"Siapa kau sebenarnya?" teriak sang ayah.
Dalam kelompok tersebut hanya sang ayahlah yang tidak memiliki sihir dan karena itulah dirinya masih dapat menghela napas lega.
Kematian keluarganya menyadarkanku bahwa sihir yang telah mendarah daging dapat melayangkan nyawa mereka.
"Hera, sebaiknya kita tidak berlama-lama di tempat ini," ucap Black Pearl.
Langkah kakiku mulai beranjak jauh dari sang ayah. Aku hanya meninggalkannya tanpa melakukan apa pun padanya.
Derapan kaki mulai mendekatiku.
"Hera, di belakangmu!" teriak Lavanya.
Jleb!
Telapak tanganku mulai meneteskan darah segar. Tusukan pisau yang menembus sela tulang jariku terus mengucurkan darah. Sedikit lagi. Jika dia cukup kuat mengayunkan pisau tersebut mungkin mataku akan tertusuk.
"Bisakah kau hentikan tindakanmu ini?!" ancamku padanya.
Tubuhnya bergetar dan giginya menggigil dengan ketakutan dia memberanikan diri membuka mulut.
"Jika tidak ada?! aku juga ingin bersama mere—,"
Dengan cepat aku menggunakan sihir hitam untuk menghancurkan tubuhnya.
"A'!" celetuk mereka berdua.
"Sekarang, kau bersama mereka di sana," gumamku.
Lavanya terdiam dan tercengang. Ekspresi dari kedua makhluk itu dapat aku rasakan dengan jelas dalam tubuh ini.
Seperti ada yang salah dengan diriku namun aku tidak menemukan apa yang salah dariku saat ini.
"Ke mana kita akan pergi?" tanyaku.
"Selatan, di sanalah kau akan menemukan sebuah desa," jawab Black Pearl.
Dengan cepat aku langsung terbang menuju selatan. Syukurlah sayapku sudah dapatku kuasai dengan benar sehingga membuat perjalanan ini cukup menarik dan cepat.
Aku berusaha terbang di atas awan untuk menyembunyikan keberadaanku dan mempermudah pencarian dengan pandangan yang luas.
Namun kepakkan sayapku mulai melemah, seperti ada sesuatu yang kurang.
Kruuk!
"Hehe."
"Haah!" Hela napas panjang mereka berdua.
"Apa di sekitar sini ada hutan atau sungai?" tanyaku pada Black Pearl.
"Tentu saja tidak ada. Hanya padang rumput kering yang terhampar luas di sekitar sini," jawab Black Pearl.
"Jalan satu-satunya adalah menemukan pemukiman atau desa di sekitar sini."
Cukup lama memperhatikan daratan tanpa manusia dan hewan yang hidup di sekitar sini. Sampai akhirnya senja mulai menyapa kami di atas awan.
"Sepertinya aku harus bermalam dengan perut lapar."
"Hera, lihat itu!" panggil Lavanya.
Titik-titik sinar mulai terlihat dari balik awan. saat awan mulai tersibak ternyata sebuah kota kecil muncul di tengah padang rumput kering ini.
"Segat!" ucap Black Pearl.
Aku mendarat dan menyimpan kembali sayapku.
"Hera, apa kau yakin akan mengenakan pakaian sihir ini?" tanya Lavanya yang mengingatkanku tentang penampilanku yang meniru dirinya.
Walaupun aku sangat puas dengan pakaian Lavanya tapi ... sangat di sayangkan harus melepaskannya.
"Apa kau menginginkan diriku berjalan tanpa sehelai kain pun?" ejekku.
"Tentu saja tidak, tapi jika kau menginginkannya mungkin itu akan menarik," kelakarnya di sertai tawa ringan.
Ada sebuah batu tepat di samping jalur menuju kota kecil tersebut, aku berpikir untuk memanfaatkannya. Aku menunggu cukup lama menanti seseorang lewat, tak lama kemudian seorang layaknya pedagang namun berpenampilan garang akan melewatiku.
"Apa dia pedagang?" tanyaku pada mereka berdua.
"Di lihat dari penampilannya sepertinya tidak," jawab Lavanya.
"Apa kau ingin merampas kereta kudanya?" tanya Black Pearl.
Awalnya aku hanya merencanakan untuk merampas pakaian yang mungkin ada di dalam kereta kuda itu namun sepertinya ide Black Pearl tidak buruk.
Kuremas kerikil di sekitarku sembari memberikan sihir hitam. Saat jarak kami dengan mereka cukup dekat dengan cepat aku melempar kerikil itu tepat di bawah kuda-kuda mereka.
"Aaaa!" Para pedagang itu terjatuh ke dalam lubang.
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Black Pearl.
"Aku menempelkan sihir hitammu pada batu kecil ini, saat kerikil ini menyentuh tanah di bawah mereka sihir hitam akan meledak dan membuat sebuah lubang di bawah mereka," jawabku dengan pongah.
"Mantap! Sepertinya kau mulai memahami konsep sihirku," sahut Black Pearl.
Aku mulai membongkar isi kereta tersebut.
"Oke, saatnya melihat apa saja yang dapat aku gunakan. Sampah, sampah, oh! Ini akan lumayan membantu, dan voila! Akhirnya sebuah pakaian."
Di dalam kereta kuda terdapat beberapa barang yang tidak dapat di gunakan seperti sekop, palu, dan lainya. Namun di samping itu semua terdapat sebuah kotak yang berisikan pakaian dan beberapa uang yang dapat aku gunakan ke depannya.
"Baiklah, inilah peranku!" teriakku.
"Apa kau yakin?" tanya Black Pearl dengan skeptis.
"Bagus bukan?" Berharap mereka setuju denganku.
"Sayang, apa kau akan berperan menjadi orang buta?" tanya Lavanya yang menahan tawa.
"Jangan tertawa!" hardikku kesal.
"Ini sangat lucu untuk tidak tertawa," jawab Lavanya.
Aku sedikit mendengar Black Pearl menyemburkan sedikit ludahnya karena menahan tawa.
"Hmm!" Aku pun kesal.
Aku memilih untuk keluar dari lubang itu dan terus melangkah maju menuju pintu gerbang kota.
"Apa yang aneh dariku?" gumamku.
Pakaian hitam layak penyihir, penutup mata, dan sebuah tas kecil yang aku bawa dari dalam kereta. Lagi pula aku tidak bisa memilih pakaian yang layak selain ini.
Cukup menarik mata yang di berikan oleh Black Pearl. Walau pelupuk mataku tertutup namun pandanganku tak berubah sedikit pun saat sihir telah memenuhi mataku.
Saat dekat dengan gerbang kota beberapa orang menghadang dengan senjata lengkap dan mengacungkan pedangnya padaku.
"Berhenti!" teriaknya mendatangiku.
Saat mereka mendekat, aku merasakan aura busuk mereka terhadap wanita. Mereka terus memperhatikanku dengan mata sarunya.
"Hoho, Bos sepertinya ini barang bagus. Bos besar pasti senang," ucapnya lirih.
Sepertinya mereka telah biasa melakukan hal bejat ini di lihat dari perkataannya yang tidak sungkan ia keluarkan di hadapan orang yang akan menjadi korban mereka.
"Lenggakkan kepalamu!" pintanya.
"Hah!" celetuk mereka berdua yang terkejut melihatku.
Kemudian mereka melambaikan tangan untuk memastikan penglihatanku pada mereka. Tentu saja aku berperan bagai orang buta tanpa tongkat.
"Apa ada yang salah?"
Lavanay mendengus bosan.
"Nah ...! kita bunuh saja mereka, bagaimana? Black, kau setujukan?" Lavanya mulai mengompori keadaan yang kurang tepat ini.
"Hmm, aku sih ... oke!" jawab black pearl.
"Sip, Hera! Bunuh mereka!" teriak Lavanya dengan semangat.
"Apa kau gila?" jawabku.
Kemudian dua pria itu merespons perkataanku. Dengan tatapan tajam mereka terus melihatku dengan curiga.
"Apa kau mengatakan sesuatu?"
"Sial! Dasar Lavanya!" aku membatin.
Akhirnya mereka tidak lagi memikirkan hal itu lagi.
"Ikut dengan kami!" salah satu pria mengikat pergelangan tanganku dan menyeretku ke dalam kota.
Aroma tak sedap mulai tercium dari gerbang tersebut. saat melewatinya takku sangka keadaan kota itu melebihi bayanganku terhadap mereka.
Rumah yang kumuh, sampah bagai hiasan di tempat ini, dan banyak sekali kupu-kupu malam yang berlarian tanpa busana sembari di kejar para pria.
"Sejak kapan mereka menjadi kupu-kupu siang?" kelakarku pada dua makhluk di dalamku.
Mereka pun terpingkal-pingkal dengan kelakarku.
Kota ini benar-benar bebas. Tanpa moral, tanpa peraturan, dan tanpa kebersihan. Namun aku tak melihat anak kecil di dalamnya.
Saat kami melewati pasar hal ini yang membuatku terkejut. Pasar mereka cukup bersih, tapi transaksi mereka cukup unik. Saat aku memfokuskan pendengaranku pada salah seorang wanita yang sedang berbelanja.
"Aku ingin membeli ini dan itu," ucap sang wanita.
"Berapa banyak yang bisa kau bayar?" tanya pedagang.
Aku pun menoleh dan penasaran benda apa yang akan mereka gunakan untuk transaksi tersebut.
"Jika kau memberikan semua ini aku akan memberikan tubuhku ini sebagai pembayaran," ucap sang wanita.
"Deal!" jawab pedagan.
"Heeeh! apa wanita itu tidak dapat membayar apa yang mereka inginkan? Sungguh kota yang menyedihkan," aku membatin.
Cukup lama perjalananku mengikuti dua pria jangak ini. sampai tiba di sebuah gerbang ke dua dalam kota tersebut.
"Buka!" teriak salah satu mereka.
"Ada urusan apa?" seorang pria lain menyembulkan kepalanya dari atas gerbang.
"Aku membawa makan siang untuk Bos!" Sembari menunjuk padaku.
"Makanan? Dia pikir aku apa?" batinku kesal.
Setelah perdebatan yang cukup lama akhirnya mereka membukakan gerbang kayu jumbo itu. Sebuah lapangan luas langsung menyambut kami dengan di penuhi bocah-bocah yang sedang berlatih pedang, tombak, dan memanah.
Sedangkan di sampingnya terdapat beberapa gadis yang mengikuti mereka dan jumlahnya jauh lebih sedikit dari anak laki-laki.
"Sebenarnya tempat apa ini?"