"Aduduh! Kepalaku!" Erangku memegang kepala.
Pandanganku sedikit kabur namun kian lama membaik. Masih dalam posisi yang sama dan kondisi yang sama. Suara itu masih terngiang-ngiang dalam pikiranku. Namun kali ini suaranya tidak sesakit tubrukan pertama.
Poki terus berusaha menarikku yang terlentang lemas di atas padang daun kering. Jervin yang melihat diriku tersadar langsung menyambar wajahku.
"Apa kau baik-baik saja?" Tangan kasarnya yang dingin menyentuh rahangku dengan tatapan cemas.
Aku mengangguk untuk memudarkan kekhawatirannya.
"Syukurlah!"
"Berapa lama aku pingsan?" tanyaku sembari mendorong diriku untuk duduk.
"Satu jam! Mungkin?" jawaban skeptisnya tidak membuat hatiku tenang.
Aku berdiri menguatkan tungkaiku dan mengajak Poki untuk kembali karena firasatku mengatakan Nenek sudah datang. Lambai tangan saling bertemu, aku meninggalkan Jervin di tengah hutan dan langsung menderap ke arah rumah.
"Nenek, aku pulang!" sapaku dengan ria.
Nenek duduk dengan wajah sendu namun saat mendengarku masuk dia langsung mengubah air mukanya untuk menutupi kesedihannya.
"Nenek, ada apa?" Aku berlutut di hadapannya.
Air mata tua yang menggenang di pelupuk matanya tak membuatnya menurunkan senyuman manis sang Nenek. Dia justru meraih tanganku dan berkata.
"Apa kau ingin mendengar cerita?" Pertanyaan paraunya membuatku bergidik.
Tak ada desiran angin ataupun yang lain hanya saja perasaanku yang membuat jantungku mulai bertalu-talu.
Aku digiring melewati tirai kamarku dan menidurkanku di pangkuannya layak anak kecil. Dia pun mulai bercerita.
***
"Dahulu dunia ini di selubungi kegelapan yang kelam. Kejahatan, ketamakan, dan dosa telah meraja Lela.
Suara gemuruh di setiap kota terus menderu. Yang kuat merundung yang lemah, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, para wanita di perbudak suaminya dan hanya memakainya jika dibutuhkan saja jika bosan mereka langsung membuangnya jauh-jauh.
Seorang wanita di ujung Jiganski telah terbuang oleh akibat penyakit yang di deritanya. Wanita itu berada di tempat pembuangan sampah untuk beberapa hari kondisinya lemah, miskin, dan tak ada yang ia harapkan kecuali mati.
Derapan kaki menghampirinya. Sekelompok pria mengangkat wanita itu dan menyelimutinya serta mengangkatnya ke dalam sebuah kereta kuda.
"Berangkat!" Teriak delman yang memacu kudanya.
Jengitan kursi perjalanan membuatnya sedikit tersadar namun karena rasa pundung yang menguasainya dia hanya pasrah dengan apa yang menimpanya.
"Nona, apa kau baik-baik saja?" Seorang berbaju merah dengan kefta biru duduk di seberang wanita itu.
Aromanya harum, matanya sangat hitam dan rambutnya yang lurus hitam bagai malam. Di sampingnya seorang wanita pongah dengan pakaian hitam, berkulit putih menatap hina wanita tersebut sembari menutup hidungnya.
Wanita itu mengangguk.
"Syukurlah kau baik-baik saja. tenang saja sebentar lagi kita akan sampai ke kediamanku," ujarnya dengan melemparkan senyum pada wanita tersebut.
Wanita itu tertidur kembali.
Dak! Dak! Dak!
"Bangun!" pekik wanita berbaju hitam.
Suara tabuhan kayu di memekakan telinga wanita itu sehingga dia tersadar dari lelapnya. Saat turun mereka di sambut dengan berbagai macam Maid.
Di sinilah wanita itu mendapat pertolongan yang layak dari pakaian, sandang dan pangan, tempat yang bersih dan lain-lain.
Sebagian mereka mendukung wanita berbaju hitam dengan merundung wanita itu.
"Apa yang kalian lakukan?" Hardikan suara yang menggelegar menggema di antara dinding. Ternyata dia bersama seorang pria yang bersama wanita itu di kereta.
Di sampingnya terdapat seorang pria yang gagah berwajah tegas di hiasi gemerlap emas di kepalanya.
"Maafkan kami raja!" Mereka langsung melipir sekencang mungkin.
Wanita itu berniat mengikuti mereka namun di tahan dengan tangan pria berkefta biru.
"Ikutlah bersama kami!" pintanya.
Wanita itu menatap ke dalam mata pria tersebut untuk memastikan maksud dari uluran tangannya. Namun sang pria justru menganggap lain.
Raja menggiring mereka memasuki ruangan kelam tanpa pelita. Namun di ujung hitamnya ruangan terdapat selarik cahaya yang dapat di lihat oleh wanita tersebut.
Wanita itu mulai berjalan mengikuti jelaga cahaya itu hingga menunjukkan jalan keluar dari ruang tersebut menuju salah satu ruangan di balik dinding.
"Ternyata benar yang di katakan peramal itu!" cicit raja yang berbisik samar di telingaku.
"Hebat! Kau sangat hebat!" puji pria berkefta biru.
Karena percakapan mereka cukup canggung pria itu merebakkan suasana.
"Perkenalkan namaku Yorneth Harm, dan ini adalah ayahku Fotgalord Harm. Kami telah lama mencarimu." Wanita itu hanya menatap kosong mereka berdua.
Seorang wanita tua berjalan luntang-lantung ke arah mereka dan tiba-tiba dia berlutut seakan menyembah wanita tersebut.
"Akhirnya! ... kita telah menemukan kunci dari semua masalah yang menyelubungi tanah ini!" Isak tangis di telapak kaki wanita itu cukup keras.
Sehingga membuat wanita tersebut terkesiap.
"Tenanglah!" perintah sang raja.
Kemudian dia berjalan ke arah wanita tersebut, menepuk kedua pundaknya dan berkata dengan lugas.
"Menikahlah dengan anakku!"
"Ahhhh!" suara pekik yang tertahan karena kaget dengan perkataan sang raja.
Mereka berdua mengalihkan pandangannya pada wanita itu sembari menyalangkan mata dengan mulut yang masih terbuka lebar.
"Hm!" Dengan polosnya dia melihat pangeran dan mengangguk.
"Eeee...! apa ayah serius?"
"Apa yang kurang darinya? Apa kau enggan menerimanya?" tanya sang raja dengan mengadahkan wajah wanita itu.
"Bukan itu maksudku, kenapa harus terburu-buru?"
Dengan wajah pongah sang raja berpaling dan menjawab. "Karena kau kesepian!"
Anaknya tercengang mendengar jawaban raja yang terkesan bergurau. Namun walaupun pangeran seakan tidak menginginkannya dia juga mencintai wanita itu sejak pandangan pertama.
Hari itu mereka berempat mengelilingi ruangan tersembunyi yang baru tersingkap keberadaannya. Emas yang menggunung-gunung, senjata legendaris yang berserakan seakan dunia telah mengumpulkan harta sakral di satu tempat.
Di pucuk gunung emas terdapat sebuah peti kaca berbentuk kapsul yang menutupi sebuah gumpalan hitam di dalamnya. Mata wanita itu menyalang ke arah benda tersebut walaupun ragu dia tetap melangkahkan kakinya.
Bagian tengah gumpalan hitam itu menjengit seakan-akan ia bernapas. Di bagian bawahnya terdapat tulisan emas yang terukir 'IMIRIM KAFA'.
Sebuah kalimat asing yang pernah ia baca dalam hidupnya. Namun membacanya saja sudah membuat bulu roma berdiri.
Suara keriut mulai muncul dari kapsul tersebut, getaran kapsulnya membuat ruangan itu bergetar layaknya gempa setelah selesai tak ada jejak bahwa terjadi kejanggalan di sekitar mereka kecuali wanita itu yang telang menyadari hilangnya warana hitam dalam kapsul tersebut.
Pada malam hari tepatnya di bulan purnama Yorneth datang menemui wanita itu sebelum saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka dia justru sembunyi malu.
Tangannya yang membawa bunga poppy dengan kotak cincin di sakunya membuat dirinya tidak tenang. Namun sebuah kepala menyembul di sampingnya.
"Ha!" pekiknya terkesiap.
Wanita itu juga terkejut mendengar teriakan kuat Yorneth, karena tidak ingin ada kesalahpahaman dia pun ditarik masuk oleh wanita itu.
Dengan wajah yang merona, dadanya yang bertalu-talu, mimiknya yang berantakan Yorneth memberanikan diri melamarnya sekali lagi namun secara langsung tanpa perantara.
Dia berlutut sembari memberikan bunga, bunga itu di terima oleh wanita tersebut, dengan gagah pangeran menyodorkan tangannya yang sedang memegang cincin berlian di hadapannya.
"M—Maukah ka—kau menik—kah dengan—ku?"
Hening. Desiran angin membuat rasa pundung mulai muncul. Wanita itu tidak memberi jawaban, saat Yorneth memandangnya barulah wanita itu mengangguk.
Dengan kegirangan dia melompat-lompat dan memeluk wanita tersebut.
"Anakku sudah besar!" bisikan aneh dari balik pintu mulai terdengar.
Yorneth membuka pintu dan ternyata ayah dan beberapa pelayannya telah menguping dari balik kayu kamar wanita itu.
"Ayah!" geram Yorneht.
"Hahaha!"
**To Be Continue**