang memenuhi telingaku, aku masih terjatuh tanpa dapat menggunakan sayap baruku.

"Lavanya, apa tidak ada cara lain untuknya?" Desak Black Pearl padanya.

"Jangan khawatir jika dia terjatuh aku dapat menyembuhkannya kembali, karena kontrak kami telah terjalin." Dengan mudahnya Lavanya mengucapkan sesuatu yang mengerikan dalam diriku.

Aku pejamkan mata dan memantapkan diriku dan berteriak.

"AKU TIDAK INGIN MATI!!!"

Bush!

"Eh?!"

Byur!

Takku sangka keajaiban datang padaku, hanya dengan satu kepakkan aku dapat menahan gravitasi yang dapat membuatku mati dalam sekejap. Namun timbal baliknya adalah aku harus terhanyut mengikuti derasnya arus yang menyeret kami.

Tak lama kemudian di bantaran sungai.

"Hah! Hah! Aku ... tak ingin ... mencoba lagi!" ucapku tersengal-sengal.

"Eh ...! padahal kau sudah berhasil mengepakkannya," sahut Lavanya. "Walaupun hanya sekali," ejeknya.

"Hey!"

"Sudah- sudah! Lebih baik kita harus memikirkan bagaimana cara kita menuju selatan," tukas Black Pearl.

Sesaat aku ragu dengan arah tujuan Black Pearl, setidaknya aku menginginkan kepastian darinya.

"Black Pearl, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"

Dia terdiam.

"Ke mana kita akan pergi?"

"Selatan," jawabnya singkat.

"Lebih tepatnya?"

"Segat."

"Segat? Seperti nama monster yang pernah aku baca di buku yang di berikan Nenek."

"Awalnya Segat adalah seekor makhluk suci yang melindungi kekuatan saudaraku yaitu Molniya. Makhluk ini memiliki tubuh layak burung unta namun bulunya lebih ringan dari kapas dan jika berlari kau tidak akan dapat mengikutinya," terang Black Pearl.

Aku hanya mendengarkan Black Pearl bercerita panjang tentang makhluk suci tersebut hingga akhirnya makhluk tersebut di binasakan dan para manusia untuk merebut mutiara dalam dirinya dan saat ini beberapa mutiara telah di masukkan ke dalam Alexus.

Tulang belikatku mulai nyeri karena belum dapat memosisikan sayapku dengan benar. Dalam perjalanan itu aku mulai merasakan sedikit sayapku namun itu membutuhkan waktu untuk menggerakkannya dan kami memutuskan untuk bermalam di dalam hutan di luar kota Jiganski.

Hangatnya api unggun membuat hatiku sedikit tenang, walau gelisah memikirkan apa yang akan di lakukan manusia padaku kelak. Aku hanya termenung.

"Sayang, apa kau sudah merasakan sayapmu?" tanya Lavanya memecahkan lamunanku.

"Sedikit," jawabku singkat.

Cahaya rembulan mulai tertutup awan, tatapan kosongku mulai melumat kesadaranku sembari menatap api yang menari-nari di hadapanku.

Desiran angin mulai mengganas.

"Sepertinya malam ini akan terjadi badai, aku harus mencari tempat berteduh," batinku.

Aku bulatkan tekat untuk mencari bangunan atau gua yang dapat melindungi tubuhku. Berkat sayap telah tumbuh di punggungku rasa kantukku seketika menghilang saat membawanya.

Seakan membawa tas yang berisikan penuh kayu bakar. Hujan mulai turun. Deruan titik airnya semakin keras di sertai angin. Aku segera berlari walau tanpa arah hingga akhirnya padang rumput menyambutku dengan kilatan petir yang mengganas.

Jdar!

Jalan buntu bagiku.

Takku sangka aku akan menjadi target dari sang petir, namun rasa sakit yang di akibatkannya tidak separah saat aku sayapku mulai tumbuh.

Dengan cepat tubuhku mulai kembali seperti sediakala.

"Waw, sihir Lavanya ini benar-benar menarik."

"Hm-hm! Kau dengar itu Black Pearl. Sihirku memang terbaik," ejek Lavanya.

"Jadi, apa kau akan terus menyatu dengan tanah?" tanya Black Pearl yang sedikit terbawa emosi.

Aku yang terbaring hanya dapat pasrah. Yang dapat aku pikirkan saat ini adalah risiko untuk menegakkan tungkaiku di tanah lapang ini.

"Hmm, sepertinya kalian harus bersabar hingga badai ini sedikit tenang."

Tiba-tiba keadaan menjadi tenang, hujan yang begitu deras hilang seketika dan hanya menyisakan rintik.

"Lihat! Ini adalah buah dari kesabaran," ucapku dengan pongah.

"Emm, sayang! Bisakah kau melenggakkan kepalamu sejenak?" pinta Lavanya.

"Lavanya, kau terlalu kha—"

Awan berkumpul bagai gumpalan salju berwarna kelabu. Awan besar itu menarik dan tidak menyisakan awan di sekitarnya diam, lalu benang takdir berwarna putih turun 50 meter dari tempatku berpijak.

"Benang apa itu?"

"Apa kau pernah mendengar berkumpulnya kristal air yang di tahan angin sampai akhirnya dia akan tumbuh dewasa?" celetuk Black Pearl.

"Siklon yang menghancurkan. Nenek pernah berkata seperti itu padaku."

Kami terdiam sesaat melihat benang putih itu turun dengan cepat menyentuh tanah, dengan cepatnya dia bertambah besar dan semakin melebar.

"Tornado!" teriak kami bertiga.

Dengan cepatnya benang putih itu bergerak dan mulai membentuk dindingnya.

"Hera apa yang akan kau lakukan?" teriak Black Pearl.

"Seperti yang kau lihat! Aku harap ini berhasil."

Aku mulai menghancurkan tanah hingga membentuk sebuah lubang yang cukup untukku dengan ke dalaman 10 meter dari permukaan dan itu cukup menguras tenagaku.

Gemuruh kuat dan getaran dalam tanah benar-benar mengerikan dan mencekam. Dinding tornado? aku hanya dapat memejamkan mata dan menekan rapat-rapat kupingku.

Malam itu sungguh mengerikan, dinding angin itu melewatiku kepalaku dengan guncangan kuat yang membuat tubuhku menjengit.

"Aaaaaaaa!" teriakku ketakutan.

Hingga akhirnya keadaan mulai tenang.

"Selesaikah?" bisik Lavanya.

aku mulai menatap lubang di kepalaku sembari melepas tangan pada telingaku. Aku benar-benar takut di buatnya karena aku belum pernah melihat ada sihir yang dapat mengendalikan alam.

Dengan rasa takut yang ia tinggalkan padaku, Aku mulai menghancurkan tanah dan membuat undakan tangga untuk keluar dari lubang tersebut. 'Begitu tenang, apa benar ini telah berakhir' itulah yang terbesit dalam pikiranku.

Aku hanya fokus melihat langit yang cukup cerah dari tempatku berdiri. Saat kepalaku menyembul dari lubang.

Brrrrr!

Getaran tanah mulai mendekati kami kembali, dinding itu datang berlari menyambut kami dengan cepat.

"Sial!"

Brrrrr!

Aku terisap naik, terombang-ambing, tercabik, dan masih bergerak di antara pusaran angin.

Dengan posisi meringkuk memeluk kedua lutut aku berusaha melindungi tubuh ini dalam lautan arus angin yang kuat.

"Untuk pertama kalinya aku merasakan bahwa angin bisa setajam ini," aku membatin. Dia mencabik-cabik tubuhku dengan cepat.

Sepuluh? Tidak bahkan bisa dibilang puluhan kali atau ratusan kali Lavanya menyembuhkan luka yang terus menerus muncul saat angin merobek tubuhku.

Hingga akhirnya aku di sadarkan dengan cahaya mentari yang tidak tahu dari mana munculnya menyinari kedua bola mataku yang tertutup.

"Hera buka matamu," ucap Black Pearl.

Samudra awan putih yang di sinari matahari terpampang jelas di kedua bola mataku. Kelembutan awan dapat kurasakan hanya dengan memandangnya.

"Samudra di atas awan!" celetukku.

Saat kami menikmati indahnya samudra di atas awan lubang besar mulai bergerak menjauh dan mengecil.

"Fiuh! Terima kasih," ucapku pada mereka berdua.

"Ternyata kau bisa juga!" balas Lavanya.

"Bisa apa?"

"Lihat kakimu!" jawab Lavanya.

Saat aku melihat ke bawah tubuhku benar-benar melayang dan sayapku terus mengepak. Aku benar-benar merasakannya.

"Wuhu!" terikku kegirangan.

Karena ini adalah momen yang berharga, aku mulai menjelajahi samudra ini. bermain dengan awan dan menjelajahi tempat yang belum pernah aku singgahi benar-benar menghilangkan rasa takutku pada angin ganas itu.

Dengan kuat aku terbang semakin tinggi dengan hati yang berbunga-bunga dan paru-paru yang terhenti.

"Uhuk! Aku tidak bisa bernapas!"

Aku tidak tahu bahwa semakin tinggi aku terbang semakin sedikit udara yang aku hirup.

"HERA!"

Untuk ke dua kalinya aku terjatuh namun kali ini titik jatuhku cukup jauh sehingga sedikit membuatku tenang. Saat masuk ke dalam awan, bumi langsung menyambut kami dengan di sinari matahari yang melewati celah awan.

"Wah! Indah sekali!"

Dari atas langit tampaklah segerombolan manusia yang pernahku temui kemarin.

"Sepertinya mereka melihatku," aku membatin.

Mereka berlarian memecahkan barisan.

"Tidak akan aku biarkan mereka lolos!"

Dengan cepat aku menggamit tanah sembari terbang mengelilingi mereka agar dapat mengurung mereka dalam parit.

Bum!

Pendaratan yang cukup mulus.

"Lavanya, apa aku bisa memakai pakaian seperti yang kau kenakan? Kain ini benar-benar membuatku gatal."

"Tentu saja sayang," jawab Lavanya.

Aku mulai membayangkan tubuh Lavanya saat pertama kali kita bertemu. Akar Hawthorn mulai menyelimutiku dan menutupi tubuhku dengan daun sehingga membentuk sebuah gaun cantik yang indah dan itu cukup nyaman.

"Ampuni kami dewi! Kami tidak melakukan sesuatu yang salah, tolong jangan ambil nyawa kami!" pinta sang Ibu sembari bersujud.

Deraian air mata terus bercucuran melihatku, tubuh sang ayah juga bergetar di buatnya. Aku tidak mengerti kenapa mereka sangat ketakutan.

Dengan gagah sang ayah datang dan berkata.

"Ambil nyawaku, tapi aku mohon lepaskan mereka!" pinta sang ayah.

Cukup menarik.

"Baiklah! Black Pearl!"

"Baik!" jawab Black Pearl.

Jelaga sihir mulai berkumpul dan mulai masuk merasuki tubuhku. Sihir anak mereka mulai terserap dan hanya meninggalkan jasad.

"TIDAK ...! kau pembohong! Kau mengingkari perkataanmu! Dewi terkutuk!" cecaran umpatan sang ayah terus menghujaniku.

"Aku tidak ingat akan memenuhi keinginanmu."